Etnik Tionghoa juga melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Ada dua perlawanan yang menonjol dan dua-duanya, yang memulai Belanda.  Pada abad ke 18 perlawanan dipicu  oleh pembantaian terhadap sekitar 10 ribu orang Tionghoa yang dilakukan pihak VOC di Batavia pada 1740 dan  luar biasa kejinya. Kalau saja terjadi zaman modern, apa yang dilakukan VOC adalah pelanggaran HAM berat.  Pembantaian itu berdampak pada perlawanan koalisi Tionghoa-orang Jawa 1740-1743.
Sementara  pada abad ke 19 yang melawan adalah "republik kecil" Tionghoa, yang mengusahakan tambang emas di Kalimantan Barat. Motifnya karena Belanda ingin juga emas itu dan tidak suka pada keberadaan kongsi itu, yang menganggu perluasan penjajahan dan tentunya juga bisnis.  Â
Bagaimana ceritanya orang Tionghoa itu sampai ada di Kalimantan Barat? Pada 1745, Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah mendatangkan orang Tionghoa  secara besar-besaran untuk kepentingan perkongsian.Â
Kesultanan Sambas  menggunakan tenaga-tenaga orang Tionghoa sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas.  Para pendatang Tionghoa ini membentuk sejumlah kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan) di Monterado.
Kongsi pertama lainnya adalah Lan Fang yang didirikan di daerah Mandor oleh Lo Fang Phak dari suku Hakka, Ta-Kang dan San t'iao-kao. Kongsi-kongsi  diberi wewenang khusus untuk mengelola tambang dan mengatur masyarakat mereka.
Keberadaan orang Tionghoa tidak terlalu mudah untuk berintegrasi dengan masyarakat asli di sana. Pada 1770, orang Tionghoa  perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu.
Sultan Sambas kemudian menetapkan mereka hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya.
Semenjak itu muncul Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah lain. Namun kemudian orang  Tionghoa malah bercampur dengan orang Dayak.
Sekitar 1770-1777, kongsi emas yang berada di Montrado dan sekitarnya berjumlah sebanyak 14 buah yaitu Thaikong, Lo Pat Foen, Kioe Foen Theo, Sjap Sam Foen, Kiet Lien, Sin Pat Soen, Sam Thiao Kioe, Man Fo, Sin Woek, Hang Moei, Sjip Ng Foen, Thai Fo, Lo Sjip Si Foen, Sjip Ngi Foen.
Pada 1818, pemerintah kolonial segera tertarik pada emas yang diusahakan kongsi. Mereka merasa perlu menundukkan orang-orang Tionghoa di bawah kekuasaan pemerintahannya. Oleh karenanya, setelah menancapkan kekuasaan di Sambas, pemerintah kolonial, dalam hal ini asisten residen Sambas, Muller, segera menuju Montrado yang secara hukum berada di wilayah Kesultanan Sambas.
Orang Tionghoa di Montrado kemudian diikat dengan peraturan yang ditetapkan pada 4 Februari 1819 yang menetapkan bahwa setiap orang Tionghoa berusia lebih dari 16 tahun diwajibkan membayar pajak kepala setiap tahunnya yang dapat dicicil selama 4 kali
Pada paruh pertama abad ke 19, Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Kalimantan Barat sudah  "tidak senang" terhadap keberadaan Republik-Republik kecil ini. Belanda merasa cukup hanya Kesultanan Sambas dan kesultanan lain yang diperintah di bawahnya.  Konflik antara Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan kongsi tinggal menunggu pemicunya saja.
Belanda kemudian menuding orang-orang Tionghoa ini menolak membayar pajak dan menindas penduduk asli.  Para penambang Tionghoa ini pada 1850 terdiri dari kongsi Langfong di  kawasan Mandor, terletak antara Pontianak dan Mempawah, Sam Tiu Kiu di Sepang dan Pemangkat dengan ibu kota Seminis.Â
Merasa ancaman did epan mana, orang Tionghoa  membuat rumah-rumah Kongsi menjadi benteng yang kokoh. Secara internal, kongsi-kongsi ini tidak bersatu. Mereka kerap berperang  satu sama lain. Nah, karena sering berperang, kekuatan mereka meningkat sedemikian rupa sehingga bentrokan dengan pemerintah Belanda tidak dapat dihindari.
Perang Pertama  1850-1851
Selain menjadi penambang emas, orang Tionghoa ini menjadi penyelundup opium. Â Sebuah kapal fregat Belanda memangkap salah satu kapal di Sungai Sambas. Orang Tionghoa melawan hingga Belanda mengirim kepal fregat lain untuk merebut benteng kongsi Pemagkat.
Memang benteng bisa direbut pada 12 September 1850, namun ditebus dengan nyawa komandan, namanya Letnan Kolonel Frederik Johannes Sorg dalam aksi tersebut. Sebagai bukti penghormatan, namanya diberikan kepada benteng yang dibangun di Penibungan, titik strategis terpenting.
Benteng Pemangkat tidak diduduki oleh pasukan Belanda dan komandan berikutnya Le Bron de Vexela yang tiba di Sambas dengan bala bantuan ingin memperbaiki kesalahan tersebut. Namun pasukan kongsi  telah memperkuat diri dengan kuat dan angin musim yang buruk menghambat operasi.  Pada  23 November 1850, pasukan Belanda kembali ke Sambas.
Meskipu demikian (sebagian) kongsi Tionghoa datang dan menyatakan tunduk pada awal 1851. Sebuah perjanjian dilakukan Belanda  dengan kongsis Taikong, Sjep-eng-fou dan Liemtjin. Belakangan ternyata orang Tionghoa hanya tertarik untuk mengulur waktu.
Pamangkat pada saat itu telah jatuh ke tangan Belanda lagi, dan sekarang kepala kongsi dimaafkan, asalkan sekutu Belanda dari kongsi Sam-ti-Kiouw (dikejar oleh para kepala suku ke Sarawak) diizinkan untuk kembali dengan bebas ke mereka. wilayah antara Monterado dan Sambas.
Namun para pengungsi tidak berani kembali karena Sepang tetap dikuasai kongsi Taikong. Oleh karena itu, pada 29 Maret 1853, satu pasukan meninggalkan Sambas menuju Sepang di bawah Mayor Andresen dan didampingi oleh komisaris pemerintah Ary Prins. Tak ada perlawanan, lalu pasukan beranggapan urusan sudah beres, mereka kembali ke Sambas.
Ternyata, di Kedondong pasukan diserang sekelompok orang Tionghoa. Â Satu detasemen infanteri datang untuk menyelamatkan, tetapi segera garnisun di sana dikurung dan harus mempertahankan diri dari kekuatan besar. Kapten Van Houten, komandan Fort Sorg, berbaris dengan 250 orang untuk mengusir pasukan Tionghoa.
Karena Sepang hanya dapat dipertahankan dengan kekuatan militer yang kuat, maka diambil keputusan untuk meninggalkan pos ini dan juga dari Balai Binang serta mengembalikan pasukan pendudukan ke Sambas.
Van Houten, yang juga bertanggung jawab atas otoritas sipil di wilayah ini, muncul lagi  bersama pasukannya di Seminis pada 12 Mei  1853 untuk mendukung orang Tionghoa Sam Tiu Kiu, sekutu Belanda.  Lawannya adalah Panglima Taikong yang menetapkan harga darah di kepala Van Houten.  Mayor Kroesen pada  16 Mei datang membantu Van Houten dengan 160 orang, pasukan kongsi dapat dipukul mundur ke lereng Sekadu. Mereka bertahan di sana. Mayor Kroesen kemudian bergerakan  sekitar 200 tentara untuk menghadapi  posisi kuat ini pasukan kongsi.  Pada akhirnya pasukan Belanda memukul mundur kongsi.
Tak lama kemudian, orang Tionghoa mulai memperkuat pekerjaan mereka di pertambangan.  Rumah Kongsi di Bentunai dijadikan benteng. Komandan Kapal Celebes, Geerling, diperintahkan untuk mengambil bala bantuan; pada 7 Juli 1853 kapal berlayar ke sungai, tetapi Belanda menghadapi  badai yang dahsyat  dan tembakan tentara kongsi. Namun pasukan  ini berhasil mendarat dan Bentunai ini  bisa diduduki. Dari tempat ini  semua operasi lainnya akan dilanjutkan.
Perang  Kedua: Montrado 1854-1855
Ekspedisi  Tentara Kerajaan Hindia belanda Belanda berikutnya menghadapi kongsi Tionghoa, mereka sebut ekspedisi hukuman (1854-1855)  di Montrado, setelah ekspedisi sebelumnya ke divisi barat Kalimantan belum memuaskan.
Pada Mei 1854, sebuah ekspedisi dikirim ke bagian barat Kalimantan (dengan kekuatan 2.200 orang) dipimpin oleh Augustus Johannes Andresen menyerang Montrado. Kapal uap Celebes, Borneo dan Onrust, Brig Banda dan sekunar Haai dan Doris membawa 1.700 orang dan artileri yang diperlukan ke darat di Sambas dan Pontianak. Penyerangan akan dilancarkan dari tiga sisi yang berbeda, setelah terlebih dahulu menguasai Singkawang.
Baru setelah perjalanan  melelahkan di bawah hujan lebat, Singkawang akhirnya tercapai dan pasukan kongsi diserang dari dua sisi, yang kemudian melarikan diri. Hanya kongsi yang harus diambil; Pada 18  Mei, pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor De Brabant, menyerbu bala bantuan Tinghoa dan Singkawang didirikan sebagai basis untuk operasi lebih lanjut.
A.J. Andresen mengeluarkan proklamasi yang mendesak penduduk untuk kembali ke rumah mereka, tetapi tiga kepala Kongi menolak untuk mematuhinya.
Mayor De Brabant datang  dengan dua kompi ke Lohabang (antara Singkawang dan Montrado); orang Tionghoa diusir dari benteng mereka.  Setelah beberapa pimpinan tertangkap.  Pada  26 Mei, kongsi Tionghoa penting dari Montrado meminta pengampunan kepada komandan.
Sekarang plakat dalam bahasa China , Melayu, dan Belanda dipasang yang menyatakan bahwa para pemberontak telah ditundukkan dan memohon perdamaian; dewan kongsi dinyatakan tidak beroperasi dan diganti dengan dewan Belanda.
Mereka yang ditemukan memiliki senjata atau amunisi akan dihukum mati. Andresen meninggalkan Montrado pada  1 Juli 1854 dan pergi ke Pontianak.
Namun tidak semua kongsi tunduk. Secara bertahap Montrado dikepung oleh pemberontak. Sebagian besar kota terbakar. Pada awalnya pendudukan Belanda  tidak melakukan apa pun terhadap hal ini karena mereka berharap membawa orang Tionghoa untuk bertobat melalui kebaikan. Namun ternyata tidak, makanya Belanda mengirim lagi  detasemen untuk menyerang musuh.
Mayor De Brabant memerintahkan detasemen dengan komandan Kapten Asmus untuk melakukan serangan depan dan dia menyerang musuh dari belakang. Â Peraturan pemerintah dapat diundangkan pada 5 November 1854.
Montrado kemudian  ditaklukkan berada di bawah kendali kapten Tionghoa, yang tunduk pada administrasi Belanda, dan sebagai Asisten Residen Montrado, ditunjuk Kapten Infanteri C. Van Houten.
Orang Tionghoa  belum menyerah. Mereka mendirikan Sam Cam Fui (atau Perjanjian Tiga Jari), yang bekerja secara rahasia. Van Houten digantikan  oleh Kapten Gustave Verspyck. Asisten Residen baru ini mencoba melacak perkumpulan rahasia karena Perjanjian Tiga Jari sedang merencanakan serangan ke Montrado. Hanya ketika salah satu ketua, Eng Njiem Sin, dibujuk untuk menunjukkan Verspyck jalan ke tempat pertemuan di hutan belantara, barulah mereka bisa terlihat.
Verspyck dan tiga puluh orang melakukan perjalanan setiap malam dan berhasil menangkap 18 anggota bersenjata aliansi; Verspyck menemukan sebuah buku yang menyebutkan nama 24 kepala suku (kebanyakan pemimpin Kiu Liong-kongsi), serta peraturan dengan anggota dan stempel perjanjian. Pasukan Hndia Belanda  mengakhiri mengakhiri kerusuhan di Montrado. Namun urusan dengan kongsi belum selesai.
Perang Kongsi Ketiga: Mandor 1884-1885
Pemberontakan Mandor pada 1884 dan 1885, juga disebut Perang Kongsi Ketiga, adalah pemberontakan kongsi Tionghoa melawan pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan ini terakhir, tetapi paling banyak memakan korban di pihak  Belanda.
Para pemberontak menganggap diri mereka sebagai pembela terakhir dari Republik Lanfang Cina, sebuah federasi kongsi yang telah ada di daerah itu sejak akhir abad ke-18, mendukungnya melawan invasi Belanda.
Para pemberontak Tionghoa menyerang  Mandor pada 23 Oktober 1884,  mampu menewaskan Kontrolir De Rijk dengan 4 atau 5 pembantunya di dalam atau di dekat rumahnya. Pemberontakan menyebar sangat cepat karenakali ini  orang Tionghoa dibantu oleh orang Dayak sehingga muncul kelompok bersenjata yang berulang kali menyerang patroli Belanda. Ada yang didefinisikan sebagai "geng".
Pada 24 Desember 1884, sebuah patroli sedang melakukan perjalanan melalui Landak, mencari kepala suku Dayak Goenang Pa yang diduga menyembunyikan dua pemberontak Tionghoa terkemuka. Namun, di Kampung Sebadu, patroli itu tiba-tiba diserang oleh pemberontak Tionghoa dan Dayak yang menembak dari kubu pertahanan. Belanda harus mundur, meninggalkan penembak jitu Eropa bernama Van den Berg tewas.
Pada  3 Januari 1885, sebuah patroli pengintai diserang di dekat Mamie dan harus mundur. Selama serangan ini, Kapten infanteri A.J. Tengbergen terluka. Tiga hari kemudian  di dekat Theo Toe Kong, sebuah patroli dengan kekuatan  30 orang dipimpin oleh letnan satu L.T.H. Cranen berhadapan dengan  "geng" yang sama. Dalam pertempuran, Sersan Eropa A.H. Schwartz tewas dan komandan patroli serta tiga orang Eropa terluka.
Setelah patroli Belanda beberapa kali dipukul mundur dengan kerugian besar, orang Tionghoa menjadi lebih gegabah dan berulang kali menyerang angkutan pemasok logistik antara Ko Phiang dan Mandor.
Dalam sebuah serangan pada 20 Januari 1885 dua orang tewas di pihak Belanda, yaitu penembak jitu berkebangsaan Eropa bernama Schoonheere dan penembak jitu pribumi bernama Bangulung, serta  serdadu terluka. Serangan berikutnya terjadi pada 24 Januari 1885,  di mana penembak Eropa Ramel  terbunuh dalam pertempuran.
Pada 25 Januari, konvoi kembali diserang. Selama serangan ini Kopral Eropa De Bruyn, penembak Eropa Segalas dan penembak pribumi Batong tewas. Â Sementara penembak pribumi Inan terluka parah dan meninggal. Â Konvoi juga kehilangan Letnan satu E. van Dijk tewas karena cuaca buruk.
Pasukan kongsi menyerang Kapal Uap Emanuel yang sedang dalam perjalanan dari Pontianak ke Mentidoeng, Serdadu pribumi  Simul terluka dan  jatuh ke Sungai Mempawah dan  mati tenggelam.
F. van Braam Morris, Pengawas Distrik Mempawah datang dengan  satu detasemen tentara, didampingi oleh beberapa orang Dayak. Mereka mencoba merebut kembali pos terdepan di Mentidung yang telah ditinggalkan pada  27 Januari dan kini dikuasai oleh Tiongkok. Â
Upaya itu gagal dan seorang pejabat Belanda bernama  Van Braam Morris tewas. Serdadu Eropa bernama Zuurveen terluka parah dan meninggal 7 Februari. Sementara serdadu pribumi bernama  Sajat juga terluka.
Pada  3 Februari 1885, sebuah survei dari Mandor ke Theo Toe Kong dilakukan dengan sebuah kolone dengan  100 serdadu dengan  bayonet dan dua mortir. Seperempat jam perjalanan dari Theo Toe Kong, konvoi itu ditembaki dengan hebat dari sebuah benteng di hutan. Serdadu pribumi May terluka parah dan kemudian meninggal. Namun akhirnya pemberontakan bisa diakhiri.
Untuk mengenang jatuhnya pemberontakan Mandor pada 1889, pemerintah kolonial Belanda mendirikan semacam tugu peringatan di Pontianak. Di tugu itu dituliskan nama-nama korban di pihak Belanda.
- Kontrolir F. van Braam Morris, tewas di Mentidung  5 Februari 1885.
- Letnan satu infantri ,E. Van Dijk  tewas di Mandor, 25 Juni 1885.
- Kontrolir J.C de Rijk, tewas di Mandor 23 Oktober 1884.
Juga disebut nama korban Belanda dalam pertempuran di kalangan bawahan.
- Sersan Schwartz, Kopral de Bruyn.
- Serdadu bersenapan Van den Berg, Ramel, Schoonheere, Segalas, Zuurveen, Bangulung, Batong, Inan, Simoel, Mei.
Tidak diketahui berapa jumlah korban di pihak Tionghoa dan Dayak.
Irvan Sjafari
https://www.nederlandsekrijgsmacht.nl/
https://www.nederlandsekrijgsmacht.nl/
https://tirto.id/orang-orang-tionghoa-di-singkawang-b4Y8
Rahmayani, Any, "Montrado 1818-1858, Dinamika Kota Tambang Emas", Â Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015
Utami, Nunik Esti, "Esksistensi Orang-orang Cina di Kalimantan Barat" dalam Karmawibangga : Historical Studies Journal, Vol: 01, No: 01, 2019: 18-25.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H