"Nenek Moyang kami pernah tinggal di sini, kalian menyebutnya Buana Tengah?" Aku sok tahu.
"Iya, kami orang Buana Tengah," jawab dia.
"Kalau kalian memang tinggal turun temurun di Pasir Batang?"
"Kata ayahanda ketika kami masih kecil, lebih dari  seratus tahun lalu kami tinggal di Kabandungan. Tetapi ayah tidak menjelaskan mengapa harus menyingkir dan tidak menjelaskan seperti apa kehidupan di Kabandungan."
Informasi baru. Bisa jadi ini kira-kira seratus tahun setelah meletusnya Tangkubanparahu yang menganggu kerajaan Sang Kuriang di mana Teteh Mayang dan Teteh Ira dulu mendarat. Â Tetapi bisa jadi kerajaan itu masih eksis, mungkin Kabandungan masih utuh dari bencana dan dibangun kembali. Aku menebak-nebak kronologi sejarahnya.Â
Melihat motor capung terbang masih bisa menyala, ya harusnya tidak terlalu lama. Tetapi bisa jadi dimodifikasi mungkin ada tambang besi atau almunium? Â Jadi walau pun ada kekuatan di Kabandungan, mereka tidak berhubungan dengan orang-orang di Pasir Batang dan itu ada perjanjiannya. Barangkali.
"Kalian tidak pernah kontak dengan orang Kabandungan?"
"Itu jadi larangan. Mereka juga tidak mau menganggu kita. Itu sampai Kak Purbararang mengambil tahta. Kakak lebih dulu melanggar. Itu membuat aku sedih.
                                                                ****
Besok paginya, aku memimpin penataan lereng Mandalayu untuk membangun huma dengan pengairan. Â Purbasari menggeleng kepala bagaimana aku bisa membuat air dari sungai mengalir ke atas lereng melalui bambu yang disambung dengan memanfaatkan mesin yang diambil dari pesawat.
Sebetulnya aku ingin mengajarkan sawah terasering. Tteeapi teknologi itu kemungkinan ada belum ada zaman ini. Aku khawatir terlalu banyak mengubah sejarah akan berakibat pada masa depan dan mungkin juga keberadaan kami di Titanium Sawah Terasering itu itu dari Tiongkok, itu yang aku baca dan diajarkan di kuliah pertanian.