DELAPAN
Namaku Mayang Kusuma. Tadinya aku hanya pekerja biasa di Preanger Dua. Nama yang tidak disebut di media kami Preanger Raya yang beredar secara viral. Tapi sejak laporan saya, Ira, Mamo dan Cicaelia dipublikasikan dan diterima Dewan Preanger, nama kami banyak dibicarakan.
Bagian yang jadi viral ialah cerita tentang Sang Kuriang dan "negeri aneh" di sebuah planet yang mirip cerita sebuah dongeng dan bahkan kisah prasejarah Kota Bandung yang ada di perpustakaan tiga dimensi di tujuh koloni Preanger.
Pertemuan dengan mahluk gua dan kawasan yang disebut Pawon atau dapur dalam bahasa nenek moyang kami. Kang Mamo juga sering melebih-lebihkan cerita, tetapi dia didengar. Apalagi Mamo punya gambar video dia bersama manusia gua itu bersorak dan santap ikan bakar. Ada Sisil juga di sana.
Ada yang bilang Sang Kuriang menendang perahunya karena kesal tidak mendapatkan Anda,Dayang Sumbi. Â Perahu itu terbalik seperti gunung itu? Demikian salah satu pertanyaan wartawan Preanger Raya. Mamo rupanya sempat mengambil dari atas anakku menendang air ke arah perahu, karena kesal. Dia membuat cerita. Tapi kok persis seperti dongengnya yang dibaca di perpustakaan viral?
Banyak yang  menyapaku Dayang Sumbi, bukan lagi Mayang. Termasuk Dedi Cumi, mentor saya di perusahaan konveksi. Pangkatku naik jadi supervisor para pekerja, yang sangat bangga dipimpin oleh petualang bernama Dayang Sumbi.
Di antaranya yang memanggil aku Dayang Sumbi, seorang remaja bernama Guru Minda bahkan datang dari Preanger Empat hanya untuk bertemu saya langsung. Â Aku kenal ibunya, Sunanti Martasasmita. Â Dia seorang dokter anak yang pernah merawat saya waktu kecil dan teman ibu saya. Karena dia akrab dengan anak-anak dia dipanggil Sunan Ambu. Dia menganggap semua pasein sebagai anaknya. Â Dia masih muda, sekitar 40 tahun waktu Titanium.
Guru Minda, anak itu cerdas, mahasiswa tingkat dua fakultas pertanian, dia juga mampu membawa capung terbang bahkan pesawat antariksa kami. Â Hanya saja perlu didampingi pilot, sekalipun dia cukup mahir.
Guru Minda, nama yang mungkin terinpirasi  dari pesawat jelajah Koloni Preanger. Ayahnya yang menamakan demikian biar luas wawasannya.  Nama ayahnya Sukarna, ahli biologi, tanaman dan hutan. Guru, sering diajaknya masuk hutan bahkan sampai melewati perbatasan.Suatu hal yang kemudian disesalinya.Â
Petang ini rumahku diketuk, akhir pekan waktu aku libur bekerja. "Assalamulaikum. Sampurasun Ambu Dayang Sumbi."
"Walaikumsalam, Rampes," jawabku yang sudah mengenal suara Guru.
Biasanya dia buat janji kalau ingin datang. Â Aku lagi bersama seorang keponakanku, ketika membukakan pintu. Aku terperanjat bukan main. Dia tidak lagi pemuda gagah dan tampan seperti tiga bulan lalu kutemui. Â Tubuhnya dipenuhi bulu lebat bahkan hingga wajahnya.
"Astagfirullah, kenapa kamu?" tanyaku.
Guru mencium tanganku. Dia menangis dan menyilakannya duduk.
"Salah aku melewati perbatasan sendirian. Aku menjelajahi sebuah hutan yang penuh buah berwarna merah menyala, menarik. Aku mencicipinya dan ternyata enak. Aku makan lagi...."
"Kan itu terlarang bagi kita, makan sembarangan, kalau tidak diizinkan Badan Kesehatan Preanger?" Aku merasa terkejut, anak itu rasa ingin tahunya besar.
Dia bercerita, rupanya itu reaksi tubuhnya. Â Para dokter masih menelitinya, dia diberikan obat anti alergi. Namun belum berhasil.
"Sudah berapa lama?"
"Sebulan ini Ambu Dayang."
Kasus ini tidak dipublikasikan karena dewan khawatir Guru Minda akan dibully. Â Apalagi dia pengkhayal. Â Tanpa diberitakan dia juga sudah jadi bahan olok-olok.
"Saya sering dibully Ambu Dayang Sumbi, dikatakan mirip mahluk gua yang diceritakan dan digambarkan oleh Kang Mamo dan cerita Ambu," Guru Minda mengutarakan curahan hatinya. "Rasanya aku ingin ke planet itu dan berkumpul dengan sesama aku," ujar Guru.
"Di sana peradabannya di bawah kita, masa anjeun mau ke sana? Harus hidup berburu, belum lagi penyakit dan cuacanya beda, kamu belum tentu bisa adaptasi."
"Kalau teteh bisa, aku juga bisa," katanya. "Cerita teteh mirip cerita Ambu aku, yang katanya cerita nenek tentang asal muasal kita."
"Manusia gua itu aslinya seperti itu, kamu tidak seperti itu. Karena penyakit. Kamu bisa pulih," kataku.
Guru Minda terdiam. Â Keponakanku yang masih remaja, Â Nanda Kumala datang membawakan minuman teh. Dia terpekik melihat Guru Minda. Namun ketika mataku melotot dia terdiam. Guru Minda tidak tersinggung, tampaknya sudah biasa.
"Aku juga sering bermimpi seorang perempuan cantik yang pakaiannya mirip seperti Ambu Dayang Sumbi dalam berita viral, pakaian Bumi," ucapnya. "Deskripsinya rambutnya panjang, matanya indah dan menyejukan."
Kok bisa? Bagaimana dia tahu itu perempuan bumi dan referensinya dari mana? Jangan-jangan dia jatuh hati padaku atau Ira? Ah tidak mungkin? Dia lihat di perpustakaan Preanger. Mungkin.
"Mungkin kamu lihat di buku, lalu terekam di memorimu?"
"Nggak. Mungkin Ambu nggak percaya. Seperti makan buah itu ada yang berbisik padaku. Pada pertama bermimpi ada mahluk hijau mengenalkan aku pada dia bahwa ini calon istriku."
Hiyang? Dia ingin Guru Minda ke Bumi. Â Ada apa? Anak ini diminta ke Bumi?
"Nama kamu Guru Minda, sesuai nama pesawat angkasa kita? Kamu harus kuat" cetus aku mencoba menghiburnya.
"Iya, Buyut aku salah satu yang membuat pesawat. Katanya Guru Minda itu nama tokoh dongeng yang punya kekuatan, yang dibaca nenek moyang kita dulu."
Aku menatap tubuh anak yang ditumbuhi rambut lebat disekujur tubuhnya dan hanya menyisakan bagian mata dan hidung. Mungkin reaksi tubuh manusia karena menyantap buah itu yang cukup banyak dikonsumsinya.
"Aku dikatakan mirip lutung oleh teman-teman saya. Tapi untung guru-guru saya selalu membela," kata dia.
"Kamu pintar kan, Ambu kamu cerita sama saya bahwa kamu bisa menerbangkan pesawat, mampu menanam padi di huma dan berkebun. Kamu makan buah tak sengaja karena ingin tahu."
"Buahnya enak. Tapi rupanya merangsang pertumbuhan bulu dan rambut."
"Raja itu apa sih? Anak teteh jadi raja di sana?" Tiba-tiba dia mengalihkan pembicaraan.
"Raja itu pemimpin berdasarkan keturunan. Dia tidak punya penasehat seperti kita. Raja itu harus adil bagi rakyatnya."
"Anak teteh adil?"
"Dia dicintai rakyatnya. Tapi dia ingin menikah dengan saya. Inter Selar membuat usia dia seumur atau lebih tua berapa tahun dari teteh," tutur aku.
Namun bukan itu masalahnya. Tiga bulan kemudian tujuh Koloni Preanger gempar. Guru Minda membawa kabur sebuah pesawat Guru Minda (nama pesawatnya sama) dari Titanium, seorang diri. Pengobatannya gagal, bulu di tubuhnya tumbuh kian lebat.
Aku mirip lutung teteh, kata teman-temanku. Aku pergi ke planet teteh ceritakan. Barangkali di sana aku menemukan kedamaian. Barangkali aku juga bertemu pujaan hatiku.
Pesan itu masuk ke akun media viral di alat komunikasi tiga dimensiku. Sejam kemudian Dewan Preanger memanggil saya, Ira, Mamo dan Sisil. Kami diminta kembali ke lubang cacing mengejar Guru Minda sekalipun sudah tiba di Bumi, membawa obat-obatnya dan membawanya pulang kembali.
Kami tidak bisa menolak. Seorang dokter ahli alergi yang selama ini menangani Guru Minda, dua orang mekanik, dua perawat, seorang juru masak, sembilan tentara menemani kami dengan persenjataan lengkap, obat-obatan dan makanan yang jauh lebih banyak dibanding ekspedisi kami pertama.
Cerita kami sudah cukup jadi referensi ekspedisi tidak bisa dengan kekuatan kecil. Dewan khawatir kalau kami bertemu lagi dengan orang Atlantis atau bangsa lain yang kami tidak tahu siapa mereka. Â Kami berangkat dengan Guru Minda Dua Belas yang ukurannya besar.
Ambu dari Guru Minda, Sunanti marta Sasmita  ikut dengan kami. Suaminya harus tetap di Titanium untuk menjaga putri mereka yang masih kecil, skelaigus juga meneliti efek buah itu. Lagipula Guru Minda sangat dekat dengan ibunya.
"Pokoknya kali ini bawa semua pulang ke Titanium. Kalau bertemu Ginanjar, Harun, Elang dan siapa itu cucunya Mayang dan Ira bawa mereka semua. Â Kalau ada warga yang mau ikut, masih memungkinkan, angkut. Bilang ini perintah Dewan," suara Presiden Dewan Preanger menggelegar.
Anggota dewan lain mengangguk.
Pulang? Bukankah mereka juga pulang ke Bumi. Arti pulang jadi relatif. Itu kalau mereka mau. Kalau mereka masih ada.
Yang membuat aku lega salah satu Hiyang mengikuti kami di pesawat tentunya hanya aku dan Ira yang melihat. Dia bersembunyi di bagasi yang memang besar dengan tenang. Lewat telepati dia berjanji akan membantu. Itu artinya menghadapi masalah yang lebih besar.
Orang Atlantis? Mereka masih jadi ancaman. Aku mencoba bertelepati.
Lebih kuat dari orang Atlantis. Bangsa itu sudah lenyap. Negeri mereka tenggelam karena bencana. Suara Hiyang melegakan, sekaligus juga menakutkan.
Namaku Mayang Kusuma, aku tak membayangkan petualangan kembali ke Bumi untuk kedua kalinya. Eskpedisi kami mencari  Guru Minda, dia yang diejek sebagai lutung.
Lutung Kasarung, Â lutung yang tersesat. Itu julukannya. Dia punya tugas di Bumi. Kalian akan membantunya pada saat yang paling berbahaya. Kami hanya bisa mengawasi dan memberi masukan.
Suara Hiyang di kepalaku.
Entah apa lagi yang kami temui. Mungkin saja Sang Kuriang bisa membantu atau malah membenci kami. Itu kalau dia masih ada. Bagaimana dengan Kanaya? Itu yang membuat Ira antusias ikut, berharap bertemu lagi cucunya. Â Dia juga tahu bisa jadi dia menemui Kanaya masih usia sembilan tahun, sudah besar atau jadi nenek bahkan sudah meninggal. Dia hanya ingin tahu.
Namaku Mayang Kusuma. Kini aku sering dipanggil Dayang Sumbi. Â Kini aku dalam perjalanan kembali ke Bumi bersama kawan-kawanku (selesai).
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H