Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

(Bandung 1964) Perempuan: Emansipasi, Dunia Kriminal, dan Mode The Beatles

11 Juli 2019   16:18 Diperbarui: 14 Juli 2019   17:56 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan era 1960-an-Foto: Byron Muse.

Memasuki pertengahan 1960-an emansipasi perempuan di perkotaan Indonesia bergerak lebih maju dibandingkan pada awal republik, apalagi dibandingkan masa Hindia Belanda. Jika dulu Kartini, juga tokoh emansipasi lainnya Dewi Sartika, Rohana Kudus mendorong kesempatan perempuan mengakses pendidikan dasar yang masih langka. 

Sementara pada 1950-an perempuan yang memasuki bangku SMA atau setingkat bukan hal langka lagi, setidaknya di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta.  Selanjutnya pada 1960-an akses sampai ke perguruan tinggi  menjadi  keniscayaan.  

Alex Rumondor dalam sebuah artikelnnya di Pikiran Rakjat menyebut sejak ITB dideklarasikan pada 1959 dalam lima tahun sudah dicetak 172 sarjana perempuan dari sekitar dua ribu sarjana (1).  Walaupun rasionya masih cukup jomplang kurang dari sepuluh persen.

Sebagai catatan jumlah mahasiswa yang kuliah di Bandung  dari 10 perguruan tinggi, 4 institut dan 14 setara akademi lebih dari 30 ribu, maka jumlah sarjana perempuan diasumsikan menembus angka ribuan (2).

Persoalan pertama timbul, baiklah sarjana perempuan tidak bisa dibendung lagi.  Timbul pertanyaan klasik dan sebetulnya nyinyir: tugas rumah tangganya bagaimana. Telat menikah (apalagi tidak menikah) masih jadi tanda tanya di era itu,  tetapi jika menikah  untuk berkarir  dianggap melanggar kodrat (pada masa itu belum digugat kodrat itu seperti apa).

Oemiarti Oesman dalam tulisannya  "Wanita dalam Kesarjanaannya: Bukti Adanya Aibility Wanita" (3) mengatakan tiga hal yang akan dilakukan wanita (tidak memakai kata perempuan) setelah meraih gelar sarjananya dan memilih rumah tangga.

  1.  Wanita dapat menuaikan semua keaktifan dengan tidak mengurangi tanggungjawab terhadap keluarga
  2. Terpaksa mengalihkan perhatiannya kepada masalah rumah tangga karena anak-anaknya masih kecil, walau keadaan eknomi kurang, tidak dapat mempraktikan keilmuannya
  3. 100 persen mengabadikan diri ke dalam soal rumah tangga dan menganggap sarjana simbolis belaka.

Tetapi perempuan yang bekerja semakin banyak di Bandung, setidaknya dalam lapangan hospitality (pelayanan dengan keramahan) walaupun bidangnya strategis. Ibu saya bekerja di Apotek Maya, Jalan Wastu Kencana pada 1964 bercerita dari tujuh asisten apoteker, enam di antaranya perempuan.  Kepala apoteker laki-laki.  Hal ini juga terjadi pada  semua apotek di Kota Bandung (4).

Persoalannya  ketika perempuan yang sudah berumah tangga juga bekerja bagaimana dengan anak-anaknya?  Yayasan Beribu di Kota Bandung menjawab hal itu dengan mendirikan Tempat Penitipan Anak  di Jalan Cipaganti 107 pada Januari 1964.

Terobosan ini merupakan yang pertama di Kota Bandung  disebut sebagai upaya mengimbangi modernisasi dalam masyarakat waktu itu.  Kepala Bagian Pengajaran Yayasan Beribu Marry Effendi Saleh mengatakan:

"Banyak ibu-ibu dewasa ini yang terpaksa harus meninggalkan rumah untuk menopang ekonomi rumah tangganya dan sebagai akibat tercapainya emansipasi." (5)

Sekalipun Tempat Penitipan Anak itu hanya dapat menampung paling banyak dua puluh anak, namun sudah didukung delapan pengasuh yang sudah terdidik, pemeirka kesehatan, serta menu susu dan air jeruk untuk anak-anak.  Biaya penitipan Rp250 per hari (jam 7.30 hingga 14.00).  Hadir dalam pembukaan isteri gubenur, Ny Mashudi dan Emma Soemanegara.

Paradoks: Perempuan di Dunia Kriminal dan Pelacuran
Dari segi partisipasi perempuan, Bandung  pada pertengahan 1960-an juga menyimpan paradoks. Keterlibatan perempuan dalam dunia kriminal menjadi mencolok pada 1964 dengan modus "keperempuanannya" dijadikan senjata utamanya. Sekalipun angkanya kecil, tetapi kualitas aksi mereka mengejutkan warga kota.

Repro Pikiran Rakjat-Foto: Audivisual Perpustakaan Nasional
Repro Pikiran Rakjat-Foto: Audivisual Perpustakaan Nasional
Pada Februari 1964  Kepolisian Kota Besar Kota Bandung menggelar operasi tutup saku untuk menangkal kriminal menjelang Hari Raya Idul Fitri. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, sebanyak lima puluh pencopet ditangkap, jumlahnya kemudian meningkat menjadi delapan puluh orang.

Namun yang mmebuat gempar Kota Bandung ialah, sepuluh di antaranya perempuan.  Mereka tertangkap basah mencopet di Jalan ABC, Pasarbaru dan Jalan Asia Afrika.   Mereka lebih lihai dibandingkan para prianya dan dalam pemeriksaan yang berwajib anggota kepolisian kewalahan menghadapinya.

Mereka tak jarang berparas cantik, lincah dan ada pula yang lembut, keibuan, dengan tangan yang lincah (6)

Modus operandinya apabila korbannya perempuan, mereka berpura-pura seperti teman lama yang telah terpisah sejak lama, merangkul hingga korban tidak menyadari barang berharganya hilang. Sementara apabila sasarannya laki-laki, mereka menggunakan cara romantis dan rayuan.

Yang lebih mengejutkan ada yang menggunakan anak kecil yang pura-pura minta sedekah dan korbannya menjadi lengah dan tidak menyadari sudah digerayangi.  Itu sebabnya dalam Operasi Tutup Saku ada anak kecil yang ikut terjaring.

Para pelaku datang dari luar Kota Bandung. Di antara mereka terdapat L bin R, berusia 35 tahun.  Tertangkap basah mencopet gelang dua hari menjelang lebaran di Pasarbaru.  Perempuan ini mengaku datang dari Ceper, Klaten, Jawa Tengah. 

Mulanya ia berdagang telur di kotanya, namun kehabisan modal karena melahirkan anak keduanya.  Dia sendiri sudah punya anak usia 13 tahun  dan duduk di bangku SD. Dia berhutang Rp40 ribu dan menjual rumahnya. Kemudian mengadu nasib ke Bandung dan baru empat hari tertangkap karena menjambret di Pasarbaru.

Anehnya, ketika dia berhasil menjambret gelang kebingungan mencari jalan lari dan mengembalikannya ke pemiliknya. Akibatnya dia mendapat pukulan dari orang-orang di pasar dan diserahkan ke polisi.

Kepolisian meragukan bahwa para pencopet perempuan itu datang ke Bandung, tidak punya famili dan mencari kerja. Polisi menduga para perempuan itu memang keahlian mencopet. Yang lebih menakjubkan lagi perempuan itu dalam memberikan jawabannya begitu tenang.

Kejahatan yang melibatkan perempuan juga dilaporkan terjadi awal 1964.  Perempuan menjadi pelacur dijadikan umpan menjebak laki-laki kaya dan kemudian diperas oleh satu kawanan.  Pada Maret 1964 seorang perempuan pelacur ditangkap Kepolisian Kotabesar Bandung, setelah ada laporan dari korban bernama O bin M yang diperas oleh dua orang berseragam hijau sehabis berkencan dengan seorang pelacur (7).

Pada Juli 1964  Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis tiga tahun penjara pada Nyi Up (42 tahun) yang menjual kehormatan anak pungutnya  yang masih di bawah umur. Dalam sidang terungkap pada Maret 1964 Nyi Up sehari-hari bekerja sebagai  germo  di Tegallega. 

Dia telah menawarkan kepada "tetangganya" seorang gadis Nyi O usia 14 tahun dan Nyi Ad usia 16 tahun, kepada seorang Tionghoa  OAE (54 tahun) setelah berapa hari dibeli juga Rp10 ribu untuk iseng,,  O diangkat anak waktu umur 9 tahun dan ketika umur 13 tahun menyerahkan kehormatan pada OAE.  

Nyi O mendapat Rp30 ribu dari OAE, namun dia hanya dapat Rp1000.  Diserahkan pada UD Rp10 ribu.  Tragisnya motif nya bukan karena terdesak ekonomi.  Nyi Up mengaku menjual anak angkatnya  hanya untuk hidup senang (8).

Nyi Up tidak sendirian.  Sejumlah pelacur yang tertangkap dalam razia pada Agustus 1964  mengaku ingin hidup mewah.   Ajun Inspektur Satu Sobana, Kepala Bagian Susila Kotabesar Bandung  menuturkan Triwulan pertama tahun 1964 tercatat 1,338 wanita pelacur dan 396 germo, 210 calo, triwulan kedua 1,470 wanita pelacur, 406 germo dan 240 calo.  Mereka berasal dari Kabupaten Cirebon, Cikadang, Panyosongan (9)

Kepolisian Kota Besar Bandung  juga kesulitan mengungkap berapa data sebetulnya.  Pada Maret 1964 Sobana menyebut hanya 405 orang.  Itu menurun dibandingkan Februari 1964 sebanyak 464 orang. 

Wanita pelacur itu tidak mau melapor bila datang dan pergi dari kota Bandung (10).

Di sisi lain salah satu sebab semakin bertambahnya pelacuran yang terjadi di daerah Kotapraja Bandung  kurangnya hiburan segar dan murah bagi masyarakat.  Fasilitas untuk melakukan pelacuran terlalu besar dan tempatnya mudah dicari.  Dengan demikian akses ke tempat pelacuran begitu mudah (11).

Yang menyedihkan tidak jarang di tempat pelacuran tinggal anak kecil.  Tumbuh dan berkembang di kawasan ini membawa dampak buruk bagi anak-anak. 

Untuk  mengurangi larinya orang mencari hiburan ke tempat pelacuran, sebagian penduduk Tegallega pada pertengahan September 1964 berencana mengadakan hiburan murah, pertunjukan kesenian terbuka, malam hari. 

Kekhawatiran dampak pelacuran terbukti pada awal Oktober 1964 ketika kerusuhan di Tempat Pelacuran Kalipah Apo, Astanaanyar, antara sekelompok pengunjung dari kalangan (oknum) tentara dengan dua orang pemuda karena hal yang sepele, saling lihat.  Kerusuhan  menyebabkan seorang hansip dan seorang pemuda terluka. Pihak Polisi Militer menangkap delapan orang perusuh (12).

Tingkat kriminalitas yang tinggi  yang juga melibatkan perempuan,  bisa  jadi membuat warga Bandung menjadi "paranoid".  Pada pertengahan September 1964, seorang gadis berumur 12 tahun meringkuk di kantor polisi dituduh mencoba menculik seorang gadis 5 tahun

Gadis bernama Nyi Kom, 12 tahun membawa seorang bocah bernama  Nyi imas, berumur lima tahun di Jalan Tegallega. Kepergok orangtuanya  dan dibawa ke kantor polisi.  Kom mengaku tidak melakukan penculikan melainkan senang bermain dengan anak kecil.  Kom kemudian diketahui seorang pembantu rumah tangga di Ciateul, Bandung (13).  

Angka Perceraian

Rilis angka perceraian di Kota Bandung  oleh Kantor Urusa Agama Bandung menggambarkan kehidupan perempuan di suatu sisi juga suram.  Selama 1963 angka pernikahan di Kota Bandung  mencapai 12.772 naik jumlahnya dari 1962 sebanyak 10.710.  Namun angka talak atau cerai juga meningkat dari 5.978 pada 1962 menjadi 6.495 pada 1963.  Jumlah yang talak artinya mencapai 50 persen dari angka pernikahan. 

Namun yang pernikahan  dilaporkan banyak terjadi di kalangan janda  yang berusia 25 tahun ke atas  sebanyak 4.361 atau lebih dari 30 persen dari mereka yang menikah.  Janda dianggap lebih matang dan siap menikah.  Fakta lain dari rilis itu menyebutkan,  poligami juga menurun pada 1962 sebanyak 998 menjadi 974 kasus (14).

Masih berkaitan dengan pernikahan, masalah perkawinan anak-anak di bawah umur masih menjadi perdebatan.  Kepala Inspeksi Pendidikan Daerah tingkat I Jawa Barat Engkoen Soebari paad Februari 1964 menerima laporan dari para kepala Sekolah Dasar yang muridnya berhenti karena dinikahkan oleh orangtuanya. 

Motif pertama didorong  oleh tradisi hidup yang sudah lama untuk mengawinkan anak agdisnya cepat-cepat karena takut disebut memelihara perawan tua. Kedua, pengertian orangtua mengenai kehidupan keluarga di desa-desa masih rendah dan ini ada hubungannya dengan masalah pendidikan orang tua (15)

Pemerintah Melawan Mode (Perempuan)
Pada 1964 Presiden Sukarno menyerukan bahwa mode pakaian yang digunakan perempuan saat itu seperti mengenakan rok span (mini dan ketat), hingga mode rambut sasak yang lazim disebut beate tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.  Larangan ini menyusul ketidaksukaannya terhadap musik barat.

Ilustrasi perempuan era 1960-an-Foto: Byron Muse.
Ilustrasi perempuan era 1960-an-Foto: Byron Muse.
Ayu Pertiwi dari Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya mengungkapkan, Soekarno mendapatkan informasi tentang kenakalan remaja di negara Eropa Barat dipicu oleh musik gila-gilaan yang disebutnya  dibawakan The Beatles.  Musik rock n roll adalah bagian yang dinamakannya imprealisme kebudayaan (16).

Bukan hanya musiknya Sukarno menyatakan ketidaksukaannya terhadap mode rambut sasak-sasakan atau kebatle-an. Akhirnya juga dansa twist dan mode pakaian seperti memakai celana cowboy dan rok mini span dan gaun ketat. Pada akhirnya Sukarno mengkomandokan dan mengganyang musik gila-gilaan hingga mode pakaian.

Trisno Juwono dalam kolomnya pada awal 1964 menyintil pemakaian rok dan gaun  sebagai pertentangan dua generasi. Generasi tua diwakili Mang Brata mengatakan: merusak selera  dan kepribadian bangsa, tidak sesuai dengan sopan santun dan adat istiadat Indonesia, yang berpakaian rapat sejak dulu.

Sementara generasi muda diwakili tokoh Ipin mengatakan memakai rok adalah mode. Yang lama bisa menjadi baru dan yang baru nantinya akan menjadi lama. Jadi mengapa harus dipertentangankan?

Tokoh lain Itjih menuding perempuan yang memakai rok menjadi lebih murah, menampilkan sex appeal, seakan-akan daya  menarik dari segi itu saja yang dikembangkan (17).

Tentu saja tudingan dan sebetulnya larangan ini menjadi bahan pembicaraan di kalangan orang terdidik, terutama mahasiswa. Male Maria Jahja dari Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia Bandung mengakui mahasiswi (perempuan)  menyukai mode, ada yang biasa, ada yang old fashion namun ada juga yang mengikuti mode kekinian. Dia menyatakan mahasiswi sebaiknya  memakai pakaian sesuai dengan tempatnya, untuk kuliah sebaiknya biasa saja.

"Pakain untuk kuliah sebaiknya yang sederhana saja dengan warna dan motif yang  tidak mencolok, potongan yang cukup sopan dan bahan yang ekonomis. Misalnya, pakaian yang tangannya tertutup, memakai kraag dan panjangnya sampai ke lutut." (18)

Reaksi dari mahasiswa terutama yang mendukung Sukarno cukup keras. Pada September 1964 mereka merazia salon-salon dan menemplekan pamflet: ganyang sasak.  Hasilnya? Memang perempuan yang mengguakan rambut sasak jarang tampil di jarang, tetapi masih ada menggunakannya secara geriliya di rumah-rumah dengan tenaga ahli kecantikan atau perias salon yang didatangkan (19).

Hal yang serupa terjadi pada dansa twist. Majalah Merdeka juga melaporkan dansa twist masih merajalela di pesta kaul kaum pelajar (pesta lulus ujian dari SMA)  di rumah-rumah, bukan di tempat umum. Majalah itu juga mengecam masih banyaknya perempuan muda ang mengenakan rok span menggoda mata iseng laki-laki dan rambut sasak, padahal sudah dilarang Sukarno (20).

Upaya Sukarno membuat counter culture dengan menjadikan tari lenso atau tari serampang dua belas untuk menggantikan dan dansa twist tampaknya hanya berhasil sementara.  Sukarno tampaknya tidak menyadari bahwa pelajar dan mahasiswi pada pertengahan 1960-an adalah generasi yang kecil pada era 1940-an bahkan lahir setelah 1945.

Generasi ini tidak mengalami secara langsung masa revolusi fisik, apalagi era kebangkitan nasional. Generasi ini menonton film-film Barat ketika masih remaja dengan bebas pada 1950-an hingga menyerap gaya dan mode artis Barat Elvis Preasley, teh Beatles, Connie Francis.

Kebijakan Kebudayaan hanya sekadar himbauan dan gerakan tari lenso dan tari serampang dua belas  tidak mengikuti selera anak muda, tetapi lebih pada selera generasinya. Bukanya membangun kebudayaan populer Indonesia dengan terstruktur (bahkan sampai sekarang). 

Dengan demikian semangat pengganyangan terhadap imprealisme Barat dilakukan secara tanggung. Sementara anak muda yang mengakses informasi melalui bahan bacaan juga semakin banyak, termasuk juga kaum perempuan.  

  

Irvan Sjafari

Catatan Kaki:

  1. Alex Rumondor, "Satu Warsa ITB" dalam Pikiran Rakjat, 1 Maret 1964.
  2. Data diambil  dari Sejarah Perkembangan Pembangunan Djawa Barat Tahun 1945-1964, terbitan koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat I Djawa Barat, 1965
  3. Pikiran Rakjat, 15 September 1965
  4. Keterangan dari Ibu saya (Anny Zulchatry) 10 Juli 2019 tentang apotek Maya. Dia cerita laki-lakinya banyak kerja di Pabrik Kina. Dulu obat dibuat segera setelah resep dan tidak dimasukan ke kapsul, tetapi di kertas khusus yang namanya puyer. Saya juga mengalami hal ini pada 1970-an.
  5. Pikiran Rakjat, 9 Januari 1964
  6. Pikiran Rakjat, 23 Februari 1964
  7. Pikiran Rakjat,  12 Maret 1964
  8. Pikiran Rakjat,  7 Juli 1964
  9. Pikiran Rakjat, 20 Agustus 1964
  10. Pikiran Rakjat, 13 Maret 1964
  11. Pikiran Rakjat,  17 September 1964
  12. Pikiran Rakjat,  3 Oktober 1964
  13. Pikiran Rakjat,  19 September 1964
  14. Pikiran Rakjat,  23 Januari 1964
  15. Pikiran Rakjat, 10 Februari 1964
  16. Ayu Pertiwi "Larangan Soekarno Terhadap Musik Barat Tahun 1959-1967" dalam Jurnal Avatara, Volume 2, Nomor 3, Oktober 2014
  17. Trisna Juwono, "Todongan Malam Minggu: Rok dan Gaun" dalam Pikiran Rakjat, 18 Januari 1964
  18. Male Maria Jahja dalam tulisannya "Mahasiswi dan Mode: Bagaimana Pakaian Kuliah?" dalam Pikiran Rakjat, 11 Agustus 1964
  19. Pikiran Rakjat, 27 September 1964
  20. Majalah Merdeka, nomor 30/31 25Juli -1 Agustus 1964 dan Nomor 33, 15 Agustus 1964

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun