Pada September 1964 pemboikotan film AS mencapai puncaknya. Menteri Luar Negeri Subandrio mengatakan aksi boikot film mempunyai banyak aspek positif di dalam pelaksanaan revolusi Indonesia ketika dia menerima delegasi pemboikotan film AS terdiri dari sembilan orang, di antaranya Bachtiar Siagian dan Nyonya Utami Surjadarma (tokoh komunike Film Asia Afrika).
Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) sendiri dibentuk pada 8 Mei 1964 tak lama sesudah penyelenggaraan Festival Film Asia Afrika.
"Bintang Ketjil" Bersinar
Bagaimana dengan film Indonesia yang diputar di Kota Bandung? Pada 1964 sebuah film berjudul "Bintang Ketjil" yang disutradarai oleh Wim Umboh dan Misbach Jusa Biran mendapat apresiasi luas.
Film ini bercerita tentang dua anak, Maria dan Suzy menjelajah ke kebun binatang seorang diri setelah janji orang tua mereka untuk membawa mereka tidak pernah terpenuhi.
Dalam petualangan mereka, mereka bertemu dengan seorang anak penyemir sepatu dan seorang mantan guru eksentrik yang membawa mereka ke tempat-tempat yang penuh dengan musik dan kegembiraan.
Menurut ulasan Kritikus Jim Lim di Pikiran Rakjat, pada pertengahan Februari 1964 film ini dapat dinikmati semua umur, tidak kekanak-kanakan untuk orang dewasa dan tidak pandir untuk anak-anak. Film humor satir yang realistis.
Djelas sekali maksudnja Nana berdjalan seakan bitjara sendiri, tapi ditudjukan kepada dua kawannja jang sedang bersembunji, lalu seorang jang menjaksikan ini nejletuk: Eh, ketjil-ketjil kok sudah gila! Atau tingkag laku seorang njonja kaja jang lari ke salon ketjantikan karena pipinja ada bintik merah digigit njamuk dan snag guru wanita jang rambutnjya disasak dan badjunja ketat seperti ketupat....
"Bintang Ketjil" memperkenalkan tiga pendatang baru, Nana Awaludin, Maria Lisa dan Susi Mambo. panorama dalam film menampakkan kondisi lama di beberapa tempat di Jakarta seperti SD Meksiko di Kebayoran, Taman Suropati, dan Bundaran HI.
Film ini mengambil lagu "Bintang Kecil" karya Pak Dal sebagai soundtrack-nya. Bahkan ada penampilan Koes Bersaudara.
Sebetulnya dengan berkurang bahkan tidak ada lagi film Amerika Serikat, terutama sejak September 1964 merupakan kesmepatan bagi film Indonesia mengisi layar bioskop. Sayangnya film Indonesia tidak bisa memenuhi target pasar, baik secara produksi maupun distribusi.
Dampak yang paling terasa dari pemboikotan tersebut adalah dalam bidang ekonomi. Banyak bioskop yang merugi dan terpaksa mengurangi beban perusahaan dengan memangkas jumlah karyawan (PHK). Bioskop kehilangan para penikmat film-film Hollywood dan film-film Indonesia belum mampu menunjukan eksistensinya (Evanny, 2019).