"Masih  di Malang. Januari itu juga . Di rumah bordil, aku melihat KNIL yang aku buru sedang mencari perempuan. Kebetulan perempuan yang ada  sedang sibuk.  Lalu aku menawarkan diri ngamar.  KNIL itu tidak curiga. Ketika dia sudah buka pakaian dan aku buka pakaian aku tikam perutnya dengan sangkur dan langsung aku tembak kepalanya!"
"Mantap!" seru saya. "Lah, kamu nggak ditangkap?"
"Aku tidak lari!"
"Yang keluar justru dua laki-laki yang ngamar. Â Seorang di antaranya rupanya pejuang entah dari mana mengeluarkan pestol. Londo-londo berdatangan dan pejuang itu sepertinya melawan terjadi baku tembak."
"Ya, sama-sama doyan lonte. Lah, kalian nggak curiga sama perempuan ini?"
"Siapa mencurigai lonte Mas! Mereka berteriak histeris semua. Lagi pula bikin malu baku tembak di rumah lonte!" Â Gunadi pasrah korpsnya ditelanjangi.
"Aku keluar dengan tenang, malah disuruh cepat keluar karena rumah bordilnya ditutup permanen," kata Kemala santai.
Saya tidak tahu apakah harus kagum atau gemetar ketakutan. Entah mengapa saya merasa beruntung bisa bersama perempuan pemberani ini.
"Korban ketiga?"
"Ah, itu si Badu ya termasuk dari belasan tentara Kerajaan Belanda yang terbunuh dalam baku tembak tengah malam di Jalan Arjuno dan Kawi, 25 Januari," kini Gunadi menjelaskan. "Aku memang melihat ada perempuan di halaman sedang menyapu dan Badu ditembak di depan rumah di Jalan Arjuno itu. Tetapi kami resmi menyebut itu perbuatan ekstrimis.."
"Jelas kan Bung Wartawan. Seru loh, tembak-tembakannya jarak dekat!" sahut Kemala sambil tetap mengacungkan pistolnya. Â Lalu dia menghampiri saya dan menyeka keringat saya dengan saputangannya. "Jorok, ah! Muka kamu tidak pernah dicuci!"