"Ambu, lihat!" Kanaya menunjuk sesuatu di kawah. Lalu dia menyembunyikan wajahnya ke mukaku.
Kami kemudian melihat ke bawah. Puluhan mayat tentara Atlantis bergelimpangan bahkan ada yang di tepi kawah. Sayap mereka terlepas. Â Bersamaan dengan itu peralatan dashboard di jip terbang memberi isyarat bahaya.
"Kita kembali, ada yang tidak beres pada gunung itu. Kemungkinan pasukan Atlantis itu ingin menyerang dari utara, tetapi terkena gas racun atau hawa panas dari gunung," kata Harun.
"Gunung ini mau meletus?"
"Mudah-mudahan tidak," kata Punggawa. "Pernah ada  kejadian waktu raja terdahulu dan menurut cerita danau itu terbentuk karena letusan yang menghancurkan bagian terbesar gunung ini, hingga seperti ini."
"Anjeun, bisa berbahasa kami?"
"Kawan anjeun, Taruma mengajarkan banyak ilmu kepada  lima orang sejak kami kecil, teman bermain Elang."
Kami kembali ke Istana.
Sang Kuriang sudah kembali diiringi sorak-sorai rakyat Parahyangan. Rupanya mereka menang.
"Aneh, harusnya pasukan Atlantis banyak. Yang kami kejar hanya puluhan orang," kata Sang Kuriang. "Tersisa dua puluhan, termasuk panglima pasukan. Â Mereka lari ke arah pantai. Itu bukan wilayah kami lagi, tetapi negeri lain. Kami tidak pernah memasuki wilayah lain"
"Bagian terbesar mati di kawah gunung. Taktik yang bagus Sri Paduka, sebetulnya, pasukan itu memutar ke gunung dan menyerang dari utara. Tapi mereka kena hawa panas."