"Menurut informasi mereka membawa banyak persediaan oksigen, makanan dan pakaian, jip terbang dan capung terbang, juga baju untuk berjalan di ruang hampa. Â Di dalam pesawat juga ada banyak cadangan makanan dan minuman serta oksigen. "
"Banyak? Seperti mengadakan perjalanan jauh?" Ira semakin khawatir.
Guru Minda Enam mengikuti jejak Guru Minda Delapan, namun arahnya berbelok bukan ke arah bulan ketiga. Pilot Mamo mendadak gelisah. Pesawatnya sudah disetel mengikuti jejak tak mudah dibelokan.
"Mengapa Kang Mamo?" Ira melihat kegelisahannya.
"Kita menuju lubang cacing. Tak bisa dihindari. Bersiap akan ada guncangan."
"Ah, gila itu. Mereka mensetel pesawat berdasarkan jejak pesawat suami kita, itu artinya?" aku dan Ira bertanya serempak.
"Di map dashboard pesawat Guru Minda tampaknya ke Bumi, ke tempat asal kita dulu...tapi bisa juga kesasar ke planet lain,"
Suara Mamo gemetar dan kami menahan tekanan kuat. Guru Minda Enam terseret ke dalam Lubang Cacing dengan deras. Seharusnya tidak demikian, namun rupanya ada anomali entah apa. Di ruang angkasa semua bisa terjadi. Para tetua mengingatkan tidak sembarangan masuk ke "lubang cacing interselar", di mana ruang dan waktu relatif.
Cukup lama kami meluncur dalam kegelapan dan cahaya berseliweran. Tahu-tahu kami memasuki atmosfer suatu planet entah apa. Begitu cepatnya pesawat meluncur membuat tekanan pada kepala kami. Terasa benturan keras dan aku tak sadar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H