Enam: Pertempuran di  Balai Kota Mahameru
Alvin Ma, menunggu Raya dan teman-temannya di teras kantor Wali Kota Mahameru. Pria berusia sekitar  60 tahun ini, mmepunyai perawakan tinggi besar di atas 170 sentimeter,  masih tampak gagah dan  bugar, walau rambutnya sudah memutih.
Dia menyukai menerima tamunya di teras belakang  Gedung Wali Kota.  Teras bagian belakang menghadap karena taman  penuh bunga. Udara sore begitu sejuk karena berada di ketinggian lebih dari seribu meter di atas permukaan laut. Â
Kursi disusun melingkar mengelilingi sebuah meja, karena Alvin memang orangnya egaliter. Setelah dipersilahkan duduk, datang robot pelayan membawakan tiga belas gelas minuman cokelat panas, masing-masing untuk Alvin Ma, Ciciek dan Mayor Hadi Sulistiono, komandan Kota Mahameru. Â Lainnya untuk Raya, Robin, Bagus, Purbaendah, Subarja, Kanaya, Yura, Zia, Farid dan Cynthia.Â
Kemudian disusul makanan cemilan lumpia goreng yang masih panas. Â Alvin meletakan tablet virtualnya.
"Selamat datang ke Mahameru. Â Terutama untuk Raya, terakhir bertemu di toko serba ada saya Arjuna House bersama Greg. Â Saya ikut berduka. Greg itu teman putra saya waktu sekolah menengah. Dia sering ke rumah kami," ujar Alvin.
"Sayang kita tidak ngobrol banyak waktu itu. Â Greg tampaknya berbincang dengan Anda begitu penting. Apa yang dibicarakan?" tanya Raya.
"Dia menanyakan apakah ada perdagangan ilegal Ikan QQ di kota ini. Saya bilang, saya nggak berani menjual Ikan QQ Â dalam jumlah besar. Kalau pun ada sudah bagian dari makanan instan," ujar Alvin. "Tapi sudah jadi rahasia umum, kota ini pusat penjualan Ikan QQ ilegal dan melibatkan sejumlah pejabat, baik di Kota Mahameru maupun pusat."
"Mungkin karena banyak orang asing di kota ini?"
"Saya tahu Raya. Tapi mereka punya surat legal yang dikeluarkan orang dari pusat. Sindikat itu kuat karena ada barter dengan energi yang lebih berkelanjutan dari energi angin, energi matahari bahkan energi nuklir dari planet lain."
"Punya namanya?" Â tanya Raya mendesak.
"Kami menduga Raden Mas Slamet Widjojoatmodjo terlibat. Â Menteri Transportasi laut pemilik banyak kapal, tiga kali berturut-turut. Â Namun kami tidak punya bukti dia berhubungan dengan orang-orang asing itu. Kecuali desas-desus dia bekerja sama dengan Lanun Hitam untuk memperlancar bisnisnya," Â kata Mayor Hadi.
"Hampir nggak dipercaya kalau Mas Slamet menjadi dalangnya. Dia diam-diam menyembunyikan orang asing dari koloni planet lain untuk kepentingan tertentu. Dia pernah jadi dosen tamu di tempat aku kuliah  dulu."
"Selain itu  tangan kanannya Danurejo kerap terlihat di kota ini, termasuk sebelum hilangnya tunangan panjenengan," kata Alvin Ma."Ini baru dugaan loh, Cynthia."
 "Ya, jasanya memang besar, aku harus akui," ucap Raya.
Farid menyantap lumpia dengan lahap. Dia tidak menangkap obrolan. Tahu-tahu sudah tiga lumpia ditransfer ke perutnya. Â Zia membelai rambut bocah itu.
"Orangtuanya jadi korban karena kapal pinisi mereka diduga ditorpedo oleh suatu kekuatan asing," bisik Raya.
Alvin mengangguk. "Pajenengan juga suka lumpianya, ayo jangan basa-basi," kata Alvin dengan logat Jawa mendog.
Alvin kemudian menerangkan perkembangan kota Mahameru selama lima tahun pemerintahannya yang akan segera berakhir. Â Sementara Farid malah meninggalkan meja bermain drone pemberian Zia. Drone itu terbang tinggi ke arah timur dan sudah di atas laut.
Dia kemudian duduk di meja menggunakan tablet untuk memonitor penerbangan drone. Virtual tiga dimensi pun diperlihatkan. Â Lalu dia menunjuk iringan parasut terbang yang jumlahnya sampai dua puluhan.
"Paman Alvin, suka parasut terbang ya? Itu teman-teman Paman Alvin?" celetuknya.
"Kan memang ada landasan untuk paralayang. Pemakai parasut terbang juga bisa memakakainya. Â Hanya saja mau parayang, mau parasut terbang harus izin kami. Â Agar tidak menganggu penerbangan V-Cakrawala dan parasut lain," kata Alvin berdiri dan melihat virtual itu bersama Mayor Hadi. "Lah, siapa yang mengizinkan? pajenengan, Dan?"
Mayor Hadi menggeleng. "Anak buah saya tidak akan berani, karena langsung kena sanksi indisipliner."
"Ada dua parasut terlihat terbang ke Mahameru setelah menembak Kapal Macan Tutul. Tetapi gagal," kata Raya.
Mayor Hadi langsung menghubungi anak buahnya dengan ponsel virtual
"Benar nggak ada izin Pak Alvin. Satu regu anak buahku terbang memeriksanya. Siapa mereka?"
Tak perlu waktu lama. Â Dari layar virtual komandan pasukan bernama Letnan Satu Togar berteriak memperlihatkan pasukan robot dan tentara bertopeng seperti waktu serangan di Taman Impian Tanjung Jakarta.Â
Rupanya dia dan pasukannya ditembaki. Pertempuran tidak seimbang, karena pasukan lawan dua kali lipat jumlahnya.Â
Dua robot dan dua prajurit lawan berhasil dijatuhkan, namun Togar dan enam anak buahnya berguguran dan layar pun padam.
"Mereka menuju tempat Anda, Komandan!" teriak Togar untuk terakhir kalinya.
Mayor Hadi kemudian mengontak anak buahnya untuk segera  ke teras kebun belakang.  Hanya ada dua belas serdadu dengan senjata peluru api bersiaga. Enam lagi mengungsikan para tamu ke dalam gedung wali kota.
Selang berapa menit kemudian pasukan robot berdatangan diikuti pasukan berjubah hitam-hitam dengan parasaut bisa dimasukan dalam ransel. Â Mereka langsung melepas tembakan dari udara. Beberapa di antaranya dijatuhkan pasukan Mayor Hadi.Â
Sebuah robot jatuh terhempas menimpa tembok dan meledak. Â Seorang serdadu lawan yang baru saja mendarat langsung dihajar seorang serdadu Nusantara, dia terjengkang mati. Â Penutup kepanya lepas, wajahnya bule.
Letnan Robin pun keluar dengan senjata high voltasenya yang disembunyikan dalam ransel. Dia juga memakai perisai. Ketika ditembak dia berlindung di perisai. Kemudian membalas menembak sebuah robot korslet dibuatnya dan berasap. Â Seorang serdadu lawan juga kejang-kejang hangus dan kemudian tewas. Â
Tetapi tiga serdadu Mayor Hadi dibuat terkapar hangus oleh pistol laser. Â Seorang serdadu lagi dibuat mereka tewas dan sebuah robot lagi hancur. Â Tapi lawan makin banyak, Kanaya keluar gedung tidak bisa dicegah oleh Mayor Hadi bersama Yura menembak bersama dengan high voltase akibatnya dua robot langsung korslet bahkan meledak karena dua kali ditembak dan terbakar.Â
Serdadu Mayor Hadi lainnya menembak tewas dua serdadu lawan lainnya. Â Robin juga menembak serdadu yang masih ada di udara hingga jatuh menubruk atap gedung lalu mental jatuh menabrak tembok hingga pecah. Tubuhnya remuk.
Robot Lutung Kasarung berlari menembak dua robot berturut-turut.  Halaman kebun belakang jadi penuh dengan pecahan logam. Robot itu juga menembak seorang serdadu yang akan menembak Kanaya dan menghancurkan lagi satu robot.  Namun dua anak buah Mayor Hadi  menyusul tergeletak karena banyak lawan.
Serdadu bantuan Mayor Hadi segera datang pertempuran begitu seru. Â Dua serdadu gugur, tetapi mereka menjatuhkan dua robot dan tiga serdadu lawan. Â Purbaendah maju mengeluarkan cambuk apinya membelah robot yang masuk ke gedung pintu belakang hingga meledak. Serta memutus tangan robot yang kedua dan kemudain membelah dua di badan robot secara horisontal.
"Senjata itu hanya dimiliki pasukan khusus," ucap Mayor Hadi. "Kau membawa beberapa di antaranya?" katanya kepada Raya.
Raya tidak menjawab dia juga mengeluarkan cambuk api. Sebuah robot tebelah dan seorang serdadu lawan terbelah di bahunya hingga dada dan tewas.
Pasukan lawan terus menerobos maju  menabrak kaca jendela. Mayor Hadi menembak mati seorang serdadu. Tapi serdadu mendekati Farid dengan cara melayang cepat, namun Zia meraihnya dan menghidupkan perisainya.
Serdadu itu terkejut dan terpental, ketika terpental itu Robin yang datang menembaknya. Â Seorang serdadu lawan berdiri lalu menatap Robin dan menunjuknya, kemudian menyilangkan tangannya di leher.
"Ik OversteFerdinand Vermeulen Krieger, Â Kami pasukan VGC ingat itu!" ucapnya geram, karena korban di pihaknya banyak.
Lalu dia mengundurkan diri dan pasukannya pun mundur. Â Vermeulen meninggalkan mayat lima belas serdadunya dan tujuh belas robot. Â Dia pun kehilangan dua serdadu dan tiga robot di udara. Pantas begitu marah.
Sementara Mayor Hadi kehilangan enam serdadu gugur ditambah tujuh yang di laut, tiga laki luka-luka.Â
Zia memeluk Farid. "Apa yang diinginkan mereka padamu Barudak?"
Alvin Ma terperangah menyaksikan puing robot berserakan di kebun kantornya bersama mayat-mayat. "Piye, weleeh-weleeh..." celetuknya.
Rapat kilat di Balai Kota. Â Penginapan milik Ciciek dijaga oleh tentara malam itu. Â Sementara bule-bule yang dlihat Farid, Raya, serta Rini dan Anom menjadi buronan. Â Teguh Sumarto dipanggil malam itu juga oleh Mayor Hadi, namun dia hanya menyebut mereka adalah tamunya dan sudah pergi. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
                                                                ***
Pertempuran di Gedung Balai Kota dengan cepat menjadi pembicaraan warga kota. Â Polisi dan tentara juga menyebar menjaga kota. Bantuan dari pusat juga sudah datang malam dipimpin Kapten Daud sebanyak dua peleton.
"Kita nggak tahu berapa jumlah mereka. Rasanya kami harus membuat robot seperti Lutung Kasarung kalian punya lebih lincah dibanding robot ondel-ondel," kata Kapten Hadi waktu makan malam di penginapan.
"Selecta sudah digeledah, bule-bule itu tidak ditemukan entah di mana mereka. Tempat ini memang nyaman untuk bersembunyi," ucap Rini.
"Sudah, kalian tidak dilatih untuk ini. Kita juga tidak pernah menghadapi situasi seperti ini. Anda benar Raya, kembali ke mari untuk mengingatkan kami" Â ujar Kapten Daud.
Malam itu Ciciek menghidangkan berbagai hidangan Jawa Timur dulu ditemani susu segar susu segar. Raya menyantap nasi rawon dengan buas karena baru pertama kali setelah sepuluh tahun bertemu hidangan ini. Â Sementara Cynthia hanya melahap gado-gado. Sedang diet katanya.
Alternatif lain martabak cairo yang langsung disantap Bagus, Purbaendah, dan Subarja. Â Resepnya kata Ciciek didapat dari perpustakaan, berasal dari sebuah restoran di Malang waktu masih ada di Bumi.
Sementara Kanaya, Zia dan Yura menyukai bebek goreng Madura. Farid pun mengikuit apa yang dimakan Zia. Robin memilih sate kambing dengan bumbu kecap. Â
"Aku baca di perpustakaan Titanium, kuliner ini ada di Kota Malang zaman nenek moyang?"
"Iyaaa...aku koleksi resep kuliner di Malang, Batu dan Surabaya yang diwariskan turun temurun," papar dia.
Sebagai hidangan penutup Ciciek menyajikan aneka buah potong. Â Setelah makan Farid memperlihatkan gambar virtual pada Zia.
"Bunda meninggalkan beberapa gambar untuk aku, Kak Zia. Ini gambar Bunda dengan Paman Sono waktu di Ranu Kumbolo dan di pantai Timur Kejora. Aku simpan di blog aku," katanya.
"Wah, kamu punya blog virtual juga?" tanya Raya tertarik. "Aku kenal Sono ini. Namanya Suryo Sasono, dari mentor aku di pencinta alam dan kenal seluruh Nusantara."
"Mmmh, iya. Mas Sono.  Dia bertapa  di Ranu Kumbolo.  Dia memelihara beberapa ekor bebek dan punya pondok kecil," ucap Ciciek.
"Esentrik?" tanya Zia. "Di Titanium ada namanya Kang Yusuf Mudasir menyepi di gunung. Panggilannya Kang Ucup. Dia gemar memotret  dan kerap menemui bahaya di luar daerah koloni."
"Kau kenal dia?" tanya Bagus.
"Iya gondrong seperti orang bernama Sono ini. Â Dia berapa kali jadi pemanduku."
Zia terus mengklik foto-foto yang diberikan ibunya pada Farid sebelum kecelakaan. Raya ikut memperhatikan karena gambar virtualnya. Â Akhirnya yang lain juga ikut, ditempilkan secara tiga dimensi di atas meja.
"Biar lihat semua," ucap Zia.
"Loh kok ada Greg bersama bunda kamu dan Sono di sebuah pulau. Juga ada Pak Badillah dan satu orang lagi."
"Aku nggak tahu Kak Raya. Foto itu sebelum aku lahir. Aku memang minta foto bunda sebelum aku lahir. Itu foto sebelum menikah dengan ayah."
"Yang satu orang lagi itu Asrul dan itu pulau  jauh dari  timur Pulau Kejora yang sebetulnya terlarang. Tapi mungkin mereka beruntung," sela Kapten Hadi.
"Bunda yang menemukan dan dinamakan Pulau Farid. Nama aku," katanya.
"Lebih jauh dari Betree. Itu sudah di luar wilayah Nusantara. Kau lihat gambar berikutnya, Bunda dia mengangkat ikan QQ, tapi jenis lain," tunjuk Raya.
"Orang ini siapa?". Dia menunjuk pria berperawakan putih tapi bukan bule. Mungkin blasteran. Â
"Paman Adolf," jawab Farid polos.
Raya, Cynthia dan Hadi berpandangan. "Besok kita ke Ranu Kumbolo."
Irvan Sjafari
                                          Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H