Buat penasaran. Mimpi apa yang ditransfer ke kepalaku.  Tapi sudahlah katakan itu Bagus.  Dia tetap kawanku.  Tapi aku nggak pernah mimpi film apa pun, kecuali Purbasari dan negeri ini yang cukup banyak. Mustahil  Bagus mendapatkan hal itu.
"Sudahlah, katanya anjeun mengajarkan anak muda di sini main bola, selain keperajuritan?" celetuk aku.
"Sudah seminggu ini.  Lapangannya yang bagus mau  dibuat,"
"Aduh, Bandung saja belum ada, mau dinamakan Persib juga?"
"Nggak laah!, tapi Persatuan Sepak Bola Putra Mandalayu," sahutnya.
Yang paling senang main sepak bola adalah Dadung Baladewa. Bahkan dia berbakat. Â Dia mampu mengolah bola dan mengecoh pemain belakang lawannya. Â Dia punya kawan yang juga berbakat, namanya Cecep Wijaya. Kalau Dadung mampu mendrible dengan cekatan, maka Cecep penerima umpan yang baik dan antisipasi cepat. Â Kalau mereka dalam satu tim, Dadung mengirim umpan dan Cecep menyundul.
Yang jadi kiper, ya Mamo pilot. Â Dia kerap kebobolan. Dia kerap mengumpat.
Mulanya main bola  enam lawan enam, campur orang dewasa dan anak-anak secara merata. Akhirnya setelah lapangan standar jadi sebelas lawan sebelas. Aku pun juga main masih dipanggil Si Lutung walau tidak lagi berbulu lebat.
Kalau aku main bola, Purbasari dan Ambu juga ikut menonton. Itu yang aku senang. Mereka menyoraki. Kalau Mamo punya suporter setia namanya Sisil, pilot juga. Â Samuel bertindak jadi wasit.
                                          ****
Yang membuat  aku semakin betah, Ambu semakin dekat dengan Purbasari.  Dia seperti merestui. Kami bertiga sering berdiskusi tentang kepemimpinan perempuan.  Aneh juga, di Pasir Batang tidak ada bias jender dalam soal kepemimpinan.  Ayahnya Tapa Agung punya anak tujuh, perempuan semua.Â