Menurut referensi yang saya baca museum Layang-Layang Indonesia didirikan oleh seorang pakar kecantikan yang menekuni dunia layang-layang sejak1985 dengan membentuk Merindo Kites & Gallery yang bergerak di bidang layang-layang yang bernama Endang W. Puspoyo
Alasannya keterbatasan benar, areal seluas 2.700 meter persegi tidak bisa memuat semua dan saya juga belum menemukan perpustakaan dan referensi terkait layang-layang seperti yang saya harapkan waktu kunjungan pertama.Â
Liza mengungkapkan pandemi Covid-19 berdampak besar pada museum. Pengunjung pada 2019 berjumlah 20.122 anjlok menjadi 4.813 pada 2020 dan 2021 hingga Juni hanya 1.133 pengunjung. Sebagai catatan April hingga Juni 2020 pengunjung nol karena ditutup (lihat Tabel).
Untuk bisa menutup biaya seperti bayar listrik, air, gaji pegawai, pengelola mengandalkan penjualan layang-layang yang juga sudah dilakukan sebelum pandemi, dengan harga layang-layang bergantung ukuran berkisar Rp75 ribu hingga Rp200 ribu.
Selama pandemi pengelola menjual vitual tour kepada sekolah untuk murid-muridnya terkait dengan musuem itu sendiri hingga cara membuat layang-layang, dengan harga per paket Rp25 ribu.Â
Tentunya upaya ini tidak menutupi biaya operasional yang mencapai sekitar Rp20 juta. Bahkan ketika museum ini kembali dbuka jumlah pengunjung tidak sebanyak sebelum pandemi. Namun museum ini tetap bertahan.
Situasi yang dihadapi museum ini sama dengan situasi yang dihadapi Saung Anglung Udjo di Bandung terkait segmen anak sekolah yang masih tutup.Â
Seperti halnya Saung Udjo, wisatawan asing juga berminat mengunjungi museum ini, namun mereka juga terhambat pandemi.
Saya juga menemui Iman, 36 tahun staf museum ini yang bertugas membuat layang-layang. Menurut dia, memuat layang-layang kreasi muesuem ini tidak sama seperti membuat layang-layang yang kerap dimainkan  anak-anak di kota dan di kampung pada umumnya.