Malang 1 April 1914, Dua puluh tahun yang silam, Alexander Yersin, seorang dokter kebangsaan Prancis dan seorang dokter dari Jepang Kitaso menemukan sejumlah basil pada beberapa ekor tikus yang mati di dekat seorang pasien di Hongkong.Â
Pada waktu penduduk setempat dicekam kematian beruntun hanya dalam waktu singkat. Sejak itulah nama Pasteurella Yersenia menjadi nama yang terdengar indah, tetapi menakutkan.
Sebelumnya tak seorang pun mengenal pembunuh misterius yang bertanggungjawab atas kematian 25 juta penduduk Eropa pada abad ke 13 dan abad ke 14.Â
Jumlah itu setara dengan seperempat penduduk Eropa masa itu. Yang jadi tertuduh ialah kutukan Tuhan, Iblis datang dari langit bahkan dihubungkan tukang tenung. Para penggali kubur kehabisan tenaga karena harus menggali untuk puluhan mayat setiap hari.
Kendaraan para pembunuh ini adalah kutu tikus yang membawa basil maut melalui gigitan pada tubuh manusia. Celakanya tikus-tikus berkulit kelabu ini hidup di dekat manusia.Â
Begitu sudah digigit manusia berpindah-pindah membawa basil dalam tubuhnya. Jelas, wabah ini menjalar melalui jalur perdagangan dari pelabuhan Marsailles hingga jantung kota London, bahkan sampai Kiev di pedalaman Rusia.
Kembali ke Hongkong, wabah ini meloncat ke Calcuta lalu singgah di Rangon. Selalu daerah yang padat dengan manusia. Mei 1905 wabah ini mampir di Tanjung Morawa, Tanah Deli.Â
Siapa lagi kalau bukan si Kromo yang jadi korbannya. Seorang kuli kontrak di tanah perkebunan mengeluh badannya panas tinggu. Di antara lipatan paha dan ketiaknya ada bisul meradang. Itu namanya Bubonic, pes yang paling lazim.
Hanya saja hal itu belum jadi malapetaka. Kuli itu meninggal dan para onderneimer lega. Mereka bilang: "Para kuli kita selamat!". Apakah mereka kasihan pada buruhnya. Sama sekali tidak. Yang penting bagi mereka produksi tembakau tidak terganggu. Kalau wabah itu berlama-lama di sana tak akan menarik para penanam modal dan kas Hindia Belanda bakal bekurang.
Serangan di Tanjung Morawa itu baru permulaan dari pesta besar para pembunuh ini. Awal 1910, empat tahun yang lalu para perompak nyawa ini memulai pestanya di Tanjung Perak Surbaya, lalu menjalar ke Surabaya Kota, Sidoarjo, Pasuruan, Lawang, Singosari, Blimbing, Malang Kota, seperti api membakar jerami kering.
Dienst der Pestbestijding (Dinas Pemberantasan Pes) hampir selalu kalah gesit berlomba dari pasukan pembawa basil ini. Bukan hal yang mengherankan kalau para petugas menemukan satu keluarha utuh menjadi mayat setelah sehari mereka meninggal. Satu keluarga utuh di Jawa, seorang Bapak, seorang Ibu dan anak-anaknya yang mencapai 5 hingga 10 jiwa. Berderet-deret di balai-balai, mati.