"Kami mencari warga kami yang mungkin terdampar di sini. Kendaraannya ada di danau," tutur Kapten Ginanjar memberanikan diri.
Pria yang menamakan dirinya Sang Kuriang mengangguk. "Kami harus waspada, musuh kami juga orang asing dari negeri seberang lautan kerap menyerang  negeri ini. Kami sudah lima tahun berperang melawan mereka, orang-orang Atlantis."
"Negeri?"
"Negeri kami Parahyangan, sesuai nama pelindung kami."
"Hyang?"celetuk aku.
"Dia ada di sekitar tempat itu. Selalu membantu kami, asal kami mematuhi sejumlah aturan, seperti menjaga hutan dan air, tidak mengambil hasil hutan kecuali diperlukan. Kami juga tidak boleh beburu binatang berlebihan," tutur Sang Kuriang.
Sang Kuriang? Masa sih dia Elang? Harusnya anak kecil? Jantungku berdegub. Kalau begitu mana Iskanti dan Taruma?
Setelah makan Sang Kuriang mengajak aku untuk berbicara berdua. Mulanya Ira dan Ginanjar keberatan. Namun aku begitu penasaran.
Dia mengajak aku ke taman di belakang istananya. Kebun yang ditata bagus, penuh buah dan bunga. Di tengahnya ada bangunan kecil. Dia mempersilahkan aku untuk masuk di sana ada dua gundukan tanah dengan nisan bertulis huruf aneh mungkin huruf Sunda kuno. Aku tak bisa membacanya dan hanya mengira-ngira.
"Ini Dayang Sumbi dan itu orang yang membawa kami..."
"Taruma, berarti ini Iskanti..."