Selain itu UKM-UKM diakomodir pada sentra yang bisa dijangkau dan yang saya pelajari banyak yang bagus-bagus untuk jadi oleh-leh terutama oleh segmen wisatawan menengah ke bawah ini.Â
Begitu juga kuliner kaki lima. Kalau saya ke Bandung Lontong kari daging, sate sapi hingga mi kocok jadi buruan. Â Itu bisa jadi penyerap tenaga kerja besar kuliner yang murah meriah.
Sayang, saya kehilangan Ayam Goreng Merdeka, jajanan kaki lima yang dulu ada di Jalan Merdeka, lalu tergusur dan berapa kali pindah hingga sulit dilacak.Â
Saya nggak paham apakah Pemkot Bandung kalau menggusur itu pakai riset atau tidak, apakah potensial atau tidak suatu kuliner dipelajari dulu. Karen banyak kaki lima bisa jadi penarik wisatawan. Saran sektor kuliner kaki lima ini diakomodir untuk sgmen orang Bandung sendiri dan wistawan yang kantongnya pas-pasan. Â Â
Yang membuat saya lebih gagal paham tidak ada upaya serius menyelamatkan Saung Mang Udjo di kawasan Padasuka, yang jelas-jelas menjadi salah satu penyelamat kesenian angklung dan rentetannya adalah petani bambu dan warga sekitarnya yang bisa bekerja di sana.
Padahal destinasi ini terdampak serius pandemi,akarena kehilangan penonton segmen keluarga, di mana usia 12 tahun ke bawah justru menjadi segmen utamanya, selain turis asing.Â
Saya berharap kalau pandemi usai atau setidaknya menyurut Saung Udjo bisa hidup kembali dan saya kalau ke Bandung bisa singgah.
Kalau dari perjalanan sejarah yang saya sudah kupas satu demi satu di Kompasiana ini, Bandung itu kuat karena pariwisata dan yang kedua dari basis pendidikannya terutama perguruan tinggi yang betrbearan dan menyumbang ekonomi kreatif, termasuk musik dan film, hingga produk kerajinan dan kuliner. Â Â
Tanpa dua hal utama ini, Bandung rasanya tidak ada apa-apanya.
Selamat Ulang Tahun Kota Bandung, My Lovely City. Walaupun saya bukan warganya, tetapi sejarah hidup saya terikat dengan kota ini.
Irvan Sjafari