Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dayang Sumbi (2)

4 Juni 2020   21:02 Diperbarui: 4 Juni 2020   21:05 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Foto: https://www.qureta.com/post/dayang-sumbi-dan-intelektualitas-perempuan-sunda/picbay.

DUA

"Mayang, Elang dan Iskanti hilang!" Teriakan Ira Mutiara, Ibu Iskanti begitu mengejutkan. Semalam aku begadang menyelesaikan tugas membuat pakaian untuk koloni Preanger Tujuh yang molor. Itu sebetulnya karena Elang kembali meminjam benangnya.

Akibatnya aku malah abai pada Elang dan tertidur di kantor. Memang kalau aku tidak pulang Elang menginap di rumah Taruma.  Sementara Mutiara juga sibuk berjaga malam, karena ada kabar beberapa sosok mahluk besar mendatangi koloni kami.  Iskanti pun dibiarkan menginap di tempat Taruma.  Kami tak menyadari bahwa kemarin malam mereka menginap bukan karena kami tidak ada. 

"Mereka biasanya menginap di tempat Taruma kalau tidak ada kita?" Aku berupaya menenangkan diri.

"Taruma juga hilang!" Ira histeris.  Biasanya perempuan ini tidak pernah takut.

Aku panik bukan main. Rapat Dewan Preanger Dua segera digelar dan terungkap bahwa Elang dan Iskanti memaksa Taruma mencari ayah mereka. Elang juga membawa Tumang. Mereka membawa perbelakalan dan peralatan lengkap berikut senjata.

"Keumaha, Euy, si Taruma bisa dipaksa anak kecil," ujar Edie Yusuf seorang anggota dewan kesal. Dia kesal bisa-bisanya tidak diketahui penjaga.  Namun memang kerap longgar karena tidak pernah ada yang nekat pergi tanpa izin.

"Mungkin dia kasihan mendengar tangisan mereka berdua!" kata Vanda Katrina anggota dewan lain.

Hasil investigasi, Guru Minda Delapan digunakan untuk berpergian ke bulan dua. Mereka baru lepas landas dua jam yang lalu. Kami masih bisa mengejar. Namun yang kami khawatirkan ada mahluk asing lain mengikuti mereka.

Dasir, seorang ilmuwan memperlihatkan foto mirip seperti piring melesat di angkasa. Lalu dia juga memperlihatkan mahluk raksasa yang tingginya sekitar empat meter dengan bertanduk yang diambilnya di luar pemukiman. Mahluk yang diburu pasukan yang dipimpin Mutiara malam tadi.

Jadi Elang tidak berfantasi? Aku menjadi semakin takut, karena selama ini menganggap hanya khayalan seorang anak yang kehilangan figur ayahnya.

"Kita tidak tahu apa tujuan mahluk itu. Tapi ada saksi mengatakan satu mahluk itu ikut dalam Guru Minda Delapan!" cetus Dasir.

"Mahluk itu punya pakaian kamuflase. Jadi mereka bisa hadir di antara kita tanpa diketahui. Mereka seperti melayang di atas tanah hingga tak berjejak karena pakaian itu. Kehadiran mereka sudah tercium sejak sepuluh tahun lalu. Tapi sulit dibuktikan," Anggota dewan lain memberikan kesimpulan.

Jantung aku seolah copot. Jangan-jangan bangunan berundak itu, bukan dibangun anak-anak, tetapi dibantu? Bagaimana mereka berkomunikasi? Meskipun demikian mahluk itu berbeda dengan mahluk buas yang suka menyerang koloni.

"Menurut cerita orangtua saya, sejak manusia ada di Bumi, ada yang terpilih berkomunikasi dengan mereka. Jadi ada mahluk itu yang melacak keberadaan ke planet ini dan mungkin mahluk itulah yang membisikan ke beberapa perintis adanya planet ini. Sebagian dari kaum mereka ada yang ingin memperdaya manusia, tetapi ada yang ingin membantu kita," kata Vanda.

Dewan memutuskan dalam rapat kilat itu, Aku, Mutiara, dua orang pilot dan dua tentara, serta seorang dokter mengejar mereka dengan Guru Minda Enam. Jejak Guru Minda Delapan bisa dilacak.

Kami dibekali  senjata high voltase, pelontas panas, capung terbang, jip terbang, hingga peralatan seperti kompas virtual yang mampu memetakan kontur tanah radius lima kilometer persegi dari titik pengguna kompas. Lebih cepat lebih baik.

Siapa pilot yang bersedia mempertaruhkan nyawa untuk kami? Tak lain adalah Mamo. Alasannya suami aku dulu teman dia.

Tapi sebenarnya dia puas dan penuh kemenangan pandangannya  adanya mahluk asing di Titanium yang bersahabat dengan anak-anak kami bukan kahyalan. Sepanjang rapat dia tak henti-hentinya berceloteh soal mahluk asing itu dan kali ini didengar oleh para anggota dewan.

Dia juga mengajak sahabatnya Caecilia, seangkatan waktu di akademi. Mereka kerap terbang bersama melintasi Titanium.  Perempuan itu kerap dipanggil Sisil.  Sementara tentara yang ikut Kapten Ginanjar  dan Kopral Andrian. Ikut serta juga dokter Harun Piliang untuk antisipasi kalau ada masalah gagguan kesehatan terhadap Elang, Iskanti maupun Taruma dan sebetulnya juga kami.

Kami melesat pukul sepuluh malam waktu Titanum, waktu yang tepat untuk melesat ke angkasa. Tujuan kami bulan ke dua, tempat yang diduga akan dikunjungi Elang dan Iskanti.

"Mereka membawa perbekalan apa saja?" tanyaku cemas

"Menurut informasi mereka membawa banyak persediaan oksigen, makanan dan pakaian, jip terbang dan capung terbang, juga baju untuk berjalan di ruang hampa.  Di dalam pesawat juga ada banyak cadangan makanan dan minuman serta oksigen. "

"Banyak? Seperti mengadakan perjalanan jauh?" Ira semakin khawatir.

Guru Minda Enam mengikuti jejak Guru Minda Delapan, namun arahnya berbelok bukan ke arah bulan ketiga. Pilot Mamo mendadak gelisah. Pesawatnya sudah disetel mengikuti jejak tak mudah dibelokan.

"Mengapa Kang Mamo?" Ira melihat kegelisahannya.

"Kita menuju lubang cacing. Tak bisa dihindari. Bersiap akan ada guncangan."

"Ah, gila itu. Mereka mensetel pesawat berdasarkan jejak pesawat suami kita, itu artinya?" aku dan Ira bertanya serempak.

"Di map dashboard pesawat Guru Minda tampaknya ke Bumi, ke tempat asal kita dulu...tapi bisa juga kesasar ke planet lain,"

Suara Mamo gemetar dan kami menahan tekanan kuat. Guru Minda Enam terseret ke dalam Lubang Cacing dengan deras. Seharusnya tidak demikian, namun rupanya ada anomali entah apa. Di ruang angkasa semua bisa terjadi. Para tetua mengingatkan tidak sembarangan masuk ke "lubang cacing interselar", di mana ruang dan waktu relatif.

Cukup lama kami meluncur dalam kegelapan dan cahaya berseliweran. Tahu-tahu kami memasuki atmosfer suatu planet entah apa. Begitu cepatnya pesawat meluncur membuat tekanan pada kepala kami. Terasa benturan keras dan aku tak sadar.

Ilustrasi-lubang cacing-Foto: https://sains.kompas.com/read/2018/04/25/210700423/ilmuwan-india-temukan-cara-lihat-lubang-cacing-dengan-teleskop
Ilustrasi-lubang cacing-Foto: https://sains.kompas.com/read/2018/04/25/210700423/ilmuwan-india-temukan-cara-lihat-lubang-cacing-dengan-teleskop
Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun