"Wah, dua busana dari zaman dan peradaban lain, ayo anjeun masuk lagi. Tetah Ira dan Teteh Mayang ada yang menunggu kalian. Sebaiknya kalian ke kiri," Â ujar Bagus masih melalui pengeras suara, sementara musik masih mengalun. "Kalau kawan kami Guru Minda dan Purbasari silahkan ke kanan."
Dengan agak ragu kami mengikuti. Seorang perempuan muda kira-kira usia 27 tahun atau 28 tahun tak jauh dari teteh Mayang keluar dari salah satu bangunan kampus. Â Dia mengenakan celana jins yang kami tahu dari abad ke 20 dan 21 dan baju kaos. Â Kasual. Rambutnya tergerai panjang. Â Wajahnya ceria.
"Aku harus memanggil  teteh, Ambu, Nini atau cukup nama Mayang dan Ira," ucap dia, sambil  air matanya menitik. Perjalanan antar bintang membuat usia perempuan yang harusnya cucu mereka menjadi sebaya,
"Kanaya?" Ira dan Mayang serempak. Â Dia putri dari Sang Kuriang dan Kinanti, yang mereka temui pada masa prasejarah pada ekspedisi pertama masih bocah.
"Ya, dia Kanaya kalian!" terdengar suara orang tua keluar. Dia berjalan dengan tongkat dan terlihat rambutnya yang  memutih. Tetapi postur tubuhnya masih bagus , tentara sejati.
"Kapten Ginanjar?"
Pria tua itu mengangguk. Â Lalu mendekat Kanaya dan mereka berpelukan dengan teteh Mayang dan teteh Ira.
Purbasari melongo. Aku juga tidak mengerti mengapa bisa terjadi.
"Elang atau Sang Kuriang?" tanya Mayang.
"Meninggal karena sakit setelah kehilangan Dayang Sumbinya. Kerajaannya terbengkalai, aku dan Harun mendidik Kanaya dengan ilmu yang kami dapat dan setelah cukup kami coba pulang ke Titanium, tetapi sesuatu menghalangi kami."
Mayang tampaknya menyesal, tapi masa dia harus menikahi anaknya? Kekacauan intersellar.