Pada paruh pertama abad ke 19, Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Kalimantan Barat sudah  "tidak senang" terhadap keberadaan Republik-Republik kecil ini. Belanda merasa cukup hanya Kesultanan Sambas dan kesultanan lain yang diperintah di bawahnya.  Konflik antara Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan kongsi tinggal menunggu pemicunya saja.
Belanda kemudian menuding orang-orang Tionghoa ini menolak membayar pajak dan menindas penduduk asli.  Para penambang Tionghoa ini pada 1850 terdiri dari kongsi Langfong di  kawasan Mandor, terletak antara Pontianak dan Mempawah, Sam Tiu Kiu di Sepang dan Pemangkat dengan ibu kota Seminis.Â
Merasa ancaman did epan mana, orang Tionghoa  membuat rumah-rumah Kongsi menjadi benteng yang kokoh. Secara internal, kongsi-kongsi ini tidak bersatu. Mereka kerap berperang  satu sama lain. Nah, karena sering berperang, kekuatan mereka meningkat sedemikian rupa sehingga bentrokan dengan pemerintah Belanda tidak dapat dihindari.
Perang Pertama  1850-1851
Selain menjadi penambang emas, orang Tionghoa ini menjadi penyelundup opium. Â Sebuah kapal fregat Belanda memangkap salah satu kapal di Sungai Sambas. Orang Tionghoa melawan hingga Belanda mengirim kepal fregat lain untuk merebut benteng kongsi Pemagkat.
Memang benteng bisa direbut pada 12 September 1850, namun ditebus dengan nyawa komandan, namanya Letnan Kolonel Frederik Johannes Sorg dalam aksi tersebut. Sebagai bukti penghormatan, namanya diberikan kepada benteng yang dibangun di Penibungan, titik strategis terpenting.
Benteng Pemangkat tidak diduduki oleh pasukan Belanda dan komandan berikutnya Le Bron de Vexela yang tiba di Sambas dengan bala bantuan ingin memperbaiki kesalahan tersebut. Namun pasukan kongsi  telah memperkuat diri dengan kuat dan angin musim yang buruk menghambat operasi.  Pada  23 November 1850, pasukan Belanda kembali ke Sambas.
Meskipu demikian (sebagian) kongsi Tionghoa datang dan menyatakan tunduk pada awal 1851. Sebuah perjanjian dilakukan Belanda  dengan kongsis Taikong, Sjep-eng-fou dan Liemtjin. Belakangan ternyata orang Tionghoa hanya tertarik untuk mengulur waktu.
Pamangkat pada saat itu telah jatuh ke tangan Belanda lagi, dan sekarang kepala kongsi dimaafkan, asalkan sekutu Belanda dari kongsi Sam-ti-Kiouw (dikejar oleh para kepala suku ke Sarawak) diizinkan untuk kembali dengan bebas ke mereka. wilayah antara Monterado dan Sambas.
Namun para pengungsi tidak berani kembali karena Sepang tetap dikuasai kongsi Taikong. Oleh karena itu, pada 29 Maret 1853, satu pasukan meninggalkan Sambas menuju Sepang di bawah Mayor Andresen dan didampingi oleh komisaris pemerintah Ary Prins. Tak ada perlawanan, lalu pasukan beranggapan urusan sudah beres, mereka kembali ke Sambas.
Ternyata, di Kedondong pasukan diserang sekelompok orang Tionghoa. Â Satu detasemen infanteri datang untuk menyelamatkan, tetapi segera garnisun di sana dikurung dan harus mempertahankan diri dari kekuatan besar. Kapten Van Houten, komandan Fort Sorg, berbaris dengan 250 orang untuk mengusir pasukan Tionghoa.