Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1964, Banjir Film Nefos di Layar Bioskop

31 Agustus 2019   21:42 Diperbarui: 31 Agustus 2019   21:57 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

New Emergencing Forces demikian Presiden Sukarno menyebut negara-negara yang baru merdeka dari penjajahan. Kejengkelannya terhadap negara-negara Barat yang disebutnya sebagai Oldefos bukan saja diwujudkan dalam politik luar negerinya, tetapi juga dalam kebijakan menyangkut seni dan budaya.

Pada 18 hingga 30 April 1964 digelar Festival Film Asia Afrika di Jakarta yang ditokohi oleh Nyonya Utami Suryadarma , Sitor Situmorang dan lain-lain. Sebanyak 26 negara mengikuti festival ini. Komunike Festival Film Asia Afrika ini mengungkapkan bahwa hadirnya perhelatan ini karena semangat anti perfilman imprealisme.

Presiden Sukarno dalam amanatnya di depan para perwaklian peserta pada 19 April 1964 meyerukan agar bangsa-bangsa di Benua Asia dan Afrika menjadikan film sebagai alat menggembleng solidaritas rakyat kedua benua melawan pengaruh buruk imprealisme.

"Jangan membuat film yang menghilangkan persaudaraan antara bangsa dengan bangsa. Jangan membuat film sebagai alat mencari uang," ucap Sukarno.

Pernyataan Sukarno diamini oleh Menteri/Sekjen PDFN Sudibjo yang mengatakan tikdak ada kompromo antara Nefos dan Oldefos. Film mutlak menjadi bagian dari tujuan politik Indonesia, yaitu menghancurkan imprealisme dan kolonialisme.

Tentu saja tetap ada yang kritis terhadap perhelatan ini, di antaranya wartawan senior dan saksi sejarah Rosihan Anwar (1980, hal 454) menyebutkan festival ini adalah suatu show alias pertunjukan komunis.

Para tokohnya kebanyakan orang-orang Lekra dan kaum fellow-traveller yang memegang peranan. Praktiknya tidak banyak orang yang menyaksikan film-film yang diputar.

Banjir Film Nefos
Pada 1964 film-film Nefos mulai membanjiri bioskop di Bandung. Kritikus Jim Lim mengupas beberapa film yang tayang pada pertengahan 1964. Film-film dari Amerika telah dibatasi. Namun dia mengingatkan sebetulnya ada film AS juga yang anti feodalis yang sejalan dengan Bung Karno.

Di antara film tersebut ada film "Spartacus" karya Stanley Kubrick, terkait pemberontakan budak terhadap kekuasaan Romawi. Film yang diproduksi pada 1960 ini ditafsirkan menyampaikan pesan anti feodalisme dan anti kolonialisme. Film ini melejitkan nama Kirk Douglas dan Toni Curtis pada tahun berikutnya.

Sementara untuk film luar AS, Jim Lim menyebut film "Mameluk" (judul lain "Mamluqi") produksi 1958 dari Uni Soviet sebagai film sederhana yang bagus. Film ini mengisahkan Kvitcha, anak kecil yang diculik dari Georgia dan dijual sebagai budak putih di Mesir, justru ketika perbudakan mulai dilarang. 

Kvitcha yang terlahir sebagai Kristen menjadi dewasa sebagai muslim dan menjadi tentara Mameluk melawan Napoleon di Mesir hingga menemui ajalnya.

Film ini berisi tentang humanisme dan saling menghargai antar manusia. Dia juga menggugat ada faedahnya faedahnya bergama kalau dibarengi praktik kebusukan.

Jim Lim juga mengkritisi film "The Story of Flaming Years" atau "Kisah Tahun Berapi" dari Uni Soviet yang beredar di bioskop Bandung April hingga pertengahan 1964. Film produksi 1961 ini becerita tentang penyerbuan pasukan Jerman ke Ukraina antara 1941-1942, hingga kelalahan Jerman dan akhirnya pembangunan kembali Ukraina.

Tokoh utamanya Ivan Orlok, salah seorang pejuangnya yang akhirnya tertembak. Hubungannya dnegan kekasihnya, orangtua dan adik-adiknya digambarkan seperti puisi, walaupun isi film ini adalah realisme sosialis yang jadi perjuangan komunis.

Sebagai catatan Yulia Solntseva. Coppola adalah sutradara film ini menjadi wanita kedua yang memenangkan penghargaan penyutradaraan Festival Cannes, tepatnya pada 1961.

Film-film Jepang juga membanjiri bioskop. Sebagian di antaranya menurut kritikus film Jim Lim kurang berkualitas seperti "Yuro No Togyo" (1959). Film ini diputar penonton terbiasa dengan film Hollywood yang tidak membutuhkan banyak berpikir.

Film ini seperti roman picisan, tentang dua perempuan night club, yang satu menjerat seorang pemuda yang umurnya di bawahnya dan yang satu menjadi gundik seorang pelukis.

(columbia.edu)
(columbia.edu)
Festival Film Nefos
Pada pertengahan September 1964 Bandung menjadi tempat digelarnya Festival Film Nefos di bioskop Fajar dan Parahyangan. Festival ini dibuka pada 13 September 1964. Jubay Ayub, Komite Festival Film Nefos mengatakan, bahwa festival ini bukan berarti menganggap semua film dari Amerika Serikat buruk.

"Ada Film AS yang bagus, tetapi ada juga memberikan pengaruh buruk dan untuk itu kita harus memilih yang mana yang bisa masuk dan diputar di Indonesia," ujar Jubay.

Dalam sambutannya, Jubay mengungkapkan timbulnya crossboy di Indonesia diakibatkan oleh film-film dari Amerika Serikat. Festival film ini berlangsung hingga 19 September, dari negara Yugoslavia, Vietnam (utara), Kuba, Hongaria, Uni Soviet, Polandia, Jepang, Korea Utara, Pakistan dan Aljazair.

Sementara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Prijono mengemukakan dalam sambutan tertulisnya, film alat pengabdi rakyat dan revolusi untuk menimbulkan daya juang di dalam menentang kolonialisme dan imprealisme.

Kritikus Film Jim Lim mengkritik cara penyelenggara mengatur acara dalam Festival Film Nefos. Setiap hari diputar tiga film pendek dan tiga film panjang. Orang yang punya pekerjaan normal tidak mungkin datang pada jam pertunjukan pagi dan siang.

Akibatnya yang memenuhi bioskop adalah anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar. Selain film yang diputar bukan film untuk usianya, pertunjukan siang hari menjadi taman bermain yang riuh.

Meskipun demikian sejumlah film Nefos berkualitas dan banyak yang berisi pelajaran. Film-film yang diputar banyak memenangkan Festival Cannes dan Moskow. 

Mengetahui kegenitan warga Bandung terhadap film, Atase Kebudayaan dari Yugoslavia rela bertandang ke kantor Redaksi Pikiran Rakjat Bandung untuk mempromosikan filmnya berjudul "Kozara", yang menenangkan medali di Moskow. 

Film produksi 1962 dan disutradarai oleh Veljko Bulaji ini bercerita tentang berjuangan rakyat Yugoslavia melawan Nazi, tepatnya pada pertempuran di hutan Gunung Kozara, Bosnia Utara pada Juni 1942 antara partisan melawan Jerman dan kolaborator mereka.

Para partisan tidak hanya harus menjaga diri mereka sendiri tetapi juga berusaha melindungi ribuan pengungsi. Kritikus Jim Lim memuji film ini sebagai film yang baik untuk menggambarkan kegigihan sebuah melawan penjajahnya.

Sejak awal film-film Yugoslavia dirancang untuk menjadi konservatif, serta saluran untuk propaganda negara. Sebuah Komite untuk Sinematografi didirikan di Yugoslavia Sosialis pada 1946.

Presiden Tito membutuhkan mitologi nasional sebagai perekat. Motif penataan mitologi ini adalah 'persatuan dan persaudaraan', dan narasi yang menggarisbawahi itu adalah perjuangan pembebasan nasional selama Perang Dunia Kedua.

Saya sempat menyaksikan film ini tak ubahnya menyaksikan film perang kemerdekaan. Tentara Nazi masuk desa dan membantai warga yang tidak mau mengucapkan heil Hitler.

Begitu juga dengan pencegatan konvoi tentara Nazi mengingatkan pencegatan patroli tentara Belanda pada beberapa film perjuangan kemerdekaan. Wajar, film ini mendapat perhatian masa itu.

Film Yugoslavia lainnya berjudul "Dolina Miru" atau "Valley of Peace" produksi 1956 terkait dengan Perang Dunia ke II di Yugoslavia. Film yang disutradarai France tiglic ikut kompetisi di Festival Film Cannes 1957. John Kitzmiller menerima penghargaan Aktor Terbaik untuk perannya sebagai Sersan. Jim.

Vietnam menyajikan film "The Flying Horse" dan Return to Dien Bien Phu" merupakan film-film dokumenter berkaitan dengan perjuangan Vietnam (Utara) melawan kolonialisme Prancis. Menurut Brian Letwin dalam tulisannya "History of Vietnamese Cineme 1898-1995", industri film di Vietnam terpecah sejak penarikan Prancis dari Vietnam.

Pada tahun 60-an, Vietnam Selatan memproduksi film-film nasionalis dan bahkan animasi, sementara Utara menyaksikan keberhasilan yang terukur dalam festival-festival film Eropa Timur dan Moskow. Pada Juli 1959 sudah terdapat Hanoi Film School.

Tiongkok menyajikan film bertajuk "Lin Zexu" (1959) tentang pejabat kerajaan Dinasti Qing jujur melawan kesewenangan Inggris dalam Perang Candu abad ke 19. Film ini menunjukan nasionalisme Tiongkok pas diproduksi dalam suasana perang dingin dan diproduksi untuk memperingati ulang tahun kesepuluh RRC.

Menurut peneliti sejarah Asia dari Universitas California, San Diego Paul G. Pickowicz, film ini mendapat perhatian para kritikus dari kubu Maois dan non-Maois. Pada awalnya keduanya menganggap "Lin Zexu" adalah film patriotik yang konsisten dengan pemikiran Mao Zedong.

Namun, pada tahap awal Revolusi Kebudayaan, kritikus Maois melakukan ofensif politik dan mengecam film tersebut sebagai "gulma beracun" yang memfitnah orang-orang China.

Saya menyaksikan sejumlah adegan menarik dari film ini yang mencerminkan smeangat patrotik orang Tiongkok-bahkan orang tua-melawan kesewenangan Inggris, hingga pemecatan terhadapan Lin Zexu. Adegan pertempuran kolosal di pantai cukup menawan untuk teknologi yang dimilik senias Tiongkok masa itu.

Polandia juga menghadirkan film berkualitas berjudul "Pasazera" (penumpang) produksi 1963. Film yang disutradarai oleh Andrzej Munk menggunakan bentuk film dokumenter, menceritakan pengalaman seorang perwira SS perempuan (diperankan oleh Aleksandra lska) yang bertugas di kamp konsentrasi Auschwitz selama Perang Dunia II, serta hubungannya dengan seorang tahanan politik Polandia, Marta (diperankan oleh Anna Ciepielewska), yang hidupnya ia selamatkan sesekali. 

Film ini mendapat salah satu penghargaan dalam Festival Cannes 1964. Sutradara film ini meninggal dalam kecelakaan mobil ketika sedang produksi, tetapi tetap dilanjutkan. Film ini dianggap sebagai New Wave Polandia, yang mendahului orang-orang dari Perancis, Jerman, Inggris.

Kritikus Jim Lim mengungkapkan film yang mewakili Korea Utara yang paling menjemukan dan paling kemah. Hongaria diwakili film tentang masalah pelaksanaan landreform berjudul "Korhinta" (1956). Film ini bercerita tentang seorang gadis petani muda sederhana Mari Pataki. Ayahnya melarang dia melihat pria yang dia cintai.

Sang ayah, terutama disibukkan oleh pekerjaan di ladang dan kekayaan prospektif, memutuskan untuk memberikan putrinya menikah dengan seorang lelaki tua tetapi kaya dengan siapa dia melakukan bisnis. Tanah menikahi tanah, katanya.

Ini tampaknya menjadi aturan keras dari kaum tani Hungaria. Namun kekasih muda ini siap menghadapi segala tantangan untuk menjaga cinta mereka. Jelas film ini mengkritik tuan tanah.

Film Perjalanan Sukarno ke Hongaria dan Pakistan juga menjadi film yang diputar sebagai selingan.

Pada September 1964 pemboikotan film AS mencapai puncaknya. Menteri Luar Negeri Subandrio mengatakan aksi boikot film mempunyai banyak aspek positif di dalam pelaksanaan revolusi Indonesia ketika dia menerima delegasi pemboikotan film AS terdiri dari sembilan orang, di antaranya Bachtiar Siagian dan Nyonya Utami Surjadarma (tokoh komunike Film Asia Afrika).

Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) sendiri dibentuk pada 8 Mei 1964 tak lama sesudah penyelenggaraan Festival Film Asia Afrika.

"Bintang Ketjil" Bersinar
Bagaimana dengan film Indonesia yang diputar di Kota Bandung? Pada 1964 sebuah film berjudul "Bintang Ketjil" yang disutradarai oleh Wim Umboh dan Misbach Jusa Biran mendapat apresiasi luas.

Film ini bercerita tentang dua anak, Maria dan Suzy menjelajah ke kebun binatang seorang diri setelah janji orang tua mereka untuk membawa mereka tidak pernah terpenuhi.

Dalam petualangan mereka, mereka bertemu dengan seorang anak penyemir sepatu dan seorang mantan guru eksentrik yang membawa mereka ke tempat-tempat yang penuh dengan musik dan kegembiraan.

Menurut ulasan Kritikus Jim Lim di Pikiran Rakjat, pada pertengahan Februari 1964 film ini dapat dinikmati semua umur, tidak kekanak-kanakan untuk orang dewasa dan tidak pandir untuk anak-anak. Film humor satir yang realistis.

Djelas sekali maksudnja Nana berdjalan seakan bitjara sendiri, tapi ditudjukan kepada dua kawannja jang sedang bersembunji, lalu seorang jang menjaksikan ini nejletuk: Eh, ketjil-ketjil kok sudah gila! Atau tingkag laku seorang njonja kaja jang lari ke salon ketjantikan karena pipinja ada bintik merah digigit njamuk dan snag guru wanita jang rambutnjya disasak dan badjunja ketat seperti ketupat....

"Bintang Ketjil" memperkenalkan tiga pendatang baru, Nana Awaludin, Maria Lisa dan Susi Mambo. panorama dalam film menampakkan kondisi lama di beberapa tempat di Jakarta seperti SD Meksiko di Kebayoran, Taman Suropati, dan Bundaran HI.

Film ini mengambil lagu "Bintang Kecil" karya Pak Dal sebagai soundtrack-nya. Bahkan ada penampilan Koes Bersaudara.

Sebetulnya dengan berkurang bahkan tidak ada lagi film Amerika Serikat, terutama sejak September 1964 merupakan kesmepatan bagi film Indonesia mengisi layar bioskop. Sayangnya film Indonesia tidak bisa memenuhi target pasar, baik secara produksi maupun distribusi.

Dampak yang paling terasa dari pemboikotan tersebut adalah dalam bidang ekonomi. Banyak bioskop yang merugi dan terpaksa mengurangi beban perusahaan dengan memangkas jumlah karyawan (PHK). Bioskop kehilangan para penikmat film-film Hollywood dan film-film Indonesia belum mampu menunjukan eksistensinya (Evanny, 2019).

Irvan Sjafari

Sumber:
- Pikiran Rakjat 18 Februari 1964, 20 April 1964, 25 April 1964, 27 April 1965, 9 Juli 1964, 14 September 1964, 16 September 1964, 18 September 1964, 23 September 1964, 25 September 1964
- Anwar, Rosihan, "Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965", Jakarta : Sinar Harapan, 1980
- Evanny, Shafira "Pemboikotan Film Barat Pada Masa Sukarno" dalam Jurnal Hitsma, 27 Januari 2019. https://histma.id/2019/01/27/pemboikotan-film-barat-pada-masa-soekarno/ diakses pada 31 Agustus 2019.
- Greg de Cuir, JR, "Partisan 'Realism': Representations of Wartime Past and State-Building Future in the Cinema of Socialist Yugoslavia" dalam http://framescinemajournal.com/article/1421/ diakses pada 25 Agustus 2019.
- Isnaeni, Hendri F, "Boikot Film" dalam https://historia.id/politik/articles/boikot-film-P4GVv diakses pada 28 Agustus 2019
- https://saigoneer.com/saigon-music-art/546-history-of-vietnamese-cinema-1898-1995 diakses pada 25 Agustus 2019.
- Paul G. Pickowicz, University of California, San Diego "Lin Zexu, Maoism and the Great Leap Forward" dalam http://aas2.asian-studies.org/absts/2000abst/China/C-127.htm diakses 27 Agustu 2019
- http://movingworldreview.blogspot.com/2008/04/pasazerka-passenger-1963.html diakses pada 27 Agustus 2019.
- https://bengkuluekspress.com/kisah-satu-babak-perfilman-indonesia/ diakses 28 Agustus 2019
- https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/12/19/indonesia-akan-dapat-melihat-kembali-film-bintang-ketjil-1963 diakses pada 28 Agustus 2019
- https://www.calvertjournal.com/articles/show/8827/yuliya-solntseva-revisiting-soviet-union-forgotten-female-auteur diakses pada 31 Agustus 1964

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun