Lima belas menit kemudian kami tiba di Kampung Temenggungan. Belasan orang berpakaian putih dan kain batik seperti saya memenuhi sebuah tanah yang agak lapang sambil mengelilingi beberapa rumah berdinding bambu. Para wong Jawa itu mengenakan ban palang merah di bahu kanan lengkap dengan blangkonnya. Belum tampak londo-londo itu.
Begitu saya turun, seorang opas menghampiri. Dia menunjuk tiga rumah yang masing-masing mengibarkan bendera merah yang diikatkan pada sebilah bambu yang dipancang di jendela masing-masing rumah. Itu tandanya pembunuh maut itu sudah singgah.
"Kok, belum ada yang memeriksa?" tanya saya pada seorang petugas Dinas Pes.
"Belum dokter, Meneernya belum datang. Juga Kepala Kampung. Kami nggak berani masuk. Belum ada petunjuk!"
Saya gusar mendengar jawaban yang selalu sama ketika mendatangi kampung yang terkena pes.
"Petunjuk-petunjuk apa? Kepala Kampung pasti menjemput Londo itu daripada menolong rakyatnya. Ayo Prapto kita masuk!"
Petugas Pes bernama Yono itu tak menyangka, saya dan Prapto nekat. Ia tergopoh-gopoh memberikan masker kepada saya.
"Nggak perlu!" Saya menyingkirkan tangannya sambil terus menerobos masuk sebuah rumah bersama Prapto.
"Kamu lihat Prapto! Bangsa kita memang suka ramai-ramai, tapi nggak ada yang mau berbuat sesuatu," keluh saya sambil membuka pintu sebuah gubuk.
Baru saja membuka pintu sudah tercium bau busuk. Di balai-balai tampak tergelatak seorang ibu muda hanya mengenakan kain batik sebatas perutnya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengejang kaku. Darah beku berwarna kehitaman mengalir dari mulutnya yang membiru.Â
Mulutnya sangat berbau busuk. Lalat beterbangan di atas mulut yang sudah berulat itu. Ibu muda itu saya taksir usianya tak lebih dari 20 tahun mungkin seharian sudah melepas kesakitannya.