"Kita tidak tahu apa tujuan mahluk itu. Tapi ada saksi mengatakan satu mahluk itu ikut dalam Guru Minda Delapan!" cetus Dasir.
"Mahluk itu punya pakaian kamuflase. Jadi mereka bisa hadir di antara kita tanpa diketahui. Mereka seperti melayang di atas tanah hingga tak berjejak karena pakaian itu. Kehadiran mereka sudah tercium sejak sepuluh tahun lalu. Tapi sulit dibuktikan," Anggota dewan lain memberikan kesimpulan.
Jantung aku seolah copot. Jangan-jangan bangunan berundak itu, bukan dibangun anak-anak, tetapi dibantu? Bagaimana mereka berkomunikasi? Meskipun demikian mahluk itu berbeda dengan mahluk buas yang suka menyerang koloni.
"Menurut cerita orangtua saya, sejak manusia ada di Bumi, ada yang terpilih berkomunikasi dengan mereka. Jadi ada mahluk itu yang melacak keberadaan ke planet ini dan mungkin mahluk itulah yang membisikan ke beberapa perintis adanya planet ini. Sebagian dari kaum mereka ada yang ingin memperdaya manusia, tetapi ada yang ingin membantu kita," kata Vanda.
Dewan memutuskan dalam rapat kilat itu, Aku, Mutiara, dua orang pilot dan dua tentara, serta seorang dokter mengejar mereka dengan Guru Minda Enam. Jejak Guru Minda Delapan bisa dilacak.
Kami dibekali  senjata high voltase, pelontas panas, capung terbang, jip terbang, hingga peralatan seperti kompas virtual yang mampu memetakan kontur tanah radius lima kilometer persegi dari titik pengguna kompas. Lebih cepat lebih baik.
Siapa pilot yang bersedia mempertaruhkan nyawa untuk kami? Tak lain adalah Mamo. Alasannya suami aku dulu teman dia.
Tapi sebenarnya dia puas dan penuh kemenangan pandangannya  adanya mahluk asing di Titanium yang bersahabat dengan anak-anak kami bukan kahyalan. Sepanjang rapat dia tak henti-hentinya berceloteh soal mahluk asing itu dan kali ini didengar oleh para anggota dewan.
Dia juga mengajak sahabatnya Caecilia, seangkatan waktu di akademi. Mereka kerap terbang bersama melintasi Titanium.  Perempuan itu kerap dipanggil Sisil.  Sementara tentara yang ikut Kapten Ginanjar  dan Kopral Andrian. Ikut serta juga dokter Harun Piliang untuk antisipasi kalau ada masalah gagguan kesehatan terhadap Elang, Iskanti maupun Taruma dan sebetulnya juga kami.
Kami melesat pukul sepuluh malam waktu Titanum, waktu yang tepat untuk melesat ke angkasa. Tujuan kami bulan ke dua, tempat yang diduga akan dikunjungi Elang dan Iskanti.
"Mereka membawa perbekalan apa saja?" tanyaku cemas