Dalam rangka ikut memeriahkan Hari Museum sekaligus menjawab tantangan Kompasiana, pada Senin 11 Oktober 2021 saya kedua kalinya mengunjungi Museum Layang-layang Indonesia yang berlokasi di Jalan Haji Kamang, Pondok Labu, Jakarta Selatan.Â
Kunjungan pertama saya lakukan pada Selasa 17 April 2021 dan saya juga tulis di Kompasiana. Kunjungan ini dalam kondisi berbeda ketika berada di tengah pandemi Covid-19. Museum ini sempat ditutup dan kembali dibuka pada Juli 2020 tentunya dengan protokol kesehatan.
Seperti saya duga museum ini sepi dan hanya saya satu-satunya pengunjung hari itu. Tidak ada perubahan bangunan seperti pada kunjungan pertama, hanya saja sejumlah koleksi layangan berganti.Â
Di antaranya yang baru dan saya tdak lihat-seingat saya- pada 2017-di ruang tengah pendopo ada layang-layang bermotif wayang, ada replika bangunan pendopo, hingga bermotif etnik.Â
Seingat saya pada 2017 ada layang-layang Tari Burung Merak Lili Sunarya, yang diciptakan antara tahun 1980-an akhir dan awal 1990-an, dia tidak ingat persis. Di hadapannya terdapat layangan capung diameter 4 meter.
Lalu di bagian depan ada layang-layang dengan motif gambar Presiden Joko Widodo dan di bagian belakang pendopo ada layang-layang berbentuk kapal pinisi dan Garuda dari duan lontar. Sayangnya berapa layang-layang tampak berdebu, mungkin kekurangan tenaga.
Menurut salah seorang staf Museum Layang-layang Liza Adianty, koleksi layang-layang di museum yang berdiri sejak 2003 ini sekitar 600 namun hanya sepertiganya yang bisa dipamerkan, karena keterbatasan. Sisanya hanya di gudang.Â
Menurut referensi yang saya baca museum Layang-Layang Indonesia didirikan oleh seorang pakar kecantikan yang menekuni dunia layang-layang sejak1985 dengan membentuk Merindo Kites & Gallery yang bergerak di bidang layang-layang yang bernama Endang W. Puspoyo
Alasannya keterbatasan benar, areal seluas 2.700 meter persegi tidak bisa memuat semua dan saya juga belum menemukan perpustakaan dan referensi terkait layang-layang seperti yang saya harapkan waktu kunjungan pertama.Â
Liza mengungkapkan pandemi Covid-19 berdampak besar pada museum. Pengunjung pada 2019 berjumlah 20.122 anjlok menjadi 4.813 pada 2020 dan 2021 hingga Juni hanya 1.133 pengunjung. Sebagai catatan April hingga Juni 2020 pengunjung nol karena ditutup (lihat Tabel).
Untuk bisa menutup biaya seperti bayar listrik, air, gaji pegawai, pengelola mengandalkan penjualan layang-layang yang juga sudah dilakukan sebelum pandemi, dengan harga layang-layang bergantung ukuran berkisar Rp75 ribu hingga Rp200 ribu.
Selama pandemi pengelola menjual vitual tour kepada sekolah untuk murid-muridnya terkait dengan musuem itu sendiri hingga cara membuat layang-layang, dengan harga per paket Rp25 ribu.Â
Tentunya upaya ini tidak menutupi biaya operasional yang mencapai sekitar Rp20 juta. Bahkan ketika museum ini kembali dbuka jumlah pengunjung tidak sebanyak sebelum pandemi. Namun museum ini tetap bertahan.
Situasi yang dihadapi museum ini sama dengan situasi yang dihadapi Saung Anglung Udjo di Bandung terkait segmen anak sekolah yang masih tutup.Â
Seperti halnya Saung Udjo, wisatawan asing juga berminat mengunjungi museum ini, namun mereka juga terhambat pandemi.
Saya juga menemui Iman, 36 tahun staf museum ini yang bertugas membuat layang-layang. Menurut dia, memuat layang-layang kreasi muesuem ini tidak sama seperti membuat layang-layang yang kerap dimainkan  anak-anak di kota dan di kampung pada umumnya.
Layang-layang kreatif dibuat antara seminggu hingga sebulan bergantung tingkat kesulitannya. Pria yang sudah membuat layang-layang pada 2010 ini sebelum pandemi kerap mendapatkan pesanan untuk event seperti Festival Layang-layang di kawasan Pangandaran.
Saya meninggalkan museum ini sekitar sejam kemudian dengan harapan museum ini unik tetap bertahan dan situasi pulih kembali.Â
Saya juga berharap akan muncul filantropi yang membuka museum-museum tematik yang bisa jadi sarana edukasi.
Museum Layang-layang Indonesia
Jalan Haji Kamang nomor 38, 350 meter dari Jalan Fatmawati, Pondok Labu, Jakarta Selatan
Harga Tiket Rp25 ribu.
Irvan Sjafari
Tulisan Terkait:Â Museum Layang-layang Melayang ke Masa Silam