LIMA
Bunyi kokok ayam membuatku terbangun. Hal yang tidak pernah aku dengar di Titanium. Â Aku beringsut dari bale-bale kamarku. Hawa dingin menyengat masuk kulit, karena aku mengenakan pakaian ganti warga Pasir Batang yang tipis. Â Aku juga memakain kain melindungi bagian bawah.
Sebetulnya aku bisa saja pakai baju warga koloni. Tapi aku tak ingin tampak aneh dibanding warga Pasir Batang lainnya.
Lalu aku keluar mencari tempat air untuk salat Subuh, Hari masih gelap, tetapi sebentar lagi fajar tiba.  Untung sudah terbiasa dengan air dingin. Lagi pula  airnya sehat. Setelah mandi aku berwudu dan salat di atas sehelai kain yang aku bawa di ranselku.
Lalu aku berpakaian dengan pakaian yang disediakan Purbasari. Ransel aku bawa, begitu juga senjata high voltase. Â Purbasari sudah menunggu dengan tiga pengawalnya dengan kuda. Â Dua orang pria dan seorang perempuan yang sebaya dengan dia. Takjub juga aku pada masa sejarah nenek moyang kami ada prajurit perempuan, cerita sejarah di perpustakaan virtual Preanger Satu benar.
Lalu kami berkuda melewati punggung gunung, melewati matahari terbit. Berhenti sebentar untuk sarapan di sebuah kedai. Â Kami menyamar hingga warga menganggap kami pengembara biasa. Â Perjalanan terus dilanjutkan. Kompas virtual yang aku bawa menunjukan menjelang tengah hari kami sampai di gunung tempat pesawat aku mendarat.
"Alat dari kahyangan itu lebih tepat dari peta kami," ujar Purbasari takjub.
"Namanya saja Dewa Tuan Putri," kata salah seorang pengawal.
Kami tiba di tempat pesawat mendarat. Â Purbasari dan pengawalnya takjub. Kemudian aku membua pesawat dan mengambil berapa kantung bibit padi, Â pupuk organik yang sudah dibekukan, serta perbekalan makanan.
"Banyak juga!" ucap Purbasari.
"Untuk makanan rakyatmu nanti sebelum padi tumbuh. Tolong bantu angkut ke kuda."