LIMA
Bunyi kokok ayam membuatku terbangun. Hal yang tidak pernah aku dengar di Titanium. Â Aku beringsut dari bale-bale kamarku. Hawa dingin menyengat masuk kulit, karena aku mengenakan pakaian ganti warga Pasir Batang yang tipis. Â Aku juga memakain kain melindungi bagian bawah.
Sebetulnya aku bisa saja pakai baju warga koloni. Tapi aku tak ingin tampak aneh dibanding warga Pasir Batang lainnya.
Lalu aku keluar mencari tempat air untuk salat Subuh, Hari masih gelap, tetapi sebentar lagi fajar tiba.  Untung sudah terbiasa dengan air dingin. Lagi pula  airnya sehat. Setelah mandi aku berwudu dan salat di atas sehelai kain yang aku bawa di ranselku.
Lalu aku berpakaian dengan pakaian yang disediakan Purbasari. Ransel aku bawa, begitu juga senjata high voltase. Â Purbasari sudah menunggu dengan tiga pengawalnya dengan kuda. Â Dua orang pria dan seorang perempuan yang sebaya dengan dia. Takjub juga aku pada masa sejarah nenek moyang kami ada prajurit perempuan, cerita sejarah di perpustakaan virtual Preanger Satu benar.
Lalu kami berkuda melewati punggung gunung, melewati matahari terbit. Berhenti sebentar untuk sarapan di sebuah kedai. Â Kami menyamar hingga warga menganggap kami pengembara biasa. Â Perjalanan terus dilanjutkan. Kompas virtual yang aku bawa menunjukan menjelang tengah hari kami sampai di gunung tempat pesawat aku mendarat.
"Alat dari kahyangan itu lebih tepat dari peta kami," ujar Purbasari takjub.
"Namanya saja Dewa Tuan Putri," kata salah seorang pengawal.
Kami tiba di tempat pesawat mendarat. Â Purbasari dan pengawalnya takjub. Kemudian aku membua pesawat dan mengambil berapa kantung bibit padi, Â pupuk organik yang sudah dibekukan, serta perbekalan makanan.
"Banyak juga!" ucap Purbasari.
"Untuk makanan rakyatmu nanti sebelum padi tumbuh. Tolong bantu angkut ke kuda."
Para pengawal turun dan membantu mengangkut berapa karung. Â Aku kemudian menyalakan kompor kecil dan memanaskan lima kotak makanan siap saja dan membangikan kepada Purbasari dan tiga pengawalnya. Mulanya mereka ragu, tetapi mereka menyantapnya.Â
Siang itu juga aku salat di dekat pesawat. Purbasari dan tiga pengawal tidak bertanya dan membiarkan saja. Mereka paham.
"Kita istirahat ini menjelang sore," kata Purbasari. "Kuda-kuda mulai lelah."
Aku tersenyum. "Pakai kendaraan Dewa," sahut aku,
Lalu aku mengeluarkan Jip Terbang dari pesawat. Â Purbasari dan tiga pengawal takjub. Mereka kemudian memindahkan dus-dus dan kotak perbekalan dan benih padi ke bagasi jip. Aku menyetel autopilot ke cupu Mandalayu. Jip terbang pun melesat.Â
"Kita seperti burung!" gumam dia.
Jip melayang dengan ketinggian tiga ratus meter di atas tanah melintasi daerah tak berpenduduk. Masih ada harimau berkeliaran. Â Tampak dari atas mengejar seekor kancil dari sela-sela pohon. Dapat.Â
Jip terbang tidak berbunyi. Kompas memberi tahu ada patroli, maka aku meninggikan jip dan patroli tampak kecil tidak menyadari ada yang melayang di atas mereka.Â
Kurang dari satu jam tiba di dusun. Tampak utuh. Warga desa menyambut dengan takjub. Bibit dan berbekalan segera dikeluarkan.
"Purbararang sudah tahu soal penyergapan itu. Tetapi mereka mementingkan serangan ke arah Barat. Â Ada perlawanan lagi di sana. Telik sandi cerita orang Kabandung ada yang punya senjata seperti Kakanda Guru Minda," ujar Purbaleuwih.
"Kita belum dianggap ancaman?"
Purbasari tidak menjawab. "Mungkin Kak Purabarang masih ada rasa persaudaraannya."
Mungkin. Jelas kalau dilihat perlawanan tempo hari Kabandung lebih membahayakan. Siapa orang-orang bersenjata yang belum ada di zaman lampau itu? Orang Titanium yang terdampar di sini?
Mungkin keturunan Sang Guriang atau Kapten Ginanjar? Tetapi paling hanya satu atau dua senjata highvoltase yang tidak sekuat yang baru. Namun cukuplah untuk melawan. Mungkin juga orang Kabandung yang menolong kami kemarin. Tetapi mereka tidak bergabung?
Makanan segera dibagikan, terutama mereka yang kekurangan makan. Juga dusun lain. Â Besok pagi bibit padi akan ditabur. Â Aku akan membantu masyarakat Cupu Mandalayu mengembangkan budi daya padi dan tanaman lain, juga peternakan.
Kami makan bersama. Kali ini campuran dari pesawatku dan dari desa ini. Â Juru masak Purbabari Mak Ecih pandai sekali memadukannya. Dia sepertinya tahu bahwa dasarnya makanan dari Titanium itu dari Bumi juga yang ditanam atau kalau hewani dibudidayakan di sana.
"Sebetulnya Kak Purbararang menantang saya untuk adu luas huma. Dia yakin menang. Wilayahnya lebih besar dan tanahnya lebih subur. Sedangkan aku di pegunungan yang terkepung. Kalau memperluas aku akan melanggar pantangan merusak hutan," papar Purbasari.
Aku mencuri pandang menatap mata indahnya. Masih polos sebetulnya. Dia menyadari aku menatapnya, lalu menunduk.
"Kami juga punya problem seperti di Kahyangan ketika menanam di atas gunung. Tetapi nenek moyang kami pernah mengajarkan pola terasering, menanam di lereng gunung. Aku akan mengajarkan, jadi nggak perlu merusak hutan dan juga bisa menahan longsor," paparku.
Ilmu pertanian aku terpakai di sini.
"Nenek moyang orang kahyangan dari mana. Kang Guru Minda? Mereka hidup abadi" tanya Purbasari.
Aku menahan geli. Dipikirnya orang Titanium itu abadi? Tidak, memang lebih panjang umurnya dari rata-rata manusia dalam sejarah Bumi. Tetapi Bumi juga pernah punya sejarah manusia hidup lebih dari 100 tahun biasa saja. Itu karena alamnya masih asri. Karena polusi tidak ada. Degenerasi tubuh manusia lebih lambat, dibanding setelah masa industri. Aku saja masih dua puluh tahun. Nyaris sebaya atau hanya  lebih tua dua tahun dengan Purbasari.
"Nenek Moyang kami pernah tinggal di sini, kalian menyebutnya Buana Tengah?" Aku sok tahu.
"Iya, kami orang Buana Tengah," jawab dia.
"Kalau kalian memang tinggal turun temurun di Pasir Batang?"
"Kata ayahanda ketika kami masih kecil, lebih dari  seratus tahun lalu kami tinggal di Kabandungan. Tetapi ayah tidak menjelaskan mengapa harus menyingkir dan tidak menjelaskan seperti apa kehidupan di Kabandungan."
Informasi baru. Bisa jadi ini kira-kira seratus tahun setelah meletusnya Tangkubanparahu yang menganggu kerajaan Sang Kuriang di mana Teteh Mayang dan Teteh Ira dulu mendarat. Â Tetapi bisa jadi kerajaan itu masih eksis, mungkin Kabandungan masih utuh dari bencana dan dibangun kembali. Aku menebak-nebak kronologi sejarahnya.Â
Melihat motor capung terbang masih bisa menyala, ya harusnya tidak terlalu lama. Tetapi bisa jadi dimodifikasi mungkin ada tambang besi atau almunium? Â Jadi walau pun ada kekuatan di Kabandungan, mereka tidak berhubungan dengan orang-orang di Pasir Batang dan itu ada perjanjiannya. Barangkali.
"Kalian tidak pernah kontak dengan orang Kabandungan?"
"Itu jadi larangan. Mereka juga tidak mau menganggu kita. Itu sampai Kak Purbararang mengambil tahta. Kakak lebih dulu melanggar. Itu membuat aku sedih.
                                                                ****
Besok paginya, aku memimpin penataan lereng Mandalayu untuk membangun huma dengan pengairan. Â Purbasari menggeleng kepala bagaimana aku bisa membuat air dari sungai mengalir ke atas lereng melalui bambu yang disambung dengan memanfaatkan mesin yang diambil dari pesawat.
Sebetulnya aku ingin mengajarkan sawah terasering. Tteeapi teknologi itu kemungkinan ada belum ada zaman ini. Aku khawatir terlalu banyak mengubah sejarah akan berakibat pada masa depan dan mungkin juga keberadaan kami di Titanium Sawah Terasering itu itu dari Tiongkok, itu yang aku baca dan diajarkan di kuliah pertanian.
Kami di Titanium sudah menggunakan robot membajak sawah. Jadi bisa lebih banyak sawah atau ladang untuk digarap. Petani jadi operator dan menangani hal penting. Masyarakat di Titanium efesien.Â
Aku juga mengajarkan orang-orang di Cupu Mandalayu membuat kolam ikan lebih efesien daripada yang mereka jalanan, menyimpan persedian air alau terjadi musim kemarau.
Karena bibit unggulan tanda-tanda padi akan tumbuh terasa dalam dua minggu pertama. Warga tampak gembira. Â Berarti mereka tidak aan kelaparan, karena semakin sulit membawa makanan dari luar. Â Ini sesuai dengan keinginan Purbasari bahwa masyarakat Pasir Batang itu membutuhkan lebih dulu ketahanan pangan dan sandang.Â
Di luar soal pangan, aku dan Purbasari, kadang dengan Purbaleuwih  membicarakan masyarakat yang akan dibangunnya.
Prinsipnya, dia hanya melanjutkan tata pemerintahan dan tata sosial dari ayahnya. Menurut dia sederhana saja, setiap orang ambil sesuai kebutuhannya, jangan serakah. Â Kalau ke hutan, jangan menembang kalau tidak perlu. Ambil kayu yang sudah jatuh untuk kayu bakar. Dia juga ingin mempertahankan hutan larangan, hal yang sudah dilanggar orang orang-orang Purbararang, terutama setelah kedatangan orang-orang dari luar yang semain banyak.
Menurut telik sandi orang-orang luar sejak dua tahun terakhir mulai dominan. Mereka bangun semacam produksi pakaian secara masal dan makanan, tetapi lebih banyak untuk orang asing dan elite di lingungan Purbararang. Rakyatnya tetap miskin dan banyak yang melarikan diri ke Cupu Mandalayu.
Aku bertemu kembali dengan Gigin, yang mengungsi bersama orangtuanya. Mereka terancam, karena pernah melawan.
Dadung Baladewa dan anak-anak sebayanya aku ajarkan membaca dan kuajarkan ilmu pertanian, yang datanya aku bawa di tablet virtual mereka teheran-heran. Apalagi mereka tak perlu ambil kayu bakar lagi karena aku punya baterai energi matahari untuk memasak hingga mengalirkan air, tentunya.
Hubungan aku dengan Purbasari jadi dekat tentunya. Kami saling tidak peduli keadaan fisik kami. Hidup dalam kepungan membuat interaksi antar manusia di Cupu Mandalayu makin dekat. Rupanya manusia bisa bersatu kalau senasib. Tentunya dengan pemimpin bijak, seperti Purbasari.
Pemimpin bijak tidak mengenal gender.  Laki-laki dan  perempuan sama-sama bisa menjadi pemimpin bijaksana, humanis, tatapi juga bisa jadi zalim, menghalalkan segala cara untu tujuannya.  Kehancuran Bumi nenek moyang kami dulu, karena terlalu banyaknya pemimpin yang serakah, menghabiskan sumber daya tanpa memikirkan keberlanjutannya.
Purbasari memikirkan keberlanjutan kehidupan dengan mengajaran rakyatnya mengambil secukupnya. Sementara Purbararang kesan aku mengartikan keberlanjutan itu dengan ekspansi dan imprealisme. Mungkin karena orang-orang asing itu menjadi penasehatnya.
Pernah aku melihatnya ikut menanam bibit padi di ladang. Dia ikut berkeringat. Tidak peduli kulitnya yang sudah penuh bercak hitam jadi semain kusam. Â Dia tetap ceria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H