Namun belakangan saya sebagai pencinta kota Bandung, akhirnya menerima bolehlah ada satu mal  di kota ini yang sebetulnya sama saja dengan mal yang ada Jakarta. Â
Sayangnya diikuti oleh pembangunan mal lain yang sebetulnya tidak memperhatikan infrastruktur jalan di kota Bandung yang dirancang orang Belanda dulu sebagai kota peristirahatan dengan jalan yang kecil-kecil dan penuh taman.
Keberadaan mal-mal ini mengikis Bandung nyaris tidak punya karakter.  Memang Cihampelas Walk  (2004) dan Mal Parys van Java (dibuka 2006) sebetulnya lebih sesuai dengan karakter kota Bandung karena perpaduan taman dan lahan terbuka  di dalamnya.Â
Untungnya di bawah Wali Kota Ridwan Kamil sejumlah taman direvitalisasi hingga menjadi tempat hang out yang murah dan meriah dan membuat saya kembali menjadikan kota ini sebagai kota yang romantis. Â
Sementara alun-alun berhasil direvitalisasi dengan rumput sintetisnya. Begitu Masjid Agung Kota Bandung cukup megah tetap mempertahankan beberapa bagian bangunan yang bersejarahnya, seperti menara masjid.Â
Yang sayangnya ialah mengapa Palaguna, Elita dan bangunan di bagian timur harus digantikan hingga sekarang saya tidak paham untuk apa. Â
Mengapa tidak dijadikan kawasan wisata sejarah dengan menjadikan gedung pertunjukan, rumah makan atau pertokoan dengan penataan. Â Sekali lagi Bandung kehilangan identitas sejarahnya.
Untung sejumlah bangunan bersejarah di kawasan Braga dan sekitarnya  juga tergusur pembangunan. Begitu jugan sejumlah bangunan bersejarah di Jalan Martadinata (eks Jalan Riau) berhasil bertahan. Â
Kuncinya ialah bangunan--bangunan itu menjadi tempat komersial, tetapi tidak mengubah struktur bangunannya. Â Â
Pabrik Kina di Jalan Cicedo adalah ikon lainnya yang tidak pernah terlewatkan kalau saya ke Bandung. Saya juga sering berjalan kaki pada 1970-an akhir dan 1980-an awal  dari Gang Polisi ke Gang Terasasana tempat saudara ibu lainnya.