Dia tak menjawab. Tapi menyilahkan kami mengikuti masuk ke dalam istananya.
"Tentunya kalian lapar, silahkan menikmati jamuan kami," ujar dia.
Kami diminta menunggu di ruangan makan, meja yang disusun melingkar. Aku duduk di samping Ira. Meja kayu yang kuat dan bagus buatannya.Â
Apakah ada Elang dan Iskanti di sini? Orang itu tidak mungkin Taruma karena kita tahu wajahnya dan tidak mungkin lagi anak-anak kita ada di sini?"
Sekitar setengah jam aneka hidangan disajikan, ada sepuluh ekor ikan dan sepuluh potong ayam bakar dengan nasi hingga sayuran dan buah kupas, mungkin sejenis mangga. Baunya ranum. Piringnya terbuat dari kayu yang begitu halus buatannya dan diberi alas daun pisang. Begitu juga dengan gelas air.
"Sok, dimakan?" kata orang itu.
Kapten Ginanjar makan dengan lahap dan hati-hati. Begitu juga Andrian dan Harun. Aku dan Ira akhirnya menyusul. Sampai saat ini kami dibiarkan membawa senjata, menandakan mereka sebetulnya sudah tahu siapa kami.
"Seandainya sebagian orang-orang ini dari Titanium. Pertanyaannya bagaimana dia membangun peradabannya, ada yang membantu," bisik Harun. "Kalian lihat komandan pasukan tadi tidak terkejut dengan senjata listrik kita dan pakaian kita."
Laki-laki berambut panjang itu menatapku tajam. Aku gelisah, tatapan itu mirip tatapan suamiku dulu, ketika hendak meminang. Bahkan wajahnya begitu mirip.
"Abdi Sang Kuriang. Anjeun semua dari atas?" Dia menunjuk langit.
Kami saling berpandangan.