Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Padri: Adu Benteng di Ranah Minang (3)

16 Mei 2021   00:25 Diperbarui: 16 Mei 2021   00:38 1130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benteng Dalu-dalu---Foto: gapuranews.com

1834-1837 Perebutan Benteng Bonjol

Selama tujuh bulan sejak Plakat Panjang, Belanda diam-diam mempersiapkan militernya.  Yang disayangkan Kaum Padri mengundurkan kewaspadaannya dan abai terhadap pertahanan mereka. Padahal Belanda sudah beberapa kali  menggunakan taktik "ambil nafas" ini, tetapi Kaum Padri tidak belajar.

Pada tengah malam 3-4 Juni 1834  Tentara Belanda menyerang Pantar dan Matua. Pasukan Padri kalang kabut karena banyak kubu pertahanan  yang tidak lagi digunakan. Sekalipun tidak sehabat waktu September 1833, pertempuran kembali berkobar.

Dalam pertempuran di Padang Lawas pada 7 Juni 1934  pasukan Padri mampu menewaskan dua opsir Belanda, yaitu  Kapten infanteri F. Roth dan  Letnan Satu infanteri  P. Potters.

Komandan Tentara Belanda Bauer menduduki Matua dan Bamban  mendirikan pos yang sangat strategis untuk penyerangan ke Benteng Bonjol.  Dataran Tinggi Padang harus ditundukan dengan cara mengepung Bonjol, pertahanan Kaum Padri.

Dengan jatuhnya dua kawasan ini jarak antara pos militer Belanda dengan pertahanan terdepan Padri di Sipang hanya 9 kilometer.  Hubungan Bonjol-Maninjau putus dan menyulitkan Kaum Padri mengadakan koordinasi.  Namun Kaum Padri segera memperkuat pertahanan di Sipisang. Belanda memilih defensif selama 10 bulan sambil menunggu bala bantuan dari Lubuk Agam.

Pada malam 20 April 1835, dua pasukan yang dipimpin oleh Mayor Prager dan Kapten Kraft meninggalkan Bamban dan Matua. Pertentangan sengit pertama dihadapi di Padang-Lawas, yang harus diduduki sebelum maju menuju Bonjol yang bertetangga.

Belanda berhasil merebut Padang Lawas, termasuk Sipisang  dengan korban 12 orang tewas dan 72 luka-luka.  Sekarang kota utama, Bonjol, menjadi lebih terbuka untuk diserang. Pasukan Belanda menempatkan alteleri-alteleri berat di Sipisang.

Pada awal 1835 pengepungan Bonjol mulai itu dilakukan di bawah pimpinan Jenderal Cochius, perwira tinggi yang ahli dalam strategi Benteng Stelsel dan punya pengalaman dlam Perang Diponegoro.  Namun Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol telah menyatukan seluruh kekuatannya di sini hingga sulit bagi Belanda.

Bonjol sendiri dikelilingi oleh tembok pembatas, berbentuk persegi panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dua lapis tembok pertahanan setinggi sekitar 3 meter. Di antara dua lapis tembok dibuat parit dalam dengan lebar 4 meter.

Dinding luarnya terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan yang hampir sama dengan benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu runcing panjang yang ditanam begitu rapat sehingga orang Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam ke arah pasukan Belanda.

 Di sebelah utara medannya berawa, sehingga kota tidak dapat didekati dari sisi itu, dan di sebelah timur dan selatan kota itu tersembunyi dari pandangan oleh kayu lebat. Selain itu di dalam Benteng  Bonjol ada beberapa ribu pasukan padri bersenjata berat.

Dari Sipisang pasukan Belanda menjalankan taktik Kakak Tua, satu pasukan menuju Padang Serai dan satu pasukan ke jurusan Simawang Gadang.  Pasukan Belanda ke Padang Serai tercerai berai di pinggir sungai.  Pasukan di Simawang Gadang datang menghindar kesatuan pertama dari kehancuran total.

Pada Juni 1835 Pasukan Padri mampu menewaskan Ajudan Letnan Satu Infanteri J. Moltzer di Pantai Barat Sumatera, Kapten infanteri E. O Brien dalam upaya menyerang Bonjol.

Dalam pertempuran lima hari  di kawasan Alahan Panjang sekira 100 tentara Belanda tewas. Meskipun dibayar dengan harga mahal militer Belanda mampu mampu memajukan posisi mereka hanya seratus meter di belakang Benteng Bonjol.

Pasukan Padri belum habis pada 5 September 1835, Belanda kembali kehilangan seorang osir bernama Letnan Dua Infantri C.  Domincus di Sipisang, setelah terluka dan harus diamputasi kakinya. Sayangnya  amputasi gagal menyelamatkan nyawanya.

Untuk menyempurnakan kepungan Bonjol, dari arah utara, Lubuk Sikaping pasukan Belanda mampu merebut Koto dan Koto Jambak.  Namun pasukan Padri mampu melakukan kontra offensif dan membuat Belanda mundur.   Pada 14 Oktober 1835, Pasukan Padri berhasil menewaskan Letnan Dua Infantri HH Von Tschudy di Lubuksikaping.

Namun pasukan Belanda terus bertambah menjadi 14 ribu orang pada Agustus 1835.  Sementara pasukan Padri makin sulit menambah pasukannya. Namun mereka pantang menyerah. Di sebelah selatan Bonjol tentara Padri memanfaatkan sebuah bukit yang tinggi dan terjal terpisah dari Bukit Tajadi untuk pertahanan berikutnya.

Untuk mengusai Bukit Tajadi, pasukan Belanda harus merebut bukit ini dulu. Terjadi pertempuran selama 10 hari untuk bisa merebut bukit ini, hingga bisa mengancam pertahanan pasukan Padri di Bukit Tajadi.  Meskipun  demikian pasukan Padri masih mampu memukul mundur pasukan Belanda pada 4 September 1835.

Pimpinan pasukan Belanda silih berganti namun belum bisa menaklukan pasukan Padri.  Meskipun hingga awal 1836 Belanda sudah menguasai garis sepanjang lima kilometer mengepung benteng. Di sisi lain penduduk Nagari Rao dan Lubuksikaping masih menunjukkan permusuhan dengan Belanda.

Meriam-meriam pasukan Belanda membombradir Bonjol dan Bukit Tajadi, menyebabkan masjid di luar Bonjol terbakar. Pada 3 Desember 1836, pasukan Belanda sempat memasuki Benteng Bonjol melalui lubang akibat tembakan meriam. Namun pasukan Belanda berhasil diusir oleh pasukan Padri yang melibatkan Imam Bonjol yang sudah berusia 63 tahun yang ikut berkelahi dengan pedang.

Pasukan Padri berdatangan, menyebabkan pasukan Belanda yang sudah terlanjur masuk benteng keluar lagi melalui lubang itu dan mendapat tembakan juga dari pasukan Belanda yang berada di belakang. Sementara pasukan Padri juga menembak.  Dalam keadaan kacau balau pasukan Belanda dipukul mundur dengan meninggalkan korban.

Pada Desember 1836  tewas J.D. van Holy jr., letnan dua infanteri J.D van Holy Jr di  Kampung Rumbai, pantai Barat Sumatera  dan Kapten Infantri W.H.F Vogel tewas di suatu tempat yanb bernama Koempolang (?) menurut sumber Balanda  dalam pertempuran dengan pasukan Padri.

1837: Jatuhnya Benteng Bonjol

Kegagalan menguasai Benteng Bonjol membuat Menteri Jajahan menyampaikan khawatir mendorong lebih banyak masyarakat ranah Minang melawan Belanda.  Kalau terlalu berlarut merusak prestise Belanda di mata negara-negara Eropa lainnya.

Panglima tentara Hindia Belanda datang ke Sumatera Barat untuk mengamati langsung situasi Perang Bonjol pada 19 Maret-12 April 1837.   Hasilnya pada 28 Juni 1837  tentara Belanda menguasai Padang Bubus dan Tanjung Bunga. 

Pada 3 Juli pertempuran terjadi di bukit selatan Bonjol. Tentara Belanda kemudian menggali parit untuk perlindungan. Pasukan Padri menyalurkan air dan menggenangi parit tersebut.  Meskipun demikian Belanda mampu membuat kubu dengan jarak 25 meter jauhnya dari Benteng Bonjol.

Selanjutnya, Belanda secara intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama kurang lebih enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) dipimpin oleh para jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini terutama terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Ada 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 pasukan Eropa, 4.130 pasukan pribumi, termasuk Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura).

Dalam daftar perwira pasukan Belanda termasuk Mayor Jenderal Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Letnan Satu Steinmetz, dan sebagainya. Kemudian terdapat nama orang "Indonesia" seperti Kapten Noto Prawiro, Letnan Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lain-lain.

Selama minggu pertama Agustus 1837 meriam-meriam Belanda menembakan peluru-pelurunya hingga merusak benteng Bonjol.  Tentara Padri sempat membalas dengan tembakan meriam pada 15 Agustus 1837.

Namun akhirnya Benteng Bonjol berhasil direbut tentara Belanda dipimpin Jenderal Michael pada 16 Agustus 1837, walau tentara Padri sempat melawan dengan tembakan-tembakan. Dalam pertempuran di Bonjol, tentara Padri  dua opsir Belanda tewas.

Mereka masing-masing Kapten infanteri  J.J Peters pada 15 Agustus 1837 dan Letnan Satu Infantri J. Milet.  Seorang perwira lagi bernama Letnan Satu Insyinyur C.P Hartings tewas pada 31 Agustus 1837 setelah mendapatkan luka berat.

Benteng Terakhir Padri: Dalu-dalu

Tuanku Imam Bonjol dan tentara Padri berhasil meloloskan diri setelah melakukan evakuasi penduduk. Kini perang geriliya dimulai.  Secara resmi perang fisik di ranah Minang dianggap usai. Namun perlawanan masih terjadi.

Residen Belanda kembali menjalankan taktik yang sama ketika menangkap Pangeran Diponegoro dan sebetulnya sejumlah tokoh perlawanan terhadap kolonialisme: Mengajak berunding, lalu kemudian ditangkap. 

Residen mengirim surat kepada Imam Bonjol untuk datang ke Palupuh untuk berunding.  Dengan ditemani seorang anak dan tiga pengawal datang ke tempat yang ditentukan pada 28 Oktober 1837. Imam ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dari sana dipindahkan ke Ambon dan diasingkan ke Manado. Sejarah mencatat Imam Bonjol meninggal pada 8 November 1864 dan dimakamkan di Kampung Lutak.

Tidak semua Kaum Padri dan nagari  tunduk. Imam Tambusai melanjutkan perlawanan dengan pusat perlawanan di Dalu-dalu (Rokan Hulu).  Dari sana pasukan Padri masih mampu melakukan serangan ke daerah pendudukan Belanda.

Tuanku Tambusai---Foto: https://lamriau.id/tuanku-tambusai-de-padriesche-tijger-van-rokan-harimau-paderi-dari-rokan/
Tuanku Tambusai---Foto: https://lamriau.id/tuanku-tambusai-de-padriesche-tijger-van-rokan-harimau-paderi-dari-rokan/
Tuanku Tambusai lahir dengan nama Muhammad Saleh, kelahiran Dalu-dalu seitar 1784. Selain belajar agama di kampung halamannya, Saleh dikirim orangtuanya ke Bonjol untuk melanjutkan pelajarannya.  Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu gurunya.

Benteng yang dibangun Tambusai bernama "Kubu aur duri", tapi oleh masyarakat disebut dengan benteng tujuh lapis. Benteng ini sangat kokoh dan unik. Disebut unik karena benteng ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan benteng Tuanku Tambusai yang lain.

Ketinggian tembok tanah tersebut pada bagian --bagian tertentu saat ini, tidak kurang dari 5 sampai 6 meter, dengan ketebalan tembok ada yang mencapai 2 sampai 3 meter.

Benteng dikelilingi oleh parit yang dalam dan lebar, diperkirakan tidak kurang dari 7 hingga 10 meter, dan lebar pada permukaan mencapai antara 2 sampai 3 meter bahkan mungkin lebih. Parit-parit ini mengelilingi semua tembok perbukitan, dan langsung berhubungan dengan sungai Batang Sosah.

Beberapa serangan sukses dan mengejutkan Belanda. Pada  18 April 1838 tentara Padri menewaskan  perwira ahli bedah bernama C.G Sadowski di Bonjo-Alabi, Pantai Barat Sumatera. Pada 3 Mei 1838 mereka mampu menewaskan Letnan Dua Infanteri J.F.P Latour di Lubu Ante, juga di pantai barat.  Pada 28 Juli 1838 Kapten J.J choch menemui ajalnya akibat serangan di Monbang juga kawasan pantai.

Namun pasukan Belanda mendesak pasukan Imam Tambusai kembali ke kawasan Dalu-dalu.  Baru pada 28 Desember 1838, pasukan Belanda merebut Dalu-dalu. Imam Tambusai tidak tertangkap. Dia dan pasukannya menyingkir ke Padang Lawas, lalu melanjutkan dakwah dan perjuangannya ke Angkola -- Barumun sambil terus melakukan perlawanan dan pertempuran dengan Belanda. Sejarah mencatat tokoh Padri yang satu ini tidak pernah tertangkap. 

Oleh Belanda ia digelari "De Padrische Tijger van Rokan" (Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Dia dan pengikutnya akhirnya menyingkir ke Negeri Sembilan, Malaysia dan wafat di sana pada 1882.

Ranah Minang masih rusuh.  Pada 3 Mei 1840 pasukan Belanda menyerbu sebuah kawasan Tapanuli, pesisir Barat Sumatera. Dalam pertempuran merebut sebuah benteng padri, Kapten Infantri CH. Bisschoff memperoleh tebasan sebelas kelewang dan pedang menyebabkan kematiannya sebagai harga direbutnya benteng tersebut.

Pada 7 Oktober 1839, penduduk antara Kota Nopan dan Kota Gadang di kawasan pantai Barat memberontak yang mengakibatkan tewasnya Letnan Dua Infantri  H. Steinhardt, diikuti dengan tewasnya Letkol Infantri JJ Roeps pada 28 Maret 1840 di Baros.

Perlawanan rakyat di Ranah Minang masih terjadi pada 1841 oleh Regent (semacam bupati) Batipuh, 1844-1845  di Pauh dekat Padang.  Baru pada pertengahan Juni 1845 Belanda mampu memulihkan keamanan di Sumatera Barat.

Irvan Sjafari

Sumber: 

Ginda, "Aktivitas Dakwah dan Kepahlawanan Tuanku Tambusai" dalam Jurnal Risalah, Volume 28, Nomor 1, Juni 2017

Mansoer, Drs. M. D "Sedjarah Minangkabau", Jakarta: Bhratara, 1970.

https://www.nederlandsekrijgsmacht.nl/index.php/kl/141-koninklijk-nederlandsch-indisch-leger/expedities-van-het-knil/knil-expedities-tussen-1817-en-1830/261-padri-oorlogen

https://www.nederlandsekrijgsmacht.nl/index.php/kl/142-koninklijk-nederlandsch-indisch-leger/expedities-van-het-knil/knil-expedities-tussen-1830-en-1873/1342-moordpartijen-te-bondjol-sumatra-1833

Sanusi, Ihsan, "Kolonialisme dalam Pusaran Konflik Pembaharuan Islam: Menelususri Keterlibatan dan Peran Belanda dalam Keberlangsungan Konflik yang Terjadi di Minangkabau", Majalah Ilmiah Tabuah,  Volume 22 No. 1, Edisi Januari-Juni 2018

 Nederlandse Staatscourant,10 Juni 1825.

https://crcs.ugm.ac.id/islamisasi-di-minangkabau-perdagangan-pertanian-dan-padri/

https://langgam.id/perang-candu-di-minangkabau/

Parve, H.A. Steyn, "Kaum Padri di Padang Darat Pulau Sumatera" dalam  Abdullah, Taufik, "Sejarah Lokal di Indonesia". Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985

Foto-foto:

Pasukan Padri---Foto: http://budayominang.blogspot.com/2016/12/sejarah-singkat-perang-padri-1821-1837.html

Pertempuran di Bukit Koriri-- https://www.nederlandsekrijgsmacht.nl/index.php/kl/141-koninklijk-nederlandsch-indisch-leger/expedities-van-het-knil/knil-expedities-tussen-1817-en-1830/261-padri-oorlogen

Bonjol  1839---Foto: https://www.nederlandsekrijgsmacht.nl/index.php/kl/141-koninklijk-nederlandsch-indisch-leger/expedities-van-het-knil/knil-expedities-tussen-1817-en-1830/261-padri-oorlogen

Benteng Dalu-dalu---Foto:   https://www.gapuranews.com/benteng-tujuh-lapis-tuanku-tambusai-akan-direvitalisasi/

Tuanku Imam Bonjol---Foto: https://www.fajarpos.com/figur/tokoh/13/08/2018/imam-bonjol/

Tuanku Tambusai---Foto:  https://lamriau.id/tuanku-tambusai-de-padriesche-tijger-van-rokan-harimau-paderi-dari-rokan/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun