Ketika Suriname  mendapat sambutan meriah.  Peluru meriam yang ditembakan pasukan Suropati menembus boiler (mesin uap). Begitu infanteri mendarat, Kapten Ravesteijn akhirnya memutuskan untuk menghindari posisi musuh. Musuh tidak menderita kerugian serius karena tidak bertahan di sana. Tidak ada lagi yang ditemukan dari meriam Onrust itu sendiri.
Masyarakat Banjar dan Dayak membangun benteng terapung untuk menghalau serangan kapal-kapal Belanda di perairan Sungai Barito, yang disebut sebagai Lanting Kotamara. Masyarakat Dayak memanfaatkan kayu hutan Kalimantan sebagai sumber kekuatan perang.
Dinding benteng terapung ini dibuat berlapis-lapis sehingga sukar ditembus peluru senapan, ataupun peluru meriam Belanda. Kapal itu dikemudika oleh beberapa orang Suku Dayak.
Lanting Kotamara dipersenjatai beberapa pucuk meriam dan lila atau meriam ukurannya agak kecil. Selain kapal perang Onrust yang berhasil ditenggelamkan pada 26 Desember 1859, sebelumnya yaitu pada Juli 1859 juga ditenggelamkan kapal perang Cipanas dan terlibat pertempuran jarak dekat dengan kapal perang Celebes dalam pertempuran di sepanjang Sungai Barito di sekitar Pulau Kanamit
Perang Banjar Barito karya Ahmad Barjie, disebutkan bahwa Lanting Kotamara dirancang oleh seseorang yang bernama Raden Jaya Anum dari Kapuas Tengah.
Operasi  MIliter 1860
Dengan menduduki berbagai pos, angkatan bersenjata  Mayor Verspyck terpecah-pecah; Juga karena banyaknya orang yang sakit, sehingga tidak ada lagi pasukan yang tersisa untuk melanjutkan operasi tersebut.
Demang Lehman dan Pangeran Antasari bersama Pangeran Hidayat bergeriliya di pegunungan dekat Ambawang dan mencoba melakukan perlawanan dari sana. Verspyck membagi daerah itu menjadi komando militer.
Verspyck  mengambil Banjarmasin di bawah pemerintahannya sendiri; Mayor Koch dan Kapten Van Oijen ditempatkan sebagai kepala departemen lain; kemudian administrasi sipil akan diperkenalkan.
Otoritas Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengumumkan Kerajaan Banjarmasin yang berpemerintahan sendiri telah lenyap dan selanjutnya akan jatuh di bawah wilayah langsung Hindia Belanda di Divisi Selatan dan Timur Kalimantan.
Yang terjadi justru para ulama  berhasil membawa rakyat  ke dalam perang agama dan pemberontakan menjadi perang sabil.