Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Buatlah Film Sejarah, Indonesia Menang, Belanda Pecundang

21 Agustus 2021   14:47 Diperbarui: 21 Agustus 2021   15:22 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tjoet Nja Dhien-Foto: Pikiran Rakyat.

Mengapa industri perfilman Indonesia jarang membuat film kolosal berbasis sejarah? Mengapa film "Sultan Agung" kurang laku?  Kira-kira begitu salah satu tema yang diberikan KOMiK.  Saya mencoba menjawab sekaligus dua pertanyaan itu. Ditambah mengapa dulu banyak film perjuangan kemerdekaan dan sekarang tidak.

Sebenarnya kapan kita buat film sejarah (perjuangan)? Film "Darah dan Doa" karya Usmar Ismail produksi 1950, itu bagi saya bukan film sejarah, karena dibuat dengan peristiwa dekat dengan masa pembuatan film.  Begitu juga dengan "Enam Djam di Djogja" buatan 1951, besutan sutradara yang sama. 

Iya, tidak sulit membuat film itu medekati aslinya,  karena propertinya masih ada, tidak perlu riset yang ribet (repot menurut bahasa anak gaul sekarang), saksi mata banyak sekali, mudah mencari siapa pelaku yang ikut long march Siliwangi? Ingatan penonton waktu itu dekat dengan peristiwa itu dan pada zaman itu rasa nasionalisme dan semangat merdeka sangat tinggi.

Kalau sempat main ke Perpustakaan Nasional lihat koran dan majalah jadul, lihat puisi-pusi, cerpen, masa sangat terkait dengan perjuangan hingga 1950-an akhir. Rasa Anti penjajahan Belanda begitu meluap. Belanda digambarkan antagonis dan Indonesia adalah protagonis. Menonton film ini pada masa itu bukan saja edukasi, tetapi juga hiburan, lega sebagai bangsa merdeka.

Lain ceritanya dengan "Pagar Kawat Berduri" pada 1961, karya Asrul Sani di mana salah seorang perwira  Belanda  bernama Koenen ( (Bernard  Ijzerdraat)) yang menahan para pejuang digambarkan tidak hitam putih, tetapi punya sisi baiknya. 

Misalnya, Koenen mendamprat seorang anak buahnya yang melakukan pelecehan seksual terhadap seorang istri pejuang yang sakit. "Kau lakukan sekali lagi, kau akan berhadapan dengan pengadilan militer!". Anak buahnya ciut.   

Tokoh ini juga digambarkan bersimpati pada pejuang dan punya sikap humanis. "Merdeka, tapi nanti!" ucapnya pada Parman (Sukarno. M. Noor), salah seorang pejuang yang ditahan. Atau kepada pejuang yang sakit dipisahkan ruangannya.

Tapi zaman itu, film itu mendapatkan penolakan yang luar biasa, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menganggap film ini membuat bisa  masyarakat bersimpati pada Belanda.  Pada 1960-an rasa anti Belanda kembali meningkat, karena masalah Irian Barat. 

Film itu tidak pernah diputar di bioskop.  Secara sinematografi, cerita, ya, bagus. "Pagar Kawat Berduri" diangkat dari hasil karya Trisnojuwono, pengarang kenamaan masa itu dan saya kenal tulisan di "Pikiran Rakjat" tahun 1960-an lewat kolom "Todongan Malam Minggu". Saya ragu, kalau pun diputar akan banyak ditonton, karena tidak sesuai dengan semangat anti Belanda waktu itu.

 Sebagai catatan film populer dekade terakhir 1950-an awal justru film anak muda seperti "Tiga Dara" (1957), "Asrama Dara" (1958), keduanya karya Usmar Ismail, menggambarkan  semangat remaja urban waktu itu, di mana pengaruh film Barat dan Bollywood mulai masuk, tetapi di sisi lain nilai ketimuran masih dipegang teguh.  Ini membuktikan bahwa unsur edukasi tidak cukup untuk menarik penonton untuk datang ke bioskop, tetapi juga hiburan.

Era 1970-an hingga 1980-an

Sineas pembuat film bertema sejarah kolosal baru mendapatkan tantangannya ketika zaman yang jadi setting sudah cukup jauh, kira-kira 25- 30 tahun, yaitu pada 1970-an ketika anak muda yang notabene adalah mayoritas penonton tidak mengalami masa revolusi. Persoalannya beberapa pelaku sejarahnya masih hidup dan punya kekuasaan.

Film "Janur Kuning" (1979)  adalah contoh film tersebut di mana tiga tokoh utamanya, Jenderal Sudirman, Soeharto, dan Amir Murtono adalah tokoh nyata dan dua yang terakhir adalah Presiden Indonesia dan elite Golongan Karya, partai yang berkuasa. Jelas dicurigai mereka yang kritis pada film sebagai propaganda, peranan tokoh Letkol Soeharto begitu menonjol. Saya tidak mendebat hal itu dalam tulisan ini. Tapi Indonesia digambarkan menang terhadap Belanda, sekalipun heronya adalah Soeharto. Kebanyakan penonton muda percaya itu.  Kenyataannya di buku sejarah yang mereka baca, ya Soeharto, inisiator serangan tersebut. 

Pada tahun yang sama film yang disutradarai oleh Teguh Karya berjudul "November 1828" juga dirilis. Kisahnya tentang pasukan Belanda dipimpin Kapten Van DeBrost menduduki sebuah desa pada msa Perang Diponegoro, mencari informasi tentang keberadaan Sentot Prawirodirjo, panglima perang Diponegoro.

Yang menarik di film ini adalah konflik antar dua perwira Belanda, yaitu Van De Brost dan Letnan Van Aken, yang tidak suka menghalalkan segala cara dan bersimpati pada rakyat Jawa.  Belanda digambarkan tidak hitam putih. Sekalipun meraih 7 piala citra, termasuk film terbaik, November 1828 kalah populer dengan Janur Kuning.  

Jumlah penonton?  Situs filmindonesia.or.id tidak menempatkan kedua film sejarah kolosal ini sebagai film populer, kalah dengan "Binalnya Anak Muda" (1971) sekitar 171 ribu penonton "Gita Cinta dari SMA" sekitar 162 ribu penonton.  Rasanya penonton mayoritas menyukai film yang tidak mikir, dekat dengan keseharian mereka dan romantis.

Sekalipun saya sebagai anak-anak masa itu, ya suka "Janur Kuning", seru kok,  Belandanya antagonis dan pejuang Indonesia protagonis dan akhirnya happy ending: Indonesia menang. Hiburan masuk.  Soal subyektif, memangnya terpikir oleh anak-anak masa itu. Kalau "November 1828", saya masih duduk di bangku SD tidak bisa menikmati film itu dan baru bisa menimati ketika kuliah.

Secara sinematografi, ya keduanya bagus, pakaian para pelakunya natural tidak seperti disetrika seperti film perjuangan kemerdekaan kontemporer, dari segi setting juga tidak terlalu sulit, pelaku sejarah masih hidup, properti masa itu masih ada, tata kota tidak terlalu berubah. 

Sebagai catatan sejak 1970-an hingga 1980-an ada empat film sejarah Indonesia kolosal masuk box office. Yang paling top lagi, yaitu "Pengkihanatan G 30 S PKI" (1984) dengan angka hampir 700 ribu, jumlah fantastis masa itu. Mengapa? Iya, karena itu jadi film wajib anak sekolah.  Nah, yang menarik justru diikuti "Sunan Kalijaga" (1984) sekitar 575 ribu, kemungkinan karena punya segmen penonton sendiri kalangan muslim.

Kemudian di bawahnya  "Tjoet Nya Dien" (1988) sekitar 24 ribu penoton dan "Pasukan Berani Mati" (1982) sekitar 209 ribu penonton. Sedikit kalau diukur masa sekarang, tetapi masa itu cukup bagus.

Kalau saya waktu itu sudah menjadi mahasiswa sejarah agak memaksa ayah, ibu dan adik-adik menonton film  "Tjoet Nya Dien" di Kartika Chandra daripada film "Die Hard", setelah bertengkar cukup sengit dengan  adik-adik.

Hasilnya saya terhibur, begitu juga keluarga,  karena akting Christine Hakim luar biasa di mata saya dan gambaran Belanda benar-benar antagonis, dan "Tjoet Nya Dhien", ya hero. Para pejuang Aceh, heroik dan gagah berani. Film ini pantas meraih 8 piala citra dan digarap sungguh-sungguh.

Tjoet Nja Dhien-Foto: Pikiran Rakyat.
Tjoet Nja Dhien-Foto: Pikiran Rakyat.

Sementara kalau "Pasukan Berani Mati" saya kira karena jadi film laga dengan setting perang kemerdekaan, di mana para pejuang Indonesia tampil bak Rambo menghantam serdadu Belanda dan yang main gagah, ada Dicky Zulkarnaen, Barry Prima, Roy Marten dan cantik seperti Rini S Bono.

Apakah faktanya seperti itu, begitu mudahnya pejuang Indonesia memporak-porandakan tentara Belanda? Penonton tidak peduli fakta, pokoknya Indonesianya memang dan Belandanya para penjahatnya, serta banyak adegan laga dan ledakan-ledakannya.

Jadi sudah ketemu rumusnya, mau buat film sejarah kolosal ya harus ada unsur hiburan yang terutama, Indonesianya harus menang dan Belandanya harus kalah, soal edukasi dan intelektual, iya, penonton tertentu yang butuh itu.

Saya tidak dapat angkanya film "Pitung" ,diikuti  "Pitung Banteng Betawi" dan "Pembalasan Si Pitung" awal 1970-an, tetapi ketiga film itu saya kir  berhasil menanamkan citra pihak Indonesia hero dan Belanda serta anteknya adalah para pecundang.  Schout Hinne dimainkan Hamid Arief dengan baik digambarkan nyaris begitu hina. Adegan Hinne menghormati jenzah Pitung yang gugur menyelamatkan citra tokoh ini. Tetaai tidak demikian  para demangnya, yang gemar "main perempuan".  

Adegan pamungkas film "Pembalasan Si Pitung" di tepi pantai di mana kawan Pitung, Jiih berhasil menewaskan tokoh demangnya dan Hinne lari terbirit-birit  menjadi klimaks begitu hero-nya jago-jago betawi, seperti Robin Hood bagi rakyat miskin.  Bahwa faktanya tidak demikian, itu urusan sejarawan bukan urusan penonton kebanyakan.

Film Kolosal Sejarah Kontemporer

"Penyerangan ke Batavia bukan untuk hari ini, tetapi untuk ratusan tahun ke depan," demikian Sultan Agung dalam film karya Hanung Bramantyo berjudl "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta" (2018). Judulnya saja sudah berat, seperti skripsi dan tesis.

Dialog-dialognya dan pernyataan tokoh-tokohnya  bermakna bagi saya, seorang penikmat sejarah.  Tetapi bagi penonton muda bagaimana? Belum tentu. Dialog ada yang pakai Bahasa Jawa, apa anak Jakarta mau menyimak? Saya tidak yakin.

Secara sinematografi, mengelola drama, menyelipkan adegan fiktif kisah percintaan Sultan Agung  dengan Lembayung menjadikan cerita hidup dan sebagian besar pemainnya bermain apik, tidak ada masalah dengan film, termasuk dengan adegan kolosalnya.

Saya termasuk memberikan bintang empat untuk film ini karena susah membuat film sejarahnya, menguras energi mulai riset hingga pasca produksi dan biayanya pasti tidak sedikit. Jadi memang harus diapresiasi.  Film sejarah kolosal itu biayanya mahal dan belum tentu balik modal ketika dipasarkan, walaupun ada produser yang cukup modal.

Salut bagi Mooryati Soedibyo yang mau memproduseri film Sultan Agung  dan Juga Hashim Djojohadikusumo yang mau jadi  produser Trilogi Merah Putih.

Saya nggak mereview film Sultan Agung ini dan cukup banyak yang mereviewnya, termasuk dari kawan Kompasianer, saya kebanyakan sependapat.

Pertanyaannya mengapa film ini tidak jadi box office, situs www.filmindonesia.or.id  tidak menempatkannya di 15 besar, di mana posisi itu ditempati "Yovis Ben" dengan 936 ribu penonton. Situs itu pada Kamis 30 Agustus 2018 menyebutkan dalam seminggu penayangannya hanya 20 ribu penonton.  https://www.wowkeren.com/berita/tampil/00222377.html  mengungkapkan dugaan netizen yang menyebut film ini kurang promosi. Bisa jadi.

Tapi kalau saya melihatnya siapa segmen yang dituju film ini? Anak mudakah? Penggemar film sejarah? Kalau anak muda mereka butuh film sejarah Indonesia di mana pihak Indonesia menang melawan Belanda. Sementara Sultan Agung  menurut buku gagal menyerang benteng batavia pada 1628 dan 1629 dan film itu juga gagal.  Bahwa Sultan dapat pengakuan Turki, iya faktanya. Tetapi apa penonton muda tahu itu dan menganggapnya penting?

Sementara film sejarah lain "Sang Pencerah" tentang tokoh pendiri Muhammadyah, Achmad Dahlan mampu bertengger nomor satu pada 2010 dengan jumlah penonton 1,1 juta. Saya kira merupakan salah satu sedikit film sejarah Indonesia yang jumlah penontonnya di atas satu juta.

Kemungkinan "Sang Pencerah" memang punya penonton sendiri, misalnya massa Muhamadyah. Walaupun tanpa adegan laga sekalipun, benar-benar edukasi.  Lagipula basis ormas Islam ini memang perkotaan di mana bioskop juga berbasis. Dalam "Sang Pencerah", Ahmad Dahlan adalah "pemenang".

Film "Soekarno: Indonesia Merdeka" juga masuk box office pada 2013 dengan 960 ribu penonton, dengan aktor yang sama memerankan Sultan Agung, yaitu Ariyo Bayu. Nah ini juga menarik, saya menduganya karena Sukarno adalah tokoh proklamator dan merupakan pemenang.

Siapa anak sekolahan yang tidak tahu itu. Saya pernah meminta anak-anak magang sebuah SMK ketika bekerja untuk sebuah media TV streaming online menanyakan teman-temannya, siapa pahlawan idolamu: jawabnya Sukarno. Indonesia merdeka karena Sukarno. Semua responden teman sekolah yang laki-laki jawab Soekarno dan yang perempuan adalah Kartini, pelopor emansipasi yang sudah ditanamkan ke saya sejak SD.   

Citra pemenang dan populer ini juga sedikit menyelamatkan film "Kartini" besutan Hanung Bramantyo (2017), apalagi dimainkan oleh Dian Sastrowardoyo, idola anak muda. Film ini sempat menempati peringkat delapan tahun itu dengan 300 ribuan penonton, mengungguli film romantis remaja, "London to Bali".  Namun secara total keluar dari 15 besar Box Office Indonesia 2017.

Pertanyaannya, kapan nih Dewi Sartika, Rohana Kudus, Rasuna Said dibuat filmnya? Saya nggak yakin mereka populer di kalangan anak muda, karena yang ditanamkan di benak muda hanya Kartini. Dewi Sartika mungkin akan diserbu penonton di Jawa Barat, yang populasinya juga besar kalau dibuat filmnya.

Waktu saya berbincang-bincang dengan Ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Indonesia (GBPSI) Djonny Syafruddin sekitar 2018 juga menyebutkan kalau mau buat film sejarah, buatlah yang jagoan Indonesia menang. 

Selain itu tentu saja karena jumlah bioskop di Indonesia kurang, terutama daerah di mana justru basis penonton film Indonesia. Sekalipun kemungkinan horor dan drama romantis tetap paling dicari. Tetapi film Hollywood pasti keok di wilayah ini.

Sebagai catatan, film bersetting sejarah, yang tidak kolosal, tetapi diangkat dari karya novel Pramudya Ananta Toer, "Bumi Manusia" pada 2019 toh sukses meraup 1,3 juta penonton. Nah, itu lain lagi cerita, iya anak muda banyak yang tahu Pram dan buku itu, tetapi faktor Iqbaal Ramadhan yang sudah melesat dengan "Dilan 1990", tidak bisa disangkal. Coba, kalau yang memerankan aktor lain? Tentunya juga pesona Mawar Eva De Jongh.  

Oh, ya "Dilan 1990 "juga film sejarah loh, karena bercerita tentang masa yang hampir 20 tahun lalu. Dan laku dan dua sekuelnya juga menempati nomor satu.  Film bersetting sejarah, tetapi kalau romantis disukai oleh mayoritas penonton anak muda dan itu seperti juga dikatakan Djonny Syafrudin  selalu berulang, seperti film Sophan Shopian dan Widyawati, juga Rano Karno dan Yessy Gusman, Dian Sastro dan Nicholas.

Tokoh dan Peristiwa Sejarah yang Indonesianya Menang

Mengapa nggak dicoba mengangkat kisah perlawanan Untung Surapati sekitar 1680-an, di mana nilai edukasi anti penjajahan dapat, kolosal dapat, laga juga dapat,  romantisme dapat dan nggak ada fiksinya. Untung itu ketika melawan masih muda, punya kekasih Suzzane yang orang Belanda, lalu Raden Gusik, seorang bangsawan Kesultanan Cirebon,.

Indonesia menang di sini, pasukan Kuffeler dibantai karena lancang terhadap Pangeran Purbaya, pejuang Banten yang menyerah, pasukan Tack dibantai pada Februari 1686 den menjadi catatan sejarah kolonialisme Belanda.  Untung baru bisa ditaklukan dua puluh tahun sesudah itu setelah sempat mendirikan kerajaan di Pasuruan.  Dia gugur dalam pertempuran, tanpa pernah tertangkap.

Tokoh pahlawan lainnya yang menang atas VOC adalah Sultan Nuku dari Tidore. Dia memimpin pasukan menaklukan VOC di laut pada 1797 dan 1799.  Nuku berhasil menyatukan Tidore dan Ternate melawan VOC.  Mengapa tidak dipopulerkan? Kalau diangkat ke layar lebar, pasti kolosal. Tinggal dicari unsur drama romantisnya.

Selain itu tidak semua pertempuran Indonesia kalah lawan Belanda di era kolonialisme. Serangan pertama Belanda  ke Aceh pada April 1873 berakhir dengan kekalahan telak, Jenderal Kohler tewas bersama sekitar 50 serdadu dan 450 luka-luka dari 3.000 pasukan Belanda, seperenamnya. Awal semangat juang orang Aceh yang tak kenal padam. Saya kira Tjut Nyak Dhien populer karena hal ini, jiwanya tak terkalahkan, dia tertangkap karena Pang Laot kasihan pada kondisi Tjut Nyak  yang makin rapuh dan mundur kesehatannya.  

Perang Jagaraga II di Bali pada 1848, Belanda gagal total, angkanya saya hafal  248 serdadunya tewas termasuk 16 perwira. Jumlah yang sangat besar dari segi kualitas, karena kebanyakan orang Eropanya yang jadi korban. Tentara Belanda mundur sebagai pecundang. Betapa gagah beraninya orang Bali bertempur bisa digambarkan di film itu.   

Patimura pernah mengalahkan pasukan Belanda di benteng Durstede pada Mei 1817 dan menggagalkan beberapa kali ekspedisi Belanda dengan korban ratusan tentara. Maluku juga mencatatkan Martha Christina Tihahu berusia belasan tahun melawan Belanda.

Seperti halnya pejuang Aceh, Bali, pejuang Maluku mahir militer dan jago tembak yang tak kalah dengan orang Belanda. Pejuang Bali di Cakranegara pada 1894 juga mahir menggunakan senjata wincester, standar senapan api dalam  dunia "wild west" Amerika abad 19  hingga menewaskan ratusan tentara Belanda, termasuk Mayor Jenderal Van Ham.  

Contoh lain serangan heroik Tumegung Surapati dalam Perang Banjar menenggelamkan kapal onrust di sungai pada akhir 1859 di Sungai Barito dalam perang sungai yang seru. Seluruh tentara dan awak kapal onsrust binasa dengan mengenaskan.  Sebagai catatan, Tumegung Surapati tidak pernah tertangkap, apalagi menyerah. Meninggal karena sakit.

Bayangkan kalau kejadian itu difilmkan, kapal onrust tenggelam lengkap dengan bendera Belandanya yang merah putih biru itu ke dalam sungai. Bisa "manyun", cemberut istilah gaul anak muda  itu orang Belanda kalau film itu terwujud dan menonton adegan itu.

Iya, harus begitu menanamkan heroisme di kalangan anak muda. Amerika Serikat dengan serial Rambo-nya juga menanamkan hal itu bahwa Amerika menang di Vietnam. Rambo membantai ratusan vietcong seorang diri dengan mantap, walau kenyataannya tidak demikian.  

Mengapa tidak tokoh Indonesia digambarkan membantai penjajah Belanda? Ingin tahu saya. Sama keingintahuan saya bagaimana kalau Vietnam buat film perlawanannya terhadap penjajah Prancis dan Amerika?

Sisi Lain Perang Kemerdekaan Yang Bisa Diangkat

Bagaimana dengan Perang Kemerdekaan? Hanya saja bisa dihitung dengan jari film perang kemerdekaan dnegan setting lokasi di luar Jawa.  Memang ada film tentang  Wolter Monginsidi yang diperankan Roy Marten, tokoh yang mati muda melawan Belanda di Sulawesi, sekitar 1982.  Juga ada "Tiga Nafas Likas" tentang sosok Djamin Ginting dan Naga Bonar di Sumatera Utara. 

Mengapa tidak rekan seperjuangan Wolter, Emny Saelan diangkat, perempuan muda, gugur dalam perang melawan Belanda? Belum lagi Puputan Margarana dengan tokohnya  I Gusti Ngurah Rai, yang gugur dalam pertempuran heroik. 

Selain itu di banyak pertempuran tentara sekutu dan Belanda jadi pecundang, seperti pertempuran Bojongkokosan, Sukabumi pada 9 Desember 1945, di mana konvoi pasukan Inggris dibuat tak berdaya padahal dikawal tank, dengan korban puluhan tentara tewas dan ratusan luka-luka.  Jelas fakta.

Sebagai catatan, Aceh dan Banten tidak pernah bisa diduduki Belanda selama perang kemerdekaan. Apa yang terjadi di sana dan Belanda tidak berani masuk juga menarik diungkap. Fakta. Sekalipun dilatih Jepang, tentara Fujiwara Kikan dari Aceh mampu membuat Belanda tak berdaya di akhir penjajahan dengan korban yang besar, sebelum Jepang datang.

Kalau ingin mengungkapkan kebiadapan Belanda, mengapa tidak diangkat peristiwa Peniwen, Jawa Timur pada 19 Februari 1949, di mana tentara Belanda menyerang Rumah Pengobatan Panti Husodho membunuh 12 anggota palang merah remaja, lima pasien dan memperkosa tiga perempuan yang ada di sana, jelas itu pelanggaran HAM berat.

Gereja Belanda saja marah atas kejadian itu, Kalau itu diangkat ke layar lebar judulnya bisa dibayangkan,  Peniwen Affair. Salah satu referensi peristiwa itu lihat https://historia.id/militer/articles/gereja-belanda-kutuk-tentara-belanda-DAlLw/page/2) dan https://www.malangtimes.com/baca/39416/20190514/185400/kenang-gugurnya-12-personel-pmi-di-monumen-peniwen-affair-peniwen-mulai-banjir-wisatawan

Tentunya juga pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa Rawagede yang korban sipil besar dan masih ada pelanggaran HAM lain.

Kalau ini diangkat pasti lebih membuat penonton Belanda yang menyaksikan panas dingin, sama seperti para  veteran Belanda dalam Perang Kemerdekaan ketika menonton "de Oost" (The East) yang kini jadi perbincangan.

Pengungkapkan tema kebiadapan dan pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Belanda lebih menanamkan rasa anti kolonialisme di kalangan generasi muda dan saya kira jumlah penonton pun banyak, apalagi dengan promosi dan tentunya diperankan bintang yang populer.

Ini menurut saya.   Selamat HUT ke 7 Komik.

Irvan Sjafari

  

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun