Memasuki pertengahan 1960-an emansipasi perempuan di perkotaan Indonesia bergerak lebih maju dibandingkan pada awal republik, apalagi dibandingkan masa Hindia Belanda. Jika dulu Kartini, juga tokoh emansipasi lainnya Dewi Sartika, Rohana Kudus mendorong kesempatan perempuan mengakses pendidikan dasar yang masih langka.Â
Sementara pada 1950-an perempuan yang memasuki bangku SMA atau setingkat bukan hal langka lagi, setidaknya di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta.  Selanjutnya pada 1960-an akses sampai ke perguruan tinggi  menjadi  keniscayaan. Â
Alex Rumondor dalam sebuah artikelnnya di Pikiran Rakjat menyebut sejak ITB dideklarasikan pada 1959 dalam lima tahun sudah dicetak 172 sarjana perempuan dari sekitar dua ribu sarjana (1). Â Walaupun rasionya masih cukup jomplang kurang dari sepuluh persen.
Sebagai catatan jumlah mahasiswa yang kuliah di Bandung  dari 10 perguruan tinggi, 4 institut dan 14 setara akademi lebih dari 30 ribu, maka jumlah sarjana perempuan diasumsikan menembus angka ribuan (2).
Persoalan pertama timbul, baiklah sarjana perempuan tidak bisa dibendung lagi.  Timbul pertanyaan klasik dan sebetulnya nyinyir: tugas rumah tangganya bagaimana. Telat menikah (apalagi tidak menikah) masih jadi tanda tanya di era itu,  tetapi jika menikah  untuk berkarir  dianggap melanggar kodrat (pada masa itu belum digugat kodrat itu seperti apa).
Oemiarti Oesman dalam tulisannya  "Wanita dalam Kesarjanaannya: Bukti Adanya Aibility Wanita" (3) mengatakan tiga hal yang akan dilakukan wanita (tidak memakai kata perempuan) setelah meraih gelar sarjananya dan memilih rumah tangga.
- Â Wanita dapat menuaikan semua keaktifan dengan tidak mengurangi tanggungjawab terhadap keluarga
- Terpaksa mengalihkan perhatiannya kepada masalah rumah tangga karena anak-anaknya masih kecil, walau keadaan eknomi kurang, tidak dapat mempraktikan keilmuannya
- 100 persen mengabadikan diri ke dalam soal rumah tangga dan menganggap sarjana simbolis belaka.
Tetapi perempuan yang bekerja semakin banyak di Bandung, setidaknya dalam lapangan hospitality (pelayanan dengan keramahan) walaupun bidangnya strategis. Ibu saya bekerja di Apotek Maya, Jalan Wastu Kencana pada 1964 bercerita dari tujuh asisten apoteker, enam di antaranya perempuan.  Kepala apoteker laki-laki.  Hal ini juga terjadi pada  semua apotek di Kota Bandung (4).
Persoalannya  ketika perempuan yang sudah berumah tangga juga bekerja bagaimana dengan anak-anaknya?  Yayasan Beribu di Kota Bandung menjawab hal itu dengan mendirikan Tempat Penitipan Anak  di Jalan Cipaganti 107 pada Januari 1964.
Terobosan ini merupakan yang pertama di Kota Bandung  disebut sebagai upaya mengimbangi modernisasi dalam masyarakat waktu itu.  Kepala Bagian Pengajaran Yayasan Beribu Marry Effendi Saleh mengatakan:
"Banyak ibu-ibu dewasa ini yang terpaksa harus meninggalkan rumah untuk menopang ekonomi rumah tangganya dan sebagai akibat tercapainya emansipasi." (5)
Sekalipun Tempat Penitipan Anak itu hanya dapat menampung paling banyak dua puluh anak, namun sudah didukung delapan pengasuh yang sudah terdidik, pemeirka kesehatan, serta menu susu dan air jeruk untuk anak-anak. Â Biaya penitipan Rp250 per hari (jam 7.30 hingga 14.00). Â Hadir dalam pembukaan isteri gubenur, Ny Mashudi dan Emma Soemanegara.