Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siapa Korban Ketujuh Ken Dedes?

30 Oktober 2022   20:57 Diperbarui: 30 Oktober 2022   21:08 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menamakan perempuan itu  Ken Dedes. Perempuan membuat sejumlah raja di Jawa bertekuk lutut di kakinya. Bahkan siapa pun laki-laki yang terkena pesonanya seperti tersihir  seperti melihat Medusa dan menjadi batu dalam mitologi Yunani. 

Cerita menyebut enam laki-laki mati karena kutukan keris Mpu Gandring, ayah dari Ken Dedes. Siapa saja mereka? Saya menelusuri daftarnya, mulanya Tunggul Ametung suami  pertama Ken Dedes yang menikahi paksa Ken Dedes dan membawanya ke Tumapel. Karena Ken Dedes, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan memperistri Ken Dedes dan menyalahkan Kebo Hijo, rekannya sesama pengawal. Kebo Hijo dan Ken Arok sendiir, hingga anak-anak Ken Dedes,  Anusopati dan Tohjaya, hingga Ki Pangalasan orang yang membantu Anusapati membunuh Ken Arok dengan keris.   

"Semua mati bukan karena keris itu tetapi karena Ken Dedes!" ucap saya.

Perempuan itu hanya tertawa kecil vickers luger  teracung kepada saya dan Gunadi, Sersan KNIL. Saya,  wartawan  sebuah surat kabar Tanah Air  menjawab pertanyaan yang dilontarkannya mengenai peristiwa yang terjadi di  Kerajaan Singasari berabad-abad yang silam.

Malam ini 2 Agustus 1949, kami  jadi tawanan perempuan ayu berkulit hitam manis itu.  Kami berdua terikat  di tiang rumah kecil yang terbengkalai di dekat Desa Peniwen.

Dia mengenakan rok dan kemeja cokelat yang kumuh penuh debu. Tetapi di mata saya dia justru makin memikat.  Takut atau tidak?  Saya takut mati, tetapi kalau di tangan dia? Entah mengapa jantungku jadi berdebar.  Saya mengenalnya.

Di dekat kami terkapar  Kopral KNIL Bintang  dengan kepala berlubang  akibat tembakan akurat dari jemari perempuan itu.  Bintang hanya sempat menoleh ketika perempuan itu masuk dan langsung menembak tanpa sempat membalas. Tubuh besarnya rontok, seolah-olah dia bintang jatuh dari langit,

Gunadi tidak sempat mengambil sten yang disandarkan ke dinding ketika Ken Dedes melemparkan sangkur dengan tepat ke pahanya dan pria bertubuh besar itu jatuh terjengkang. Lalu perempuan itu mengacung vickernya kepada diriku meminta  saya duduk.

Dia kemudian mengikat kedua tanganku di tiang rumah itu disusul Gunadi yang pingsan akibat kepalanya terbentur. Kemudian mengikatnya denganku.

"Kamu kan Kemala, pandu Ansor, anak MULO Malang?"

"Tepat sekali Bung Ikhsan. Yang kamu sosor dengan mata jelalatan ketika dikenali koncoku Wulan. Kamu juga konconya Hari Jumanto. Dia tetanggaku," jawabnya enteng.

"Apa salahku cantik?"  ucap aku berupaya tenang.  Tahu saja dia tentang aku.

"Ngapain kamu sama KNIL-KNIL ini Bung Ikhsan. Kamu mata-matanya mereka berdua?"

"Ya, Ampun cantik, saya menyusun laporan soal kejadian di Peniwen, Rumah Sakit Panti Husodo?" jawab saya. "Mereka mau kasih informasi apa yang terjadi  di sana. Mereka baru mau cerita soal siapa saja KNIL yang membunuh anggota Palang Merah Indonesia dan memperkosa para perempuan kita."

"Baiklah Bung Wartawan. Tapi kamu malah bekerja sama dengan orang-orang yang memperkosa teman saya," ujar dia.

"Aku tidak Nduk. Kopral Bintang dia, aku cuma nonton," sela Gunadi sambil memegang kepalanya yang masih sakit.  Rupanya dia tersadar.

Kemala berpaling kepada Gunadi dan menondong vickers itu ke kepalanya. "Justru karena kamu menonton saja dan tidak berupaya mencegah enam temanmu memperkosa Ratna, temanku, tetangga sampeyan juga!"

Jadi Gunadi, Kemala dan Hari Jumanto alias Harjum satu kampung.

Gunadi menangis.  Baru kali ini saya melihat KNIL menangis.  "Aku menyesal. Aku berupaya agar mereka tidak memperkosa Ratna. Saya kenal dia waktu kecil  dan nyaris kamu, Nduk!"

"Nduk? Dialek kamu tidak ke Belanda-an?" saya mengkonfirmasikan dugaan saya.

"Justru karena kulitnya hitam dan dia Jowo, aku benci karena dia mau-mau saja jadi anjing-nya NICA.  Padahal dia kawan, sekampung kami di Singosari sebelum  dia  pergi ke Magelang jadi KNIL?" bentak Kemala sambil menoleh kepadaku.  Terjawab sudah.

Saya melihatnya dengan mata kagum.  Bagaimana ceritanya dia bisa mengalahkan dua KNIL plus saya.  Sepertinya dia sudah mengikuti kami dengan sabar dan melakukan penyergapan dilakukan sempurna.  Perempuan perkasa.

Lalu dia menempelkan Vickers  itu kepadaku. "Ndak takut aku tembak? Jadi korban ketujuh aku?"

Ah, jadi tumbal k tujuh Ken Dedes yang ayu ini?  Saya seperti siren yang menyihir para pelaut dari buku Belanda yang aku baca di Balai Pustaka.

"Terserah kamu cantik. Tapi biarkan saya mati sambil menatapmu yang indah. Dari pada mati kena tembak KNIL atau ditembak tentara Republik karena salah paham atau kedinginan dan lapar. Jelas dan tak menyesal," saya berusaha tenang.  Paling langsung ditembak karena bicaranya lancang dan lantang.

Vickers Luger-Kredit Foto: https://phoenixinvestmentarms.com
Vickers Luger-Kredit Foto: https://phoenixinvestmentarms.com

Saya paham betapa ampuhnya senjata yang kerap digunakan tentara NAZI untuk mengeksekusi tawanannya.  Dari mana  Ken Dedes bisa mendapatkan mainan berbahaya itu, berikut pisau yang tertancap di paha Gunadi? Hari Jumanto tidak mungkin memberikan mainan ini kepada tetangganya. Dia tetap berpendapat tugas perempuan dalam perang ini, ya kalau tidak di dapur, di palang merah.

Tetapi Kemala hanya tersenyum dingin. Lalu mengalihkan vickernya ke kepala Gunadi. "Keenakan dia, ganteng! Masa kamu mati, dia hidup!"

"Kamu kenal dengan perempuan stres ini?" tanya Gunadi ketakutan.

"Kenal. Waktu aku main ke Singosari dikenalkan Wulan, teman aku di Jakarta."

"Ya, Wulan pandu Ansor juga. Jangan-jangan kamu jatuh cinta sama Nduk ini?"

"Tanya saja dia, Anjing KNIL! Kamu kenal dengan pengagum aku ini?" tanya  Kemala dingin.

"Kenal.  Aku bertemu dia  di Bandung sebelum Jepang datang.  Mas pengagummu ini  baru menamatkan AMS-nya dikenali Kang Januar, suami kakakku!"

"Welleh, begitu ceritanya! Jadi cuma kamu toh yang terus jadi orang Belanda!"

"Tadi Cantik bilang  bakal ada tujuh korban, enam korban lain termasuk Bintang nah yang lima lagi?" tanya saya pada Gunadi.

"Ya, teman-temanku Mas Ikhsan, Regu Gagak  dari  Peleton Kapten Seto.

"Sandi operasi Jenderal kalian waktu menyerbu Yogyakarta, ya? Tetapi  perempuan ini Elang Jawa," timpal saya. " Kalau kalian cuma gagak, ya dimangsa dia!"

"Tetapi dia perempuan..!"

"Waduh Mas Gun, singa betani itu pemburu ulung.  Minang punya cerita Sabai Nan Aluhi, perempuan yang mahir menembak. Orang Aceh kenal Cut Nyak Dhien.  Dia itu komplit Ken Dedes yang pemikat  ditambah pandai menggunakan senjata.

Kemala kembali tersenyum dingin. "Terima kasih atas pujiannya. Kini aku yang cerita ya ganteng," katanya sambil mengelus ujung pistol itu di pipi saya.

"Bukan hanya menyerang Yogyakarta, Belanda juga menyerang kami malam hari 19 Desember 1948. Mereka bergerak dari Kedung Pajak, menerobos Walet dan terus ke Turen.

Berapa hari kemudian tentara Belanda menyerang Mendalan, Kecamatan Kesamben, Batu,  Malang.  Mereka agaknya ingin mengamankan pembangkit tenaga listrik terbesar di seluruh Jawa Timur untuk mengaliri seluruh kota dalam Keresidenan Surabaya, Malang dan Kediri.

Belanda belajar bahwa pada masa pendudukan Inggris, listrik di Surabaya pernah dibuat padam total karena diputus oleh tenaga ahli bangsa Indonesia. Karena tentara musuh lebih besar kekuatannya akhirnya pada pukul 11 siang tentara Indonesia mundur setelah melakukan bumi hangus.  Pertempuran terjadi di Mendalan tanggal 25 Desember."

"Kamu ada di mana, Cantik? Di Singosarikah?" saya berupaya tetap tenang.

Dia menoleh kepadaku. "Memang kamu mau nolong?" cetusnya. Dia lalu menoleh ke Gunadi. "Singosari dimortir tuh Januari lalu, sampeyan nggak punya nurani!  Seratusan mati atau luka Gun!"

Lalu dia menghampiri saya. "Aku di sebuah desa di dekat Batu. Di situlah awal malapetaka.  Awa Januari lalu satu regu KNIL mencoba menyergap kami.  Jumlahnya sepuluh atau dua belas orang merayap. Kebetulan aku dan Ratna baru saja pulang mandi di sungai  dan meneriakan Londo Ireng! Londo Ireng!"

Gunadi mengangguk. "Gara-gara teriakan kalian, seorang TNI yang berada dekat sungai langsung berpaling dan menembak. Teman kami Kapten Seto tewas seketika. Tembak menembak terjadi, kami kehilangan dua orang lagi, tetapi menghabisi semua TNI di situ!"

"Termasuk Mas Gino, kawan kecilmu Gunadi! Tetanggamu anjing KNIL!" Kemala menahan amarah dan  tangisnya sekaligus dan mengarahkan vickersnya ke kepala Gunadi.

Saya menahan nafas, karena dia bisa saja meletuskan pistolnya dan kepala Gunadi senasib dengan Bintang berlubang dengan darah berhamburan di lantai.

"Jadi tinggal kamu dan Ratna?" tanya saya.

Kemala menggeleng dengan dingin.  "Ada satu lagi, tetapi sembunyi. Saatnya kalian tahu. Dia ada di sekitar sini mendengarkan pembicaraan kita. Mereka tinggal bertujuh dan menggiring kami di dekat sungai.

Ratna hanya pakai kain yang basah rupanya mereka menjadi iblis dan memperkosanya bergantian. Lalu dia hanya menonton dan aku masih mengingat muka-muka iblis itu dan juga juanjuk itu! " perempuan itu menunjuk Gunadi. 

"Namun sebelum jadi korbannya, aku menarik Ratna terjun ke sungai, tetapi sten dari salah seorang di antara mereka memberondong kami. Ratna tertembak tewas!"

Saya membayangkan betapa dendamnya perempuan itu para KNIL itu dan mungkin lebih daripada itu, yaitu pada para laki-laki.  Mengapa perempuan selalu menjadi korban empuk peperangan? Saya dapat cerita orang-orang Pesindo memperkosa putri bangsawan Melayu di Sumatera Timur? Di Bandung juga saya dengar ada kejadian perempuan Belanda. Bukan hanya pihak Belanda tetapi juga Republik.

"Lalu kamu memburu mereka satu perempuan cerdas dan perkasa! Bisa diceritakan?"

Kemala memandang saya dengan dingin. "Boleh, keparat ini mendengar. Selama ini dia dan kawannya yang terkapar itu bagaimana bisa lima kawannya mati satu demi satu secara misterius."

"Yang pertama, aku tembak di dekat Stasiun Kota Malang ketika lagi sendirian menjelang mahgrib, tepat di lehernya dari jarak dekat!" 

"Itu Yanto, sial sekali nasibnya.  Dia hendak membeli jamu gedong. Tidak ada saksi kecuali seorang perempuan yang kami sangka tukang jamu gendong, kumal sekali rambutnya acak-acakan! Dia ditemani seorang anak kecil.   Ketika kami datang mereka duduk dengan tenang dan ada seorang pemuda lari ke arah Kotalama. Ya, tentu saja dia yang kami kejar!"

"Yang perempuan itu kamu Kemala!"

"Yuup!" jawabnya pendek. "Aku nggak takut ditembak, tanggung!"

"Pemuda itu?"

"Kebetulan memang orang Republik, tapi tugasnya mengintai. Tak menyangka aku menembak dengan berani!"

"Kalian tidak curiga pada tukang jamu gendong?" tanya saya pada Gunadi.

"Iya, nggaklah Mas, kamu belum pernah ditembaki perempuan."

 Saya tergelak.  "Itu tumbal pertama? Tumbal kedua!"

"Masih  di Malang. Januari itu juga . Di rumah bordil, aku melihat KNIL yang aku buru sedang mencari perempuan. Kebetulan perempuan yang ada  sedang sibuk.  Lalu aku menawarkan diri ngamar.  KNIL itu tidak curiga. Ketika dia sudah buka pakaian dan aku buka pakaian aku tikam perutnya dengan sangkur dan langsung aku tembak kepalanya!"

"Mantap!" seru saya. "Lah, kamu nggak ditangkap?"

"Aku tidak lari!"

"Yang keluar justru dua laki-laki yang ngamar.  Seorang di antaranya rupanya pejuang entah dari mana mengeluarkan pestol. Londo-londo berdatangan dan pejuang itu sepertinya melawan terjadi baku tembak."

"Ya, sama-sama doyan lonte. Lah, kalian nggak curiga sama perempuan ini?"

"Siapa mencurigai lonte Mas! Mereka berteriak histeris semua. Lagi pula bikin malu baku tembak di rumah lonte!"  Gunadi pasrah korpsnya ditelanjangi.

"Aku keluar dengan tenang, malah disuruh cepat keluar karena rumah bordilnya ditutup permanen," kata Kemala santai.

Saya tidak tahu apakah harus kagum atau gemetar ketakutan. Entah mengapa saya merasa beruntung bisa bersama perempuan pemberani ini.

"Korban ketiga?"

"Ah, itu si Badu ya termasuk dari belasan tentara Kerajaan Belanda yang terbunuh dalam baku tembak tengah malam di Jalan Arjuno dan Kawi, 25 Januari," kini Gunadi menjelaskan. "Aku memang melihat ada perempuan di halaman sedang menyapu dan Badu ditembak di depan rumah di Jalan Arjuno itu. Tetapi kami resmi menyebut itu perbuatan ekstrimis.."

"Jelas kan Bung Wartawan. Seru loh, tembak-tembakannya jarak dekat!" sahut Kemala sambil tetap mengacungkan pistolnya.  Lalu dia menghampiri saya dan menyeka keringat saya dengan saputangannya. "Jorok, ah! Muka kamu tidak pernah dicuci!"

"Kalian tidak menduga ya, perempuan yang menyapu itu yang menembak?"

"Iya, nggak lah dia bekerja untuk istri Meneer Hans yang punya rumah dan maha galak. Meneer Hans itu punya koneksi di militer. Mas, Mas.  Sersan kami ingin membawa  dia  langsung diusir, karena menganggu pekerja lepas yang rajin itu.  Ada komandannya lagi!" Jelas Gunadi pasrah. "Malah kami dibilang Godverdome, bisa-bisanya geriliyawan masuk kota! Petugas jaga itu, ya Sersan itu!"

Kemala lalu menghampiri Gunadi yang kakinya sudah gemetar karena sangkur tertancap di pahanya. Lalu dengan perlahan Kemala mencabutnya, Gunadi berteriak dia melap darah di sangkurnya dengan celana Gunadi.  Lalu menyimpan kembali di tas kecilnya.

"Maaf, ya Anjing KNIL," ucapnya dia.

Ilustrasi-Gambar kasar Irvan Sjafari
Ilustrasi-Gambar kasar Irvan Sjafari

Dia kemudian mengambil alkohol dan menyiram ke luka Gunadi.  Tentara KNIL berteriak nyaring.  Kemala kemudian mengeluarkan perban dan membalut lukanya.

"Karena kamu sudah mau bercerita, aku mau baik sedikit sama kamu. Sebagai petugas palang merah kan harus menolong tanpa membeda-bedakan," tuturnya sambil melantunkan  tembang.

Malam makin larut.  Kemala kemudian  keluar. Dia yakin tak seorang pun dari kami akan lari. Kemudian datang anak laki-laki kira-kira berusia lima tahun dengan malu-malu memasuki ruangan.

"Bantuin ibu masakin air, buat wedang jahe buat Ibu, kamu dan  paman-paman ini. Tidak sopan mereka kedinginan! "

"Itu Londo kan Ibu? Musuh kita! Yang itu siapa?"

"Pengagum Ibu. Tetapi Ibu lagi marahan sama paman ini?"

"Oh," kata anak itu.

Dia pun membawa satu panci air, juga kayu-kayu. Pandu yang mahir.  Dia  menjerang air dan kemudian memasukan jahe yang sudah dipotong dengan rempah-rempah.

Cantik, unik, sekaligus menakutkan. Itu kesan saya terhadap dia.

"Kamu bawa-bawa dia berburu kami?"  tanya Gunadi.

"Iya, lah anakkku. Bapaknya pergi entah kemana! Justru karena anak ini ada, Londo-londo macam kalian tidak curiga!"

"Keparat.  Teman-temanku keparat! Aku juga keparat! Berarti anak itu jadi saksi pembantaian kami!"

"Yuup. Didik bersembunyi di balik batu melihat ibunya dan temanku Ratna diseret. Itu yang membuat aku makin marah Londo bangsat!  Aku kemudian berenang ketepian dan anakku menolong melempar tali dari tas panduku."

Saya pun menitik air mata tidak tahan lagi. Gunadi juga meraung. Pantas saja, anak itu tidak peduli dengan tubuh Bintang yang tergeletak.

"Ntar, sudah minum wedang jahenya, lanjutkan ceritanya apa yang terjadi pada dua kawanmu yang lain," papar Kemala.

Sejam kemudian wedang jahe sudah jadi.  Saya dan Gunadi masing-masing  diminumkan secangkir kecil kaleng wedang jahe.  Kemudian kami disuapin singkong bakar. Sementara Didik asyik mengunyah sendiri.

"Jadi kapan Londo ini ditembak Bu?" cetus Didik dengan tenang.

"Nantilah, Ibu mau cerita-cerita dulu."

"Oh, masih dua  cerita lagi ya? Yang di kolam renang Tretes itu. Oh, iya koncomu itu Gun, yang  rambutnya gundul,  yang paling brutal memperkosa Ratna dan nyaris aku!"

"Ya, Bimo," jawab Gunadi.

"Namanya nggak sesuai dengan ahlaknya. Harusnya Bimo itu membela kehormatan perempuan bukannya merusak!" celetuk Kemala.

"Kamu tembak di kepala gundulnya?" tebak saya.

"Eunak tenan kalau itu.  Koncomu itu, Gun berenang telanjang bulat tidak ada yang lihat. Aku mengamatinya mengusir teman-temannya agar tidak mengganggu kesenangan dia. Dia ingin menyepi.  Lalu aku potong kabel listrik berapa meter, lalu aku ulurkan ujungnya ke kolam renang. Koncomu terlalu fokus berenang itu baru lihat aku setelah dia kejang-kejang, untung masih bisa keluar. Lalu begitu keluar, itunya loh  aku setrum dan jatuh kembali ke kolam, lalu baru aku tembak!"

Didik dengan santai mengunyah singkong bakarnya. "Lapar Bu! Bakarin lagi!"

"Kami datang dua jam kemudian, mayat Bimo sudah mengapung  di Kolam seperti kepiting rebus dan kepala berlubang. Kolam menjadi merah darah."

"Kejadiannya Februari 1949. Sebelum kalian melakukan kebiadapan lain di Peniwen tanggal 19 bulan itu. Apa salahnya anggota palang merah? Mereka juga menolong kalian jika terluka? Itu rumah sakit juanjuk! Lalu kalian perkosa juru rawat di sana.  Begitu bangsa beradap?"  Suara menggelegar.

"Perempuan diciptakan untuk menjadi pasangan laki-laki, bukan ditindas seperti binatang!"

Gunadi tertunduk. Dia menangis. "Bintang ikut di regu yang menyerang  Peniwen. Aku di luar tidak berani karena tahu apa yang akan mereka lakukan!"

"Gereja di Belanda saja marah terhadap tindakan itu Kemala. Aku ingin membuat laporan tentang itu!"

"Sebanyak 12 anggota Palang Merah Remaja dan setidaknya 5 penduduk sipil ditembak mati. Aku ada di sana Mas Ikhsan!  Tadinya aku mau menitipkan Didik di sana! Tapi ternyata tidak ada tempat buat kami!"

"Sialan! Anak itu juga ada di sana! Itu pelanggaran berat terhadap Konvensi Genewa!"  cetus saya. Hati nurani saya memberontak.

"Semua perkosaan adalah pelanggaran terhadap kemanusian Tuan Wartawan, bukan hanya Konvensi Genewa!"

"Lalu sebelum Bintang siapa?"

"Ntar aku ceritakan, tetapi sumbermu itu sudah tahu. Mau minum lagi?"

Didik membantu ibunya menuangkan teko wedang jahe ke cangkir kaleng. Lalu Kemala meminumkan ke saya dan Gunadi.

"Lanjutkan cerita, ya? Ah, koncomu yang suka  makan es krim itu, sopo?"

"Raden Joyo, kami memanggilnya. Keturunan bangsawan Kraton Solo, tetapi diusir bapaknya karena kegemarannya pada perempuan kebablasan," sambung Gunadi.

"Nah, karena dia keturunan bangsawan matinya pun harus bergaya bangsawan. Cocok kan?"

"Maret atau April 1949 kalau tidak salah? Aku amati tuh. Pakaiannya apik benar kalau mau minum es krim di Toko Oen. Dia pasti tidak pakai seragam.  Tantangan bagiku, bagaimana tembak dia sedang makan es krim dan dengan baju luriknya pakai blangkon."

"Kamis 14 April, dua hari setelah seorang inspektur ditembak mati entah oleh siapa. Joyo sudah aku ingatkan untuk tidak sendirian. Tapi dia percaya, karena di luar ada penjaganya. Apalagi itu Jalan Kajutangan, jalan utama. Dia minum es krim di hari pukul dua siang, jam sepi."

"Nah, betul itu. Tantangan buat aku. Laku ajak ini Lanang ikut makan es krim. Tadinya mau digeledah tetapi Om Hans marah karena dia juga punya anak seusia Lanangku ini, dan anaknya suka sama anakku.  Penjaganya dibilang  Godverdome!  Malah aku dikasih uang untuk beli es krim buat anakku ini."

"Lalu bagaimana kamu bisa menembak tanpa ketahuan penjaga dan pelayan?"

"Aku tahu bahwa ada orang Republik sudah masuk dalam kota sasarannya pejabat Belanda. Itu aku ceritakan, aku bilang infonya dari warung. Ya, pejabatnya yang dikawal si Raden tidak."

"Kamu kaish info sama Belanda?"

"Iya, nggak lah, tidak kasih tahu di mananya.  Pasukan banyak  di Hotel Palace, dan aku tahu sasarannya Sersan Roel yang jaga  di depan Oen.  Tentara Republik itu dendam sekali pada Roel yang membunuh bapaknya.  Jadi kerja sama saling menguntungkan."

"Jadi begitu Roel ditembak, kamu tembak kepala si Raden?"

"Yuup, persis setelah dia meneguk es krim kedua. Lalu aku bawa Didik keluar lari. Tentara Republik masuk ke dalam mengeluarkan kami.  Lalu aku dan Didik disuruh lari dan tentara Republik itu baku tembak sama KNIL yang datang."

"Jadi Lanangmu itu sempat makan es krim?"

"Enak paman...aku suka  rasa stroberi!"

"Paman Ikhsan, Panggil dia Paman Ikhsan," kata Kemala.

"Lalu kamu pulang ke rumah Meneer Hans yang begitu cemas.." Saya menebak.

Kemala mengangguk.  Lalu dia mengambil arloji dan melihatnya. "Sebentar lagi subuh. Jadi siapa nih mau jadi tumbal aku ke tujuh?"

"Begini saja Bu, aku main nyanyi dolanan, kalau lagunya berhenti, yang aku tunjuk ibu tembak. Tetapi kali ini aku nggak mau lihat ya, paman-pamannya baik sih!"

Kemala mempersilahkan.  Lalu Didik bernyanyi cublak cublak suweng/ suwengnya suwenge ting gelenter Mambu ketundhung gudel/ Pak empong lera lere.... 

"Ya, ke kamu Ikhsan," kata Kemala dengan senyuman dinginnya. "Kamu tumbal ke tujuh aku yooo!"

Lalu  dia melepaskan ikatan aku dan menyuruh saya berdiri dan pergi ke luar.

Gunadi tampaknya tidak enak. "Jangan Nduk, dia tidak bersalah!"

Kemala tidak menjawab. Saya pasrah akan dieksekusi di luar rumah.

 Baru berapa langkah, Letnan Hari Jumanto bersama pasukannya menerobos masuk.

"Wong Edan, he... mau bawa kemana koncoku itu Nduk. Untung kamu tembak orang itu sebelum cease fire. Kalau tidak kamu bisa ditembak!"

"Tahu Mas Harjum. Tumbal aku ke tujuh belum dipikirkan. Bisa dia, bisa yang lain...Saat ini aku mau ajak Mas  Ikhsan jalan."

Unik. Cantik. Pintar dan misterius.  

Bersama Harjum, beberapa serdadu TNI ikut beberapa tentara Belanda. Di antaranya seorang KNIL yang memandang benci pada Bintang yang terkapar. Rupanya mereka sudah mengintai.

Patroli bersama mengawasi cease fire. Saya menduga tadinya Kemala hendak ditembak, tetapi dengar kata perkosaan, mereka ingin dengar. Kebenaran terungkap. Selain itu Harjum mengenal suara Kemala.

"Jadi tentara, ya jadi tentara tidak usah memperkosa. Bikin malu KNIL saja!"  makinya pada mayat Bintang.

Saya sempat melihat Harjum menoleh pada Gunadi. "Jadi bagaimana kedua belah pihak bikin laporan yang tidak buat malu  kedua belah pihak.

"Ya, kami diserang gerombolan tidak dikenal Ikhsan, Kemala dan anaknya disandera. Bintang ditembak mati," terang Gunadi.

"Goed! Bagus itu ceritanya!" ucap seorang  Perwira Belanda. Kesepakatan.

"Jadi itu yang kamu tulis Bung Wartawan nanti, Wong Edan!"

"Memangnya tembak-menembak di rumah bordil itu masuk dalam buku sejarah?

"Nggak lah, bikin malu saja. Bikin malu kedua belah pihak. Nggak bakal ditulis," jawab Harjum.

Kemala mendorong saya untuk ikut dia.

"Oii, pistolmu masih ada satu peluru kan?"

"Jangan cemas, mas Harjum. Dia koncoku juga.  Aku mau ajak dia salat di langgar, jadi imam kami."

"Yaa, Wong Edan. He, Bung Ikhsan, Kemala kosong tuh, siapa tahu kamu bisa jadi Imam dia."

Saya tidak menjawab, Kemala juga. Kami berlalu.

"Jadi tumbal ketujuh bisa nanti-nanti?"

Baik pihak Republik dan Belanda sama-sama tertawa.

Kemala tidak menjawab.  Saya hanya berharap mudah-mudahan perang di hatinya segera berakhir, seperti halnya Perang Kemerdekaan ini.

"Komandan, wedang jahenya masih banyak, juga singkong bakarnya..." terdengar suara dari dalam rumah yang terbengkalai itu.

"Welleh, Munadi, kamu pikirannya makan saja..ya wesss!"

                                                                                   ***

Berapa tahun kemudian  saya kembali ke Malang ingin mencari Kemala dan anaknya Didik.  Tetapi Harjum  malah meminta kami untuk bertemu kawannya yang melatih Kemala.

Dia menyambutku di rumah makan Cairo.  Di sana sudah menunggu seorang Jepang, namanya Letnan Sato.  Rupanya dia ikut mengajarkan Kemala menembak dan menggunakan sangkur.  Bahkan menggunakan katana, karena kagum pada semangatnya dan simpati pada perjuangan kemerdekaan.

Hanya saja dia heran. Ketika dinyatakan lulus menembak. Kemala hanya minta tujuh peluru. Katanya dia ingin bunuh tujuh londo, putih maupun ireng.

"Wah, pantas tangkas. Anda percaya, Kemala bisa menembak orang?"

"Percaya, Kemala itu anak cerdas, tangkas, disiplin dan pandu yang bagus. Tetapi kalau tentara yang sampai bisa diburu satu demi satu seperti cerita kalian, pasukan Belanda yang mana? "

"Mengapa Pak Sato?" tanya saya.

"Bisa-bisanya ada yang mati di rumah bordil, disetrum di kolam renang, ditembak di toko makan es krim. Luar biasa!" puji Sato bangga. "Benar-benar murid aku!"

"KNIL. Entah dari brigade mana  yang diburunya.  Apa Letnan punya komentar?"

"Hanya satu kata: Bagero! Pasti bukan didikan Nippon!"

Kami semua tertawa sambil menikmati martabak Mesir dan sate kambing.

"Pantas saja ketika Nippon datang, tentara KNIL dan Londo-londo putihnya terbirit-birit."

"Mereka hanya berani melawan pribumi yang senjatanya di bawah mereka. Coba kalau setara senjatanya?" tutur Sato.

Kami tergelak.

Gunadi mendengar dengan seksama,  mukanya merah padam.  Jalannya ketika  diajak Harjum ke rumah makan ini agak pincang dan harus dibantu pakai tongkat. Kini dia bekerja di Poliklinik Muhammadyah di Jalan Kawi untuk menebus dosa-dosanya, katanya.  

Sayang hari itu saya tidak menemukan Kemala. Tetapi saya yakin bertemu dia suatu saat. Besok saya bertolak ke Jakarta, kemudian bertugas ke Bandung untuk menjadi wartawan di sana. 

Malam itu saya naik kereta api. Harjum baru saja mengantar saya di dalam gerbong.  Ketika kereta berangkat saya melihat Kemala dan anaknya melambaikan tangan. 

Saya tiba-tiba ingat bahwa  cublak-cublek suweng, dolanan bocah itu hitungan saya harusnya berakhir ke Gunadi, tetapi dijatuhkan ke saya.  Maksudnya, biar saya yang  dibawa keluar. Kemala tidak akan menembak pengecut.   Dia hanya ingin laki-laki menyesali hidupnya.  Tak perlu mati.

Sampai jumpa, saya mencoba menebak apa yang diucapkan dari bibirnya.  Tetapi siapa kira-kira korban ketujuhnya? Vickers dan satu peluru masih disimpan dia.

Irvan Sjafari 

Konsep cerita  dibuat 2009-2010, diperbaiki 2015,  diselesaikan 26 Oktober 2022.  Judul asli: "Mati Kamu Londo!" Untuk Kumpulan cerita "Merah-Putih/Kisah Dua Kota"

Sumber Foto:

https://makassar.tribunnews.com/2022/01/21/lahirkan-raja-raja-majapahit-yang-kuat-inilah-rahasia-ken-dedes-yang-buat-ken-arok-gelap-mata

https://phoenixinvestmentarms.com/History%20Book/7173Vickers.htm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun