Hasilnya saya terhibur, begitu juga keluarga, Â karena akting Christine Hakim luar biasa di mata saya dan gambaran Belanda benar-benar antagonis, dan "Tjoet Nya Dhien", ya hero. Para pejuang Aceh, heroik dan gagah berani. Film ini pantas meraih 8 piala citra dan digarap sungguh-sungguh.
Sementara kalau "Pasukan Berani Mati" saya kira karena jadi film laga dengan setting perang kemerdekaan, di mana para pejuang Indonesia tampil bak Rambo menghantam serdadu Belanda dan yang main gagah, ada Dicky Zulkarnaen, Barry Prima, Roy Marten dan cantik seperti Rini S Bono.
Apakah faktanya seperti itu, begitu mudahnya pejuang Indonesia memporak-porandakan tentara Belanda? Penonton tidak peduli fakta, pokoknya Indonesianya memang dan Belandanya para penjahatnya, serta banyak adegan laga dan ledakan-ledakannya.
Jadi sudah ketemu rumusnya, mau buat film sejarah kolosal ya harus ada unsur hiburan yang terutama, Indonesianya harus menang dan Belandanya harus kalah, soal edukasi dan intelektual, iya, penonton tertentu yang butuh itu.
Saya tidak dapat angkanya film "Pitung" ,diikuti  "Pitung Banteng Betawi" dan "Pembalasan Si Pitung" awal 1970-an, tetapi ketiga film itu saya kir  berhasil menanamkan citra pihak Indonesia hero dan Belanda serta anteknya adalah para pecundang.  Schout Hinne dimainkan Hamid Arief dengan baik digambarkan nyaris begitu hina. Adegan Hinne menghormati jenzah Pitung yang gugur menyelamatkan citra tokoh ini. Tetaai tidak demikian  para demangnya, yang gemar "main perempuan". Â
Adegan pamungkas film "Pembalasan Si Pitung" di tepi pantai di mana kawan Pitung, Jiih berhasil menewaskan tokoh demangnya dan Hinne lari terbirit-birit  menjadi klimaks begitu hero-nya jago-jago betawi, seperti Robin Hood bagi rakyat miskin.  Bahwa faktanya tidak demikian, itu urusan sejarawan bukan urusan penonton kebanyakan.
Film Kolosal Sejarah Kontemporer
"Penyerangan ke Batavia bukan untuk hari ini, tetapi untuk ratusan tahun ke depan," demikian Sultan Agung dalam film karya Hanung Bramantyo berjudl "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta" (2018). Judulnya saja sudah berat, seperti skripsi dan tesis.
Dialog-dialognya dan pernyataan tokoh-tokohnya  bermakna bagi saya, seorang penikmat sejarah.  Tetapi bagi penonton muda bagaimana? Belum tentu. Dialog ada yang pakai Bahasa Jawa, apa anak Jakarta mau menyimak? Saya tidak yakin.
Secara sinematografi, mengelola drama, menyelipkan adegan fiktif kisah percintaan Sultan Agung  dengan Lembayung menjadikan cerita hidup dan sebagian besar pemainnya bermain apik, tidak ada masalah dengan film, termasuk dengan adegan kolosalnya.