Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Masih Ada Peluang Bandung Jadi Kota Berkelanjutan

1 Oktober 2023   13:52 Diperbarui: 1 Oktober 2023   14:24 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alun-alun Bandung-Foto: Irvan Sjafari

Pada usia  ke 213 Bandung menghadapi problem seperti sampah, ruang terbuka hijau, kemacetan, polusi, degradasi sumber air bersih. Namun kota ini masih layak huni dan punya peluang jadi kota berkelanjutan.   

Bandung bagi saya adalah kota tercinta, sekalipun saya tidak pernah bermukim. Setiap kali saya berkunjung dalam benak emosional, romantis historis dan sentimentil selalu berkecamuk di kepala.

Sejak kecil  awal 1970-an saya kerap diajak orangtua saya berlibur dan menginap di rumah kakak Ibu di kawasan Cicendo dan seorang kakaknya lagi di Terasana. 

Sering petualangan saya membuat mereka ibu dan bibi saya terperanjat karena suka jalan kaki dari Cicendo ke Terasana sekitar satu kilometer menyeberang Jalan Padjajaran tidak peduli lalu lintas sambil melamun menikmati kota yang masih sejuk untuk berjalan kaki bahkan hingga siang. 

Bukan saja ke Terasana tetapi juga ke alun-alun melintasi jembatan kereta api ke Oto Iskandar Di Nata lalu kembali lagi.  Kalau bosan, saya memilih rute Cicendo, Wastu Kencana lalu ke Merdeka bahkan sampai Ganesha ITB.   

Pohon-pohon masih banyak bisa ditemui  dan bunga dan kembang masih ada.  Kabut pun masih ada banyak ditemui.  Suhu di Bandung pagi hari sekitar 15-17 derajat celcius membuat malas mandi pagi hingga perlu air hangat.

Petualangan itu terus berlanjut hingga 1990-an akhir, ketika pelan-pelan kota ini menjadi lebih panas, menjadi lebih sumpek, yang menjadi tanda tanya besar, sebuah kota yang penuh dengan SDM mumpuni masa tidak bisa membereskan kemacetan, penataan Ruang Terbuka Hijau, air hingga sampah.  

Bukankah kota ini  penuh universitas terkemuka mulai dari ITB, Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), STT Telkom, NHI (Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung), UIN Sunan Gunung Djati, Universitas Pasundan, Universitas Islam Bandung, Itenas dan masih banyak lagi?

Apakah para staf pengajar, peneliti dan alumni dari perguruan tinggi tersebut pernah diajak rembug oleh Pemerintah Kota? Untungnya Bandung pernah dipimpin alumni Arsitektur ITB Ridwan Kamil yang setidaknya mampu melakukan revitalisasi taman hingga sedikit mengembalikan romantis historis.   

Sayangnya pengganti Kang Emil tidak banyak melakukan perubahan, sekalipun program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan dan Manfaatkan) untuk mengatasi sampah dan Buruan Sae (kebun kota)  memberikan sedikit harapan. 

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung 2023, jumlah produksi sampah di Kota bandung mencapai 1.594,18 ton per hari pada 2022.  Dari jumlah tersebut, sampah makanan menjadi penyumbang terbesar yaitu  709,73 ton per hari  atau sebesar 44,52 persen.

Bagaimana dengan kemacetan?  Survei dari "Asian Development Outlook 2019--Update" yang diterbitkan September 2022, ADB menempatkan Bandung pada urutan ke-14 kota termacet di Asia, di atas DKI Jakarta urutan ke 17.

Pada 9 Februari lalu Kabid Lalu Lintas dan Perlengkapan Jalan Dinas Perhubungan setempat, Khairul Rijal mengungkapkan penyebab utama lalu lintas di Kota Bandung sering macet, yaitu jumlah kendaraan nyaris sama dengan penduduk. 

Populasi di Bandung jumlahnya 2,4 juta orang, sedangkan kendaraan ada 2,2 juta unit. Ini artinya rasionya nyaris 1: 1 atau setiap manusia di kota kembang itu, mempunyai satu kendaraan. Dari 2,2 juta unit, sebanyak 1,7 juta motor dan mobil 500 ribuan. Pergerakan volume kendaraan di Bandung dominan pagi hari. Bisa nyaris 50 ribu unit dalam tiga jam.

Menurut Peneliti Cece Sorbana dari Fakultas Ilmu Budaya Unpad dalam tulisannya bertajuk  "Bandung Kota untuk Semua: Harapan dan Tantangan yang Selaras" dengan Suistanable Development Goals  dalam Jurnal  Metahumaniora  Volume 10  Desember 2020 mengungkapkan kemacetan terjadi karena kurangnya ketersediaan transportasi umum yang baik di Kota  Bandung sehingga berakibat pada keengganan masyarakat untuk beralih dari transportasi pribadi ke umum.

Di samping itu, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kemacetan, antara lain kedisiplinan pengendara, kurang seimbangnya volume jalan dengan jumlah kendaraan yang setiap hari beroprasi, tempat parkir yang kurang memadai pada setiap lokasi tujuan, dan parkir liar.

"Perlu menjadi perhatian secara sungguh-sungguh dari pemerintah adalah fakta bahwa 95 persen penduduk Kota Bandung tidak ingin beralih menggunakan moda  transportasi umum karena waktu tempuh yang relatif lama dan tidak praktis," ujar Cece dalam tulisannya.

Bagaimana dengan Ruang Terbuka Hijau? Buku Bandung Dalam Angka Tahun 2022 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung,  terdapat 759 taman kota dengan total luas 2.170.134,11 meter persegi.

Taman-raman tersebut tersebar di 30 kecamatan di Kota Bandung. Kecamatan Bandung Wetan tercatat menjadi kecamatan dengan jumlah taman terbanyak, sebanyak 60 taman dengan luas toal mencapai 321.062,33 meter persegi. Sementara urutan berikutnya adalaj kecamatan Buah Batu memiliki 47 taman seluas 30.322,31 meter persegi.

Selanjutnya, Kecamatan Arcamanik menjadi kecamatan dengan luas taman terluas yaitu 689.090,23 meter persegi dengan jumlah taman sebanyak 45 taman. Sementara itu, Potensi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandung seluas 2.048,97 hektar atau 12,25 persen dari total keseluruhan luas Kota Bandung

Tantangan lainnya ialah ketersediaan air.  Pada awal 2023 Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi mengatakan berdasarkan pantauan, kondisi air tanah di Bandung untuk beberapa lokasi telah mengalami kondisi kritis hingga rusak. Hal itu, ditunjukkan dari penurunan muka air tanah yang terus berlanjut.

Kepala PATGTL Badan Geologi Rita Susilawati, berdasarkan sumur pantau air tanah, muka air tanah artesis di Bandung telah turun lebih dari 40 meter di bawah muka tanah. "Kondisi air tanah dikatakan aman bila muka air tanah artesis berada pada kedalaman kurang dari 20 meter di bawah muka tanah setempat," katanya pada Republika. 

Bagaimana dengan mata air?  Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Bandung, Didi Ruswandi  pada Mei 2023 mengakui saat ini, tinggal 67 mata air yang masih memiliki kandungan air.  Padahal informasi dari Citarum Harum sekitar tiga tahun lalu, dapat data lebih dari 100 mata air. 

Indikasi-indikasi menimbulkan pertanyaan, apakah kota Bandung masih layak huni dan berkelanjutan?

Masih Layak Huni

Peneliti dari Bandung Food Smart City Theresia Gunawan menyampaikan Bandung masih layak huni.  Staf pengajar Universitas Parahyangan ini menyitir hasil survei  Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) pada 2022 dalam bentuk Indonesia Most Liveable City Index (MLCI).

Survei menunjukkan bahwa Bandung termasuk top-tier city yaitu kota dengan indek MLCI di atas rata-rata. Ada 28 kriteria yang digunakan untuk mengukur kelayakhunian sebuah kota, Bandung mempunyai indeks tertinggi dalam aspek energi, fasilitas peribadatan, keselamatan dan kesehatan kota.

Kalau dilihat dari sisi lingkungan, dari skala 1 sampai 100, aspek kebersihan kota mendapat nilai 69; aspek persampahan mendapat nilai 73, penyediaan air bersih 76; pengelolaan air kotor dan drainase 72; dan penataan kota secara keseluruhan 62.

"Tentunya, diperlukan upaya-upaya bersama untuk meningkatkan indeks MLCI ini agar membuat kota Bandung semakin layak dan nyaman untuk dihuni," ujar Theresia dalam wawancara dengan saya untuk Koridor.

Theresia menyorot aspek dari pengelolaan sampah adalah masalah yang signifikan di berbagai kota, termasuk Bandung. Pasalnya September menjadi bulan kelam bagi kota kembang itu sewaktu penutupan TPA Sarimukti yang menyebabkan darurat sampah.

Meskipun demikian dalam beberapa tahun terakhir, upaya untuk meningkatkan pengelolaan sampah telah dilakukan melalui program seperti pengurangan sampah, daur ulang, dan peningkatan infrastruktur pengelolaan sampah.

Namun, masalah sampah masih menjadi tantangan, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan kapasitas TPA Sarimukti sudah tidak mampu lagi menampung sampah yang ada.

Oleh karena itu, lanjutnya  diperlukan kerja sama pemilahan sampah dari sumbernya sehingga sampah yang masuk ke TPA dapat dikurangi, dalam hal ini sampah organik diselesaikan dilingkungan rumah tangga/setempat.

Sampah plastik, botol, dan kertas yang memiliki nilai ekonomis dapat disetor di bank sampah. Tanpa upaya ini, kerusakan lingkungan hidup akan semakin parah karena pemanasan global akan semakin meningkat.

Tantangan lain ialah Ruang Terbuka Hijau yang merupakan elemen penting dalam menciptakan kualitas lingkungan yang baik di kota. Kota Bandung memiliki sejumlah taman dan area hijau, tetapi pertumbuhan penduduk kota yang cepat dapat mengancam RTH karena meningkatnya kebutuhan hunian, lahan komersial, dan kebutuhan lainnya.

Untuk itu pemerintah harus tegas dan memiliki rancangan pengembangan RTH yang berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem kota.

Polusi udara di kota Bandung berasal dari kendaraan bermotor, pabrik, dan aktivitas industri lainnya. Upaya untuk mengurangi emisi kendaraan dan upaya meningkatkan penggunaan transportasi berkelanjutan/ clean energy perlu mendapat perhatian. Aspek transportasi merupakan salah satu aspek dari MLCI di mana kota Bandung mendapatkan indeks terendah.

"Sementara ketersediaan sumber air bersih dan kualitas air sangat penting bagi keberlanjutan kota. Perubahan iklim dan pertumbuhan urbanisasi dapat mengancam pasokan air bersih di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk menjaga dan mengelola sumber air dengan baik," tutur Theresia.

Sumber Air Terancam, Kemajuan di RTH

Aktivisi Lingkungan Bandung Rahmat Kurnia mengingatkan hal senada permasalahan lingkungan hidup di Kota Bandung cenderung masih dalam kurva datar, tidak menurun juga belum naik signifikan.

Pria yang karib di komunitas dengan mana Rahmat Leuweung ini menyatakan mata air adalah persoalan utama dalam  bidang lingkungan hidup. Air merupakan hajat pokok masih makhluk hidup, terutama manusia. Secara topografis, dataran tinggi Bandung adalah Kawasan Bandung Utara, sehingga di sanalah sumber utama kebutuhan air bagi warga Kota Bandung.

Pembersihan sungai di Tahura Djuanda-Foto: Irvan Sjafari
Pembersihan sungai di Tahura Djuanda-Foto: Irvan Sjafari

"Belum ada upaya "greget" untuk menyelamatkan sumber-sumber mata air di KBU dari gempuran pembangunan dan perubahan fungsi lahan. Untungnya, kesadaran warga Kota Bandung cenderung meningkat, sehingga  dapat diimbangi," ujar Rahmat.

Begitu juga dengan sampah dengan peristiwa kebakaran TPA Sarimukti sekitar Agustus yang lalu, dampaknya sangat terasa bagi warga Kota Bandung. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran dalam pengelolaan atau penanganan sampah bagi warga Kota Bandung belum menunjukkan tingkat kesadaran tinggi.

Tentu hal ini pun dilatarbelakangi oleh belum optimalnya upaya pemerintah dalam pengelolaan sampah. Indikator yang paling mudah adalah bagaimana kondisi sungai di Kota Bandung masih semerawut dengan masalah sampah.

Untuk RTH, Rahmat mengatakan secara umum di Kota Bandung sudah mengalami peningkatan. Salah satunya adalah pengelolaan RTH kawasan Babakan Siliwangi. Konsep pengelolaan yang mampu membangun interaksi manusia dan alam perlu diadaptasikan di tempat-tempat lain.

Dengan adanya semacam koridor jembatan, mengurangi interaksi langsung yang berpotensi mengganggu tanaman atau pohon. Catatan bagi pengelola wilayah-wilayah RTH Kota Bandung dalam hal ini

"Pemkot  harus meningkatkan pengawasan dari dampak kekumuhan dan dampak sosial lainnya. Selain itu otoritas juga melakukan peningkatan sarana bagi edukasi warga," pungkasnya.

Penelitian yang dilakukan Wida Oktavia Suciyani dan  Arifha Nurhaliza Hinanti  dari Program Studi Manajemen Aset, Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung dalam Jurnal Pondasi pada 2022 bertajuk "Analisis Pengembangan Aset Hutan Kota  Berdasarkan Kriteria Ruang Hijau Berkelanjutan" mengakui hal yang sama.  Menurut mereka Hutan Kota Babakan Siliwangi merupakan kawasan resapan air yang memiliki potensi  dalam pemenuhan fungsi RTH untuk ekologis, sosial, dan budaya di Kota Bandung.

Babakan Siliwangi- Foto: Irvan Sjafari
Babakan Siliwangi- Foto: Irvan Sjafari

Salah satu aspek yang dilihat adalah material yang digunakan untuk kedua entrance gate adalah berbahan dasar kayu. Material kayu dipilih karena dapat terurai  dengan mudah di alam dan bersifat renewable yang artinya ketersediaan kayu akan tetap ada selama pelestariannya tetap terjaga.

Adapun material yang digunakan pada walking/cycling  paths adalah permeable pavement. Permeable pavement dipilih karena material ini merupakan jenis perkerasan ramah lingkungan yang memungkinkan air hujan melewati  tanah di bawahnya sehingga dapat mengurangi genangan air.

Hanya saja pengelola harus melakukan  upaya mendukung efisiensi air, rainwater harvesting sistem atau sistem  pemanenan air hujan diterima secara luas sebagai alternatif yang andal. Pemkot juga bisa membuat sistem pengelolaan limbah adalah salah satu komponen indeks kota  hijau. Hutan kota yang berkelanjutan harus memberikan peluang dalam pemanfaatan limbah(Bagian Pertama dari Tiga Tulisan).

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun