Alam sudah menyembuhkan dirinya sendiri.  Kami terus ke utara, yang setahu saya dan Bagus ada Tahura, karena replikanya di Preanger.  Hanya terminal digantikan bus  dan angkutan umum menggunakan tenaga baterai matahari.
"Mau ke mana kita?"
"Ke tempat untuk menjawab pertanyaan Guru Minda dan mungkin Sri Paduka Prbasari," jawab Bagus."Masih di atas."
Sri Paduka? Purbasari tampak tersipu.
Aku menatap Purbaendah. Â Dia lebih banyak senyum dan tidak banyak bicara. Â Enam bulan cukup mengubahnya menjadi lebih matang lagi dan mungkin lebih cerdas. Â Dia sudah tidak banyak menggunakan bahasa Sunda, tetapi bahasa di Titanium. Â Tidak perlu lagi suara Hiyang.Â
Purbasari mulanya kesulitan mengayuh sepeda, namun rupanya Hiyang ikut menolongnya dari belakang dengan kecepatan tinggi. Dia tidak menampakan diri. Â Tetapi bukan aku saja tahu, Bagus dan Purbaendah juga tahu.
"Hiyang hanya salah satu bangsa alien di semesta ini, di luar sana masih banyak lagi, " kata Purbaendah. "Dan tidak semuanya bersahabat dengan manusia."
Kami di sebuah spot yang bisa melihat Bandung dari atas. Â Bagus memperlihatkan bangkai pesawat Guru Minda yang lebih tua dan kemudian sebuah pecahan pesawat lain yang bentuknya tidak pernah aku lihat dalam buku apa pun, termasuk buku fiksi ilmiah. Â Â
Aku mengikuti Bagus turun dari sepeda diikuti Purbasari dan Purbaendah.  Potongan pesawat raksasa itu seperti pecahan cakram dengan gerigi berdiameter  sekira lima meter per geriginya, namun hanya tiga gerigi menempel pada potongan bulan berlapis-lapis.
Dia menunjuk kerangka mahluk tidak berbentuk manusia, dan ada sepasang kaki besar dan enam pasang tangan dengan jemari masing-masing sepuluh dan  tulang kepala lancip.  Satu tangan menggengam semacam pedang yang sudah patah, satu tangan menggenggam semacam senjata yang tinggal separuh.
"Di sini, Purbaendah menemukan perisai virtual yang anjeun sudah coba waktu mengajak dia bermain di kampung Pasir Batang. Sudah rasakan bedanya Guru Minda," Bagus tergelak.