Meski Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) sudah dinaikkan menjadi Rp 5.000/kg dari sebelumnya Rp4.200/kg pada bulan Maret lalu, namun gejolak harga tetap saja berlangsung.
Hal ini disebabkan  karena pada rentang Maret-Mei yang merupakan masa panen raya, pemerintah tengah memproses kedatangan beras dari luar alias impor. Akibatnya gabah petani tetap tidak terserap dengan harga yang memadai meskipun harga di level perdagangan cenderung naik.
Sekalipun  petani akan cenderung memilih untuk menjualnya kepada pedagang dibanding kepada Bulog karena harganya lebih tinggi. Hal ini dikarenakan peningkatan HPP sebenarnya masih berada di bawah ongkos produksi yang harus dikeluarkan oleh petani.
Walhasil, Bulog tak mampu memgoptimalkan penyerapan untuk mengisi stok CBP karena tak mampu bersaing dengan harga pasar, yang selanjutnya menjadi penyebab tipisnya cadangan pemerintah sehingga lantas menjadi dasar dilakukannya  kebijakan importasi.
"Impor beras 2023 dan dan rencana impor 2 juta ton beras pada  2024 bukanlah keputusan
yang bijaksana dengan menimbang dampaknya terhadap harga di tingkat petani. Terlebih politisasi impor beras dapat berdampak secara sistemik bagi kelangsungan tatakelola
perberasan nasional," ujar laporan tersebut.
Pertanian Keluarga
Poin menarik lainnya yang diungkapkan Bina Desa dalam laporannya, meminta  Pemerintah perlu memberi dukungan yang besar terhadap pertanian keluarga (pertanian skala rumah tangga tani) sebagai produsen pangan utama dan tidak melanjutkan program food estate yang bias kepentingan politik dan modal.
Bina Desa mendukung untuk dilakukannya Reforma Agraria dengan melakukan penataan struktur agraria yang adil dan terutama untuk maksud mendukung penguatan sektor produksi pertanian dan pangan. Karenanya prioritas redistribusi perlu diberikan kepada para petani dan nelayan kecil  dan perempuan pedesaan produsen pangan.
Lembaga ini menyarankan pemerintah Indonesia untuk membangun sistem pangan nasional yang menitikberatkan pada semangat kemandirian dan kedaulatan pangan, yang tetap mengutamakan produk dalam negeri. Untuk itu Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang