Gelora  Saparua, Bandung malam hari pada 10 April 1964 dipenuhi penonton untuk menyaksikan acara yang disebut "Malam Gitar ITB", karena memang diselenggarakan oleh mahasiwa kampus Ganesha itu.  Kegiatan pertunjukan amal tersebut tidak saja ditujukan pada keluarga mahasiswa ITB tetapi juga untuk umum menghadirkan  bintang lawak Iskak dan Bagio, hingga Band Aneka, band dengan  sejumlah personilnya merupakan mahasiswa ITB, juga menampilkan bakat musik yang ada di kalangan mahasiswa.
Untuk pertama kali di Bandung , dalam sebuah pertunjukan musik, penampilkan 52 orang gitaris dari kalangan mahasiswa berbagai jurusan. Pimpinannya adalah Klien, memadukan para gitaris berbagai jenis mulai dari yang murah dan mahal. Mereka disusundalam empat kelompok suara I terdiri 12 gitaris, Suara II Â hanya satu gitar, Suara III Â sebanyak 6 gitar, Suara IV sebanyak 6 gitar dan sisanya gitar pengiring. Meskipun penutur pengamat musik masa itu Eddy HS hanya tiga lagu yang terdengar accord gitarnya, yaitu Mangle, Kembang Tanjung dan Adios (1)
Dua lagu itu merupakan lagu gubahan Mang Koko, Seniman Lagu Sunda masa itu dan satu lagi lagu Spanyol. Pilihan lagu itu menarik menggambarkan hibrida budaya populer di kalangan orang terdidik, sekalipun menyerap budaya populer dari Barat, tetapi ada yang berupaya mempertahankan identitas kultural.
Kegiatan kesenian menjadi salah satu  aktivitas yang mencolok dilakukan para mahasiswa berbagai perguruan tinggi pada 1960-an. Kegiatan Malam Gitar ITB  menyusul kegiatan sebangun yang bertajuk "Seribu Iseng" yang dilakukan IKIP Bandung beberapa waktu sebelumnya.
Selama semester pertama 1964 beberapa perguruan tinggi besar menggelar kegiatan kesenian, Universitas Parayangan menggelar pertunjukan kesenian di daerah dalam rangka dies natalis kampus itu, di antaranya  Sendratari "Lutung Kasarung" di Sukabumi tanggal 20 dan 22 Mei (2). Universitas Padjadjaran juga menggelar "Bali Charity Night" di Aula Unpad  pada Sabtu,  6 Juni 1964, antara lain mempertunjukan  Upacara Membanten, Tari-tarian Pendet, Baris, Calon Arang, Jangger, Joget bumbung, Tembullilingan (3).
Ini kegiatan kedua di Universitas Padjadjaran. Pada pertengahan April 1964 digelar Pekan Kesenian Mahasiswa. Pada pembukaannya  di aula Unpad pada Sabtu 18 April 1964 Wali Kota Bandung Prijatna Kusumah mengatakan kesenian harus kembali kepada kepribadian kita, bukan berarti kembali kepada alam kesenian primtif. Rupanya pemerintah menyorot minat mahasiswa seni cenderung pada seni yang mengadopsi Barat. Â
Meskipun dalam kesempatan itu Kusnadi Harjdaumantri Ketua Umum Badan Kerja Sama Kesenian Mhahasiswa mengatakan menyiapkan konferensi BKSKMI (Badan Ksenian Mahasiswa Indonesua) yang  akan membicarakan garis-garis yang tegas menjadikan pasukan kesenian mahasiswa untuk dikirim ke Kalimantan Utara atau di mana saja diperlukan  dalam rangka mengganyang Malaysia. Selain itu ada menyelenggaraan perlombaan karikatur mahasiswa menggambarkan pengganyangan proyek Neo Kolonialisme.  Juga perlombaan penulisan cerita pendek (4).
Soe Hok Gie dalam catatan hariannya  yang kemudian dibukukan menjadikan kehidupan mahasiswa menjadi satu bab tersendiri yang diberi tajuk  Buku, Pesta dan Cinta, juga disinggung lirik lagu Genderang UI era itu, bahwa tiga kata itu identik dengan mahasiswa. Hal ini juga dibenarkan Firman Lubis (Lubis, 2008)  yang menyebutkan pesta dansa biasanya dilakukan pada pesta inagurasi setelah masa perpoloncoan.
Dalam pemberitaan surat kabar pada masa itu terkait mahasiswa di Jakarta dan Bandung tiga kata itu kerap saya temukan dan semakin menyolok sejak akhir 1950-an hingga menjelang pertengahan 1960-an.  Pesta di sini bukan saja kegiatan seni dan hiburan  tetapi dansa yang dilakukan di rumah-rumah. Begitu juga di kota Bandung yang notabene populasi mahasiswa terbesar waktu itu .
Sebetulnya acara dansa, di antaranya twist menjadi sorotan pemerintah waktu itu  sebagai hal yang "gila-gilaa".  Tokoh Front Nasional Jawa Barat D Rahman Sainan  pada pertengahan April 1964 meminta Hotel Preanger menghentikan aktivitas tersebut. Permintaan itu dilakukan didahului demonstrasi sekitar 500 pemuda yang menempelkan plakat anti twist di tembok Hotel Preanger pada 13 April 1964. Demontrasi itu dilakukan setelah para tamu melakukan aktivitas dansa twist pada 28 Maret 1964.
"Pihak Direksi hotel sejak lama mengikuti anjuran dan larangan tersebut, namun dari pihak tamu sendiri yang belum ada kesadaran untuk menaati peraturan itu," ujar Kapten R Mohamad Oman Wiriaatmadja, Wakil Direksi Hotel Preanger (5).
Masalah Kejiwaan di Kalangan MahasiswaÂ
Effy HS  dari Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) Bandung  dalam tulisan "Gangguan Sjaraf: Di Kalangan Mahasiswa" dalam Pikiran Rakjat, 31 Maret 1964 mengungkapkan, dari 70 mahasiswa yang datang ke Biro Konsultasi Fakultas Kedokteran Unpad pada enam bulan pertama, mengeluh belajar lekas Lelah. Sekitar 10 persen disebabkan karena tidak sesuai dengan jurusan yang mereka ambil (Fakultas Kedokteran). Lainnya karena kurang dapat menyesuaikan situasi akademik (9 persen), masalah keluarga (16 persen),  hingga gejala neurosis (15%) dan neurosis (8 %) (6)
Kasus neurosis juga ditemukan di Fakultas Pertanian UI di Bogor, dari 700 mahasiswa yang datang berobat diteukan tiga kasus psikosis. Â Begitu juga di Unair, Surabaya, dari 1.400 mahasiswa ditemukan 4 kasus psikosis dan 19 kasus neurosis. Â Sementara lima orang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI mengalami psikolgis setelah menjalani perploncoan.
Di antara mahasiswa Bandung yang dirawat di rumah sakit jiwa Bandung, Cisarua, dan RSUP Bandung dari 1960-1963 terdapat 24 penderita psikosis dan 100 penderita neuropsikosis. Mereka kehilangan keseimbangan emosi yang bisa menyebabkan turunnya prestasi di bidang studi.
Dalam tulisan lain Effy BS juga mengungkapkan banyak faktor yang menyebabkan masalah psikologis bahkan psikiatris yang dihadapi mahasiswa.
- Masalah keluarga, mulai dari sistem pendidikan yang kaku pada masa lampau, situasi keluarga dengan orangtua tidak bahagia, perceraian dan poligami, hingga mahasiswa yang sudah menikah menghadapi tekanan dari orangtua, seperti mereka belum sepenuhnya mencari nafkah.
- Masalah lingkungan seperti culture shock karena perbadaan cukup jauh antara situasi lingkungan sebelumnya dengan situasi yang dihadapi sekarang, kurang tempt rekreasi  agar mereka, mahasiswa bisa bersenang-senang guna mengurangi ketegangan, hingga kurangnya fasilitas bagi mahasiswa untuk menyalurkan masalahnya.
- Masalah studi, seperti pemakaian Bahasa asing pada kuliah dan ujian-ujian atau buku wajib rupanya merepotkan sebagian mahasiswa, peraturan ujian, hubungan yang kurang baik dengan staf pengajar, perbedaan yang sangat jauh antara ambisi atau cita-cita dengan kenyataan.
- Masalah Pemondokan , terbatasnya asrama mahasiswa membuat mereka mencari pemondokan dengan kantong sendiri, tempat pemondoan menumpuk mahasiswa berbagai jurusan yang membuat keberagaman cara berpikir, hingga tempat pemondokan yang kurang baik untuk belajar.
- Masalah keuangan, kesulitan keuangan mahasiswa untuk membeli buku-buku alat tulis dan mahasiswa terpaksa bekerja patuh waktu hingga energi terbagi dengan studi (7)
Masalah melonjaknya harga buku juga diungkapkan kolumnis Tresnajuwana.  Banyaknya penerbit dan toko buku menunjukan bahwa Kota Bandung memang kota pelajar.  Sayangnya, harga buku mengikuti irama menanjaknya harga kebutuhan lain. Harga  buku pelajaran untuk murid sekolah dasar mencapai ratusan rupiah. Apalagi buku-buku untuk perguruan tinggi. Sekalipun pemerintah mengklaim bahwa harga buku di Indonesia, termasuk termurah di dunia.Â
"Yang penting sebenarnya bukan termurah atau banyak sedikitnya, mahal atau murah itu disesuaikan dengan nilai uang.Yang harus dipikirkan terbeli atau tidak oleh rata-rata rakyat Indonesia," ujar Tresna (8).
Konflik CGMI-Dewan Mahasiswa Institut Publitistik Unpad
Pertengahan Mei 1964, Fakultas Publistik Unpad berganti nama menjadi Institut Publististik JP Unpad,  untuk itu Dewan Mahasiswa Institut Publitistik  JP Unpad dilantik Moestopo. Mereka adalah R Roekomy, R Natawinarja, Asikin Martakusumah, Robby Tan dan Soegeng Sarjadi.  Dewan Mahasiswa dari fakultas ini menjadi menonjol pada pertengahan 1964 karena begitu kritis.
Dalam rapat kilat pada 5 Juni, DM Publitistik menyesalkan pernyataan CGMI dan mengatakan justru Moestopo adalah orang yang tegas pendiriannya terhadap Pancasila dan Manipol Usdek, serta ajaran-ajaran Bung Karno. Oleh karena itu DM Publististik mendukung dan mempertahankan R Mostopo dengan segala konsekuensi dari mulai lemah sampai yang keras.
DM Publitistik bahkan mengajukan permohonan kepada Presiden Pemimpin Besar Revolusi  untuk mengonkonfrontasikan  kemurnian dan keaslian Pro Dr Moestopo terhadap Pancasila (9).
Sikap DM Publitistik Unpad mendapat dukungan dari Pengurus besar Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Bandung bahwa Moestopo seorang pejuang kemerdekaan sejak 1945. Moestopo terlibat di BKR dan ikut dalam Perang Kemerdekaan. Moestopo memang memberi kesempatan pada Duta Besar AS Howard Jones memberikan ceramah di Fakultsas Publitistik, tetapi dia juga memberikan kesempatan pada atase pers Hongaria  dan Atase Pers Rusia untuk ikut memberikan kuliah di fakultas itu (10).
Pernyataan PPMI Bandung mendapatkan dukungan dari Ketua-ketua Peregrakan Mhasiswa Islam Indonesia, serikat Mahasiwa Islam Indonesia, Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia, HMI masing-masing tokohnya Mohammad Gozalie, Sualemen Effendi, TO Hasjim dan  P Rahardjo Syukur.  Kelompok mahasiswa ini menyebutkan tuduhan CGMI Cabang Bandung sebagai fitnah (11).
Dukungan lain datang dari Mahasiswa Perminyakan PN Permina  dalam rapatnya menyesalkan sikap CGMI Cabang Bandung yang selalu berusaha memecah belah tenaga-tenaga potesi revolusi dengan memutar balikan hal sebenarnya.
Mayjen Moestopo selalu menandaskan kepada kami agar selalu mengikuti ajaran Pancasila, Manipol, Usdek dengan sebaik-baiknya, tidak hanya dihafal saja, melainkan dipertahankan diamalkan secara keseluruhan Pancasila Seluruh rakyat Indonesia telah menyaksikan pembuktian perjuangan kesetian dan kesanggupan Mayjen Moestopo  terhadap Revolusi Indonesia hingga sekarang.  Mahaisiwa Institut Petroleum PN Pertamina berpendapat snagkaan yang dialncarkan CGMI Bandung tidak benar (12).
Tudingan  kepada Moestopo oleh CGMI memang patut dipertanyakan. Pada kenyataannya  Fakultas (Institut Publististik) lebih banyak menggelar kegiatan yang bernafas patriotisme dari fakultas lain di Universitas Padjadjaran bahkan di antara perguruan tinggi yang ada di Bandung. Semua aktivitas patriotism ini justru  di bawah komando Moestopo. Pada 22 Maret 1964, misalnya Dewan Mahasiswa Publitistik menggelar  Gerak Jalan  yang  dikaitkan dengan Dies Natalis fakultas tersebut.
Start dimulai dari halaman Kotapraja Bandung demikian panjangnya  sehingga ketika ekor barisan masih berada di tempat start, sedangkan kepalanya sudah berada di Jalan Asia Afrika mellaui Jalan Wastu Kencana, Gereja, Suniarja, Lembong, Tamblong, Asia Afrika, kemudan mellaui Jalan Oto Iskandar Di Natam Abdul Muis, Lengkong, Tambong, Lembing, Merdeka dan finish di Kotapraja Bandung.  Peserta berjumlah dua ribu orang terdiri dari 66 barisan. Tercatat barisan Hansip paling banyak diikuti pelajar dan mahasiswa (13).
Prof Dr Mustopo membentuk kekuatan fisik dan persatuan jiwa di kalangan pemuda. Pada Maret ini juga Fakultas Publitistik juga Hansip Fakultas Publitistik mempelopori kegiatan hansip dengan  melakukan latihan militernya yang berlaku bagi mahasiswa tingkat I, II, III danIV di Kompleks Unpad (14).Â
Dengan demikian tudingan CGMI itu lebih bersifat politis karena Moestopo tidak bisa digiring ke kiri dan merupakan pendukung dari Menteri Pendidikan tinggi Thoyib dan daripada Menteri Priyono yang lebih cenderung bisa dikendalikan kaum kiri. Â Selain itu tudingan terhadap Moestopo merupakan ekdua kalinya CGMI dan organisasi ekstra mahasiswa yang beraliran kiri berbenturan dengan Dewan Mahasiswa di lingkungan Unpad setelah peristiwa pemberhentian Mochtar Kusumaatmadja sebagai petinggi Fakultas Hukum Unpad pada 1962. https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/5c050cbe43322f17535e53b7/bandung-1962-pancawarsa-unpad-dan-kasus-mochtar-kusumaatmadja?page=all
Perkembangan Mahasiswa BandungÂ
Pada 1964 jumlah mahasiswa di Bandung semakin bertambah. Universitas Padjadjaran membuka Jurusan Bahasa dan Sastra Jepang terhitung 19 Desember yang lalu dan merupakan bagian dari Fakultas Sastra. Selain itu Unpad membuka pula jurusan Bahasa Rusia yang lama pendidikannya lima tahun pembukaan resmi pada 20 Maret.
Himpunan Mahasiswa Sastra Jepang di Unpad telah terbentuk dengan susunan sebagai berikut Ketua Umum Ahmad Abidin, Ketua I Â dan Ketua II Drajat Sumitadikarta dan Arie Muslichuddin, Sekretraris Tossin Soenardi dan R Adiningsih Badjoeri, Bendahara Nanny Soewarni dan Etti Kurtinah (15).
Arif Novianto dalam tulisannya  menyebutkan ada  1960, sudah ada lebih dari 135 institusi pendidikan tinggi, dengan sekitar 60.000-70.000 siswa. Dia menyebutkan Namun, banyak pengamat telah mencatat bahwa pada 1950 dan awal 1960-an adalah periode ketenangan politik relatif di kampus-kampus, dengan kebanyakan mahasiswa yang hedonistik, elitis, dan apolitis. Meningkatnya jumlah mahasiswa secara tajam banyak diisi oleh kalangan kelas atas, itulah yang membuat idiologi borjuis melekat pada para mahasiswa tersebut. Sedangkan gerakan revolusi nasional yang sudah terbangun dan berjejalin sejak perjuangan kemerdekaan didominasi oleh para pemuda nasionalis dan marxis yang radikal
Berapa jumlah mahasiswa yang ada di Bandung? Dalam buku Sejarah Perkembangan Pembangunan Daerah Jawa Barat  1945-1965 disebutkan sepuluh  perguruan tinggi yang adalah
Universitas Padjajaran  11.503 mahasiswa,  Universitas Katolik Parahyangan sebanyak 4.240 mahasiwa,  Universitas Nahdatul Ulama  700 mahasiswa, Universitas Pasundan sebanyak 747 mahasiswa, Universitas Islam Bandung sebanyak 750 mahasiswa, Universitas 17 Agustus 1945 sebanyak 355 mahasiswa, Universitas Kristen Indonesia 592 mahasiswa, Perguruan Tinggi Kujang (berdiri 1964) 209 mahasiswa, Universitas Kesenian Rakyat 450 mahasiswa, Universitas Sawerading 800 mahasiswa.  Total lebih dari 20 ribu mahasiswa.
Jumlah ini masih ditambah dengan tiga institut perguruan tinggi, yaitu ITB jumlah mahasiswa 4.594, IKIP 2.767 mahasiswa  dan STORA 353 mahasiswa. Total sekitar 7.500 mahasiswa.Â
Selain itu Bandung hinga 1964 sudah mempunyai 14 akademi, di antaranya Akademi Industri Pariwisata berjumlah 397, Akademi Tesktil 385 mahasiswa, Akademi Koperasi 12 Juli sebanyak 324 mahasiswa, Akademi Administrasi Niaga 223 mahasiswa, Sekolah Tinggi Ksejahteraan Sosial 35 mahasiswa, Akademi Adjun Akuntan 200 mahasiswa, Akademi Ilmu Administrasi 80 mahasiswa, Akademi Teknik Pekerjaan Umum 388 mahasiswa, Akademi Jurnalistik Dr Rivai 118 mahasiswa, Akademi Perhotelan Nasional 207 mahasiswa, Akademi Militer Nasional jurusan teknik 107 mahasiswa, Akademi Pos dan telekomunikasi 750 mahasiswa, Akademi Pendidikan Teknik Nasional 435 mahasiswa. Total lebih dari 3 ribu mahasiswa.
Dengan demikian total jumlah mahasiswa yang beredar di Kota Bandung pada 1964 lebih dari 30 ribu atau lebih 3 persen dari populasi kota. Bila dibandingkan dengan data yang diungkapkan Arif, maka nyaris separuh jumlah mahasiswa ada di Bandung. Â
ITB mencatat prestasi dalam Lustrum I pada 1964. Semenjak 1959 perguruan tinggi ini telah menghasilkan sarjana Teknik sebanyak 2.254 dan 172 di antaranya wanita, yang merupakan hasil tertinggi dibandingkan perguruan tinggi lainnya di Indonesia (16).
Menjelang pertengahan 1964 perguruan tinggi di Bandung sudah berkontribusi menyumbang SDM-SDM yang berlimpah dari belasan perguruan tinggi negeri dan swasta di kota itu. ITB berafiliasi bersama departemen pemerintah untuk sejumlah proyek antara lain Proyek Bendungan Baranangsiang, Proyek Jembatan Cisangkui, Proyek Besi Baja Cilegon, pendirian Institut Teknologi di Ambon.
Terlepas dari terfragmentasinya mahasiswa dalam aliran politik-dan banyak yang sebetulnya pragmatis-harus diakui secara potensial dengan jumlah puluhan ribu, mahasiswa di Kota Bandung adalah potensi kekuatan untuk melakukan perubahan. Di sisi lain sekalipun suhu politik di dalam negeri pada pertengahan 1964 semakin meningkat dan semakin kuatnya pengaruh PKI, mahasiswa di Bandung umumnya masih menunjukan dukungannya kepada Sukarno. Â Setidaknya untuk sementara.
Irvan Sjafari
Catatan Kaki:
- Eddy HS "Malam Gitar ITB" dalam Pikiran Rakjat 16 April 1964.
- Pikiran Rakjat, 18 Mei 1964
- Pikiran Rakjat, 2 Juni 1964
- Pikiran Rakjat, Â 20 April 1964
- Pikiran Rakjat, 16 April 1964
- Pikiran Rakjat, 31 Maret 1964
- Pikiran Rakjat, 9 Juni 1964
- Tresnajuwana dalam "Buku Pelajaran" Pikiran Rakjat, Â 16 Mei 1964
- Pikiran Rakjat, 9 Juni 1964
- Pikiran Rakjat, 10 Juni 1964
- Pikiran Rakjat, 11 Juni 1964
- Pikiran Rakjat, Â 12 Juni 1964
- Pikiran Rakjat, Â 23 Maret 1964
- Pikiran Rakjat, 7 Maret 1964
- Pikiran Rakjat, 9 Maret 1964
- Pikiran Rakjat, 7 Maret 1964
Sumber Sekunder.
Lubis, Firman, Jakarta 1960-an: Kenang-kenangan Semasa Mahasiswa, Jakarta: Masup, 2008
Novianto Arif dalam "Pergolakan Gerakan Mahasiswa dan Kritik Terhadap Gerakan Moral" dalam Pramusinto, Agus  dan Purbokusumo , Yuyun, Indonesia Bergerak 2: Mozaik Kebijakan Publik Indonesia 2016, Jakarta: Gramedia, 2016
Sejarah Perkembangan Pembangunan Daerah Djawa Barat Tahun 1945-1965, Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat I Jawa Barat 1965
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H