Tuanku Imam Bonjol dan tentara Padri berhasil meloloskan diri setelah melakukan evakuasi penduduk. Kini perang geriliya dimulai. Â Secara resmi perang fisik di ranah Minang dianggap usai. Namun perlawanan masih terjadi.
Residen Belanda kembali menjalankan taktik yang sama ketika menangkap Pangeran Diponegoro dan sebetulnya sejumlah tokoh perlawanan terhadap kolonialisme: Mengajak berunding, lalu kemudian ditangkap.Â
Residen mengirim surat kepada Imam Bonjol untuk datang ke Palupuh untuk berunding. Â Dengan ditemani seorang anak dan tiga pengawal datang ke tempat yang ditentukan pada 28 Oktober 1837. Imam ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dari sana dipindahkan ke Ambon dan diasingkan ke Manado. Sejarah mencatat Imam Bonjol meninggal pada 8 November 1864 dan dimakamkan di Kampung Lutak.
Tidak semua Kaum Padri dan nagari  tunduk. Imam Tambusai melanjutkan perlawanan dengan pusat perlawanan di Dalu-dalu (Rokan Hulu).  Dari sana pasukan Padri masih mampu melakukan serangan ke daerah pendudukan Belanda.
Benteng yang dibangun Tambusai bernama "Kubu aur duri", tapi oleh masyarakat disebut dengan benteng tujuh lapis. Benteng ini sangat kokoh dan unik. Disebut unik karena benteng ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan benteng Tuanku Tambusai yang lain.
Ketinggian tembok tanah tersebut pada bagian --bagian tertentu saat ini, tidak kurang dari 5 sampai 6 meter, dengan ketebalan tembok ada yang mencapai 2 sampai 3 meter.
Benteng dikelilingi oleh parit yang dalam dan lebar, diperkirakan tidak kurang dari 7 hingga 10 meter, dan lebar pada permukaan mencapai antara 2 sampai 3 meter bahkan mungkin lebih. Parit-parit ini mengelilingi semua tembok perbukitan, dan langsung berhubungan dengan sungai Batang Sosah.
Beberapa serangan sukses dan mengejutkan Belanda. Pada  18 April 1838 tentara Padri menewaskan  perwira ahli bedah bernama C.G Sadowski di Bonjo-Alabi, Pantai Barat Sumatera. Pada 3 Mei 1838 mereka mampu menewaskan Letnan Dua Infanteri J.F.P Latour di Lubu Ante, juga di pantai barat.  Pada 28 Juli 1838 Kapten J.J choch menemui ajalnya akibat serangan di Monbang juga kawasan pantai.
Namun pasukan Belanda mendesak pasukan Imam Tambusai kembali ke kawasan Dalu-dalu. Â Baru pada 28 Desember 1838, pasukan Belanda merebut Dalu-dalu. Imam Tambusai tidak tertangkap. Dia dan pasukannya menyingkir ke Padang Lawas, lalu melanjutkan dakwah dan perjuangannya ke Angkola -- Barumun sambil terus melakukan perlawanan dan pertempuran dengan Belanda. Sejarah mencatat tokoh Padri yang satu ini tidak pernah tertangkap.Â
Oleh Belanda ia digelari "De Padrische Tijger van Rokan" (Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Dia dan pengikutnya akhirnya menyingkir ke Negeri Sembilan, Malaysia dan wafat di sana pada 1882.