Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Bandung 1964, Koes Bersaudara dan Melesatnya Musik Populer

29 April 2019   17:36 Diperbarui: 30 April 2019   23:31 2149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Medio April 2019 ini saya menemukan sebuah video klip hitam putih dengan kualitas agak buram berkaitan dengan penampilan Koes Bersaudara dalam sebuah pertunjukan di Jakarta pada 1962. John, Tony, Nomo, Yon dan Yok menyanyikan lagu "Bintang Kecil" yang notabene lagu anak-anak dengan gaya Beatles. 

Penampilan potongan rambut mereka dan penonton yang begitu terpukau menandakan betapa band ini dengan cepat mengambil hati penonton di Jakarta dan kota-kota lain pada masa itu. Usianya mereka tampak belasan tahun.

Begitu populernya band ini pada sehingga suatu ketika dalam penggalangan dana untuk Ganefo yang digelar RRI pada  1963, Koes Bersaudara meminta honor yang tinggi, yaitu sebesar Rp150 ribu. 

Langkah mereka tidak disukai pimpinan RRI akhirnya lagu yang dinyanyikan mereka tidak boleh lagi disiarkan di studio RRI, termasuk yang di daerah. Keputusan itu dianggap sejajar dengan Komando Pimpinan Besar Revolusi dan Kepribadian Nasional.

Pada awal Januari 1964 di-black out selama empat bulan akhirnya Koes Bersaudara diberitakan boleh lagi tampil di Studio RRI dengan syarat lagu-lagu Koes Plus harus sesuai dengan politik siaran RRI. 

Menurut Pikiran Rakjat, pimpinan Koes Bersaudara baru-baru ini telah minta maaf kepada pimpinan RRI atas kesalahan-kesalahan dan tindakan-tindakan mereka yang menyebabkan pihak RRI mengambil tindakan-tindakan yang cukup berat dirasakan band tersebut.

Kalangan itu menyebut para penggemar bahkan jadi ragu-ragu mendengar lagu-lagu Koes Bersaudara dari piringan hitam. RRI tidak mungkin menyetop lagu-lagu Koes Bersaudara jika tanpa alasan-alasan yang serius dan prinsipil. RRI selain punya politik siaran yang digariskan, di samping punya fungsinya menyalurkan bakat-bakat seni juga menyaring pengaruh kebudayaan asing yang dapat menghambat perkembangan kebudayaan Indonesia.  

Kalangan RRI itu juga menyatakan harusnya Koes Bersaudara belajar dari Bing Slamet dan Sam Saimun yang tetap rendah hati, walau sudah terkenal, diperebutkan industri piringan hitam, menyediakan tenaganya kalau diminta RRI.

"Jika kelak Koes Bersaudara diizinkan kembali muncul di RRI, tidak semua lagu-lagunya bisa disiarkan," kata kalangan itu. Politik siaran RRI berdasarkan  pernyataan Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1959 yang mengeluarkan manifesto yang isinya tidak diperbolehkannya siaran radio RRI untuk menyiarkan musik "ngak ngik ngok" agar budaya Indonesia tidak terkikis (1).

Koes Bersaudara yang dituding serupa Beatles, kemudian juga Diah Iskandar yang menyaru Conny Francise, juga Ellya Agus (kemudian jadi Ellya Kadam) mencomot gaya India dengan cepat menjadi isu budaya. Pernyataan Drs Soemadi Kepala Humas RRI TV sangat gambang, sikap RRI terhadap musik hiburan mengajukan syarat-syarat keaslian di samping mutu kreasi.

"Kita harus kembali ke masa pertumbuhannya musik semi klasik, yaitu lagu-lagu Ismail Marzuki, Sakti Alamsyah/Herman Ukasah/G De Fretes/Iskandar, Djuhari Murjono. Genre ini disponsori RRI dengan BR-nya," kata pengamat musik Bandung masa itu Eddy HS dalam sebuah tulisannya di Pikiran Rakjat (2).

Namun kata Eddy lagi, genre kedua musik popular baru tumbuh tapi cepat berkembang dan mendesak aliran musik lainnya. Sponsor musik genre ini adalah industri piringan hitam. Sedangkan RRI mempopulerkannya dengan PP-nya. 

Perbedaan keduanya, yang semi klasik patut dicontoh dan yang kedua yang popular, asal jadi menjadi dibenarkan. Genre kedua ini ada tendensi komersilnya di mana musik pun ekuivalen dengan barang produksi lain.  Syarat dagang ialah barang merangsang dan yang merangsang adalah sesuatu yang baru. 

"Lalu karena kebutuhan sesuatu yang baru dengan kesanggupan cipta mencipta  di kalangan komponis kita tidak seimbang, bersimpang siurlah di telinga kita lagu-lagu yang satu sama lain mirip,"  tutur Eddy lagi (3).

Penulis lainnya Trisnajuwana juga menyorot "pengganyangan" lagu-lagu yang menjadi kegemaran orang banyak, yang bersifat "patah hati". Lagu cengeng ini  dianggap tidak sesuai dengan "Revolusi Kita".  

Sejumlah penyanyi pop dari Jakarta yang menonjol seperti Rahmat Kartolo, Titiek Puspa terpilih menjadi penyanyi kesayangan pembaca di Berita Minggu. Dia juga menyebut penyanyi debutan masa itu Alice Iskak dan Ireng Maulana yang suaranya mirip penyanyi lagu Paul dan Paula (4).

Begitu Lilis Suryani yang sejak kecil terkenal dengan lagu "Cai Kopi-nya".  Lagu itu sepintas mirip dengan lagu "Indung-indung" populer sekitar 1963 ketika Lilis masih berusia 15 tahun. Gaya rambut Lilis mirip Connie Francise, mode remaja masa itu.  

Hanya saja Lilis menyanyikan lagu yang ditulisnya sendiri "Di Kala Malam"  dan menyanyikan lagu-lagu yang disebut patriotik, seperti "Tiga Malam" dan "Pergi Berjuang" yang pas dengan suasana konfrontasi Indonesia Malaysia (5).

Menurut Trisna fenomena lagu cengeng, lagu mirip dan meniru penyanyi populer luar di satu sisi memang didorong oleh masa remaja yang sedang mencari identitas, tetapi di sisi lain para tokoh musik juga harus mencari jalan menyalurkan gelora remaja dengan jalan yang baik. Remaja yang paling giat di dunia musik popular. Mereka rata-rata sudah tamat SMP atau SMA (6).   

dokpri
dokpri
Pandangan Eddy dan Trisna tampaknya mengungkapkan isu masa itu ketika arus kebudayaan luar mulai mengalir deras lewat piringan hitam dan film sejak 1950-an diadaptasi oleh para remaja, yang rata-rata lahir setelah Proklamasi atau masih kanak-anak ketika Perang Kemerdekaan berlangsung, berhadapan dengan arus lain, yaitu mempertahankan musik ke Indonesiaan.  

Diah Iskandar penyanyi kelahiran 1947, sebaya dengan Lilis Suryani kelahiran 1948, Alice Iskak kelahiran 1947,  sekalipun terdapat penyanyi muda yang lahir sebelum Perang Kemerdekaan seperti para personel Koes Bersaudara, Rahmat Kartolo dan Ireng Maulana, Kris Biantoro, Titiek Puspa yang semuanya berusia 20 tahunan.

Warga Jawa Barat tidak mempedulikan pesan politik di dunia musik Show amal yang digelar di  Gedung Bioskop Santosa Tasikmalaya  pada 4 dan 5 April 1964 yang digelar oleh Soebana Production  bertajuk "Malam Koes Bersaudara"  dan di Gelora Sport Hall Bandung beberapa waktu sebelumnya mendapat sambutan kaum muda.

Menarik perhatian bahwa masjarakat Tasik dengan adanja show amal tersebut memberikan sambutan jang tak kalah hebatnja dengan masjarakat Bandung khususnja. Kurangnja tempat hiburan dan sibuknja pekerdjaan sehari-hari jang selalu memproduksi barang-barang kerajinan anjam-anjaman, barangkali alasan mereka jang pokok untuk datang beramai-ramai mencari kesegaran baru agar hilanglah sekuat kedjemuan kerdja rutin mereka (7).

Koes Bersaudara tampil dengan tambahan gitar hofner untuk melodi gitar yang menyebabkan mereka tampak sedikti modern. Pikiran Rakjat 7 April 1964 menyebut kekuatan band ini terlihat pada kompaknya duet antara Yok dan Yon Koeswoyo dengan franseering (gerakan perpindahan) dan artikulasi yang baik.  

Dalam show itu tampil Diah Iskandar yang dipandang banyak "berguru" pada Connie Francis dalam pembawaan lagu yang selalu dinyanyikan dengan cara portamento atau dengan nada yang tidak ada putusnya dan memiliki vibrasi yang baik, hingga cocok untuk lagu sentimentil.  

Lilis Suryani yang disebut sebagai "Anneke Gronloh" nya Indonesia tampil lebih matang dari sebelumnya dengan vibrasi dan intonata yang murni milik dia. Anneke Gronloh adalah penyanyi blasteran Indonesia-Belanda kelahiran 1942, yang cukup populer awal 1960-an.

Musik Populer di Bandung

Di tingkat lokal, perkembangan budaya populer juga berkembang dan juga tidak luput dari kooptasi politik.  Pada 1 Januari 1964 Perhimpunan Musik Bandung yang digagas  dan diketuai Tubagus Drajat Martha tetap jadi ketuanya untuk meningkatkan kesejaterahan para personel band yang kerap tampil di sejumlah hotel dan tempat hiburan di Kota Bandung dan sekitarnya, mengubah namanya menjadi Perhimpunan Musik Indonesia (Pemindo).

Penggagasnya adalah Front Nasional Jabar, yang merupakan cabang dari Front Nasional yang dibentuk  setelah  dikeluarkannya oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ketua Permindo memang tetap Tubagus Drajat Martha dengan cabang-cabang di Tasik, Garut, Cirebon, Cianjur, Sukabumi, Bogor, Banten. Sekalipun Namanya Pemindo, tetapi anehnya ruang geraknya hanya Jawa Barat dan tidak ada di daerah lain (8).

Meskipun demikian Pemindo  tetap melanjutkan negosiasi yang dulu dilakukan Pemda dengan dengan pengusaha/direksi hotel-hotel Preanger, Homman, Bumi Sangkuriang dan Grand Hotel Lembang pada 8 Februari 1964. Gagasannya melahirkan semacam kontrak kerja sama dalam dunia show room secara periodik setiap minggu di mana Permindo sebagai organ music tunggal dan sah mengatur band-band yang main di hotel.

Hasil pertunjukan 50% band, 30 persen hotel, 20 persen Permindo. 5% untuk Panitya Gedung Kesenian Bandung bagian Permindo 15 persen. Permindo berwenang menyeleksi band-band yang tampil. Permidno mendatangkan artis-artis untuk selingan seperti pertunjukan sulap, balet. "Band-band kecil pun yang ingin maju akan diberikan kesempatan muncul sesudah diperkuat pemain top yang diorganisir," ucap Martha (9).

Front Nasional Jawa Barat tidak hanya ingin agar nafas kepentingan revolusi ada di dunia music, tetapi juga di seni lain. D Rachman Sainan yang mewakili FD Front Nasional Jawa Barat (untuk urusan kesenian) dalam sambutannya pada pelaksanaan Seminar Perdalangan di Kota Bandung pada 19 Februari 1964, yang diikuti 500 perserta menekankan perlunya penertiban dalang yang terlebug adalah kesanggupan mereka untuk menyesuaikan diri untuk kepentingan revolusi.

"Peranan para dalang dalam pertunjukan umum sering timbul penyelewengan. Bukan tidak boleh melancarkan kritik atau sindrian harus dibeirkan jawaban yang konstruktif. Dalang yang memiliki surat tanda lulus test indoktrinasi tidak akan diperkenankan mendalang lagi," kata Rachman Sainan (10).

Atensi terhadap musik juga diberikan kalangan kampus. Pada Maret 1964 Departemen Kesenian Universitas Padjadjaran menggelar Seminar Penggalian Seni Musik Daerah. Dalam seminar itu seorang pembicara Drs Sudjoko  MA mengatakan, persoalan musik Indonesia bukan daerah, folks music atau tidak tetapi bagaimana orang yang berjiwa tulen Indonesia dan mempersenyawakan diri dengan Indonesia mendengarkan musik Indonesia.

Menurut Sudjoko lagi, Indonesia punya cukup permusikan yang dibanggakan ke forum dunia untuk dijadikan ilham bagi orang-orang asing untuk dijadikan pelajaran musik Indonesia termasuk yang punya daya absorsi (serap), seleksi dan transformasi yang bisa dibuktikan denga adanya candi-candi yang mengagumkan.

Kelak yang asing bisa mendjadi kepunjaan kita sendiri. Hal ini terjadi pada music seperti banjo, biola dan gitar jang ternjata menjadi musik rakjat Indonesia tulen berbentuk kerontjong(11)

Kalau Jakarta punya band populer Koes Bersaudara, maka Bandung punya Aneka Nada. Band yang dimpin Syamsudin D Hardjakusumah ini juga mengadakan tur ke berbagai kota, di antaranya Semarang dan Surabaya pada Februari 1964. Perhatian masyarakat demikian besarnya, hingga ketika berada di Semarang band Aneka Nada diminta bermain hingga empat malam.  Karcis penampilan Aneka dibandroll seharga Rp1.000. 

Karcisnya sampai dicatut hingga Rp10.000. Sementara di Surabaya, harga karcis tertinggi sampai Rp5.000 dan semua karcis terjual habis, hingga tukang catut memanfaatkannya dan menjual hingga Rp15 ribu.

Kepopuleran Aneka Nada juga karena ada kehadiran sosok yang disebut Mas Tok atau Guntur Sukarnoputra, putra Presiden. Dia mampu memainkan berapa alat music, seperti gitar, vibraphone hingga drum. Lagu-lagu yang dibawakan Aneka Nada antara lain "La Paloma", "Bunga Nirmala". Syamsudin dan Acil mendapat sambutan histeris dari para penonton dari kalnagan gadis-gadis (12).

Melesatnya bisnis pertunjukan hiburan, mendorong perkembangan musik populer di Kota Bandung imbas dari merosotnya jumlah film di bioskop Kota Bandung sebagai pembatasan impor film. Keringnya film-film baru dan ditambah diulang-ulangnya  pemutaran film lama dan juga dalam jangka waktu lama disinggung  oleh pengamat film Jim Lim dalam tulisannya  "Jemu Nonton Bioskop".  

Film seperti  "Fury of Pagans" kacau balau sinematografi dan warnanya luar biasa kotor, untung ada film  "Colossus of Rhodes" adegan perkelahian massal.

"Perfilman Indonesia mengalami krisis yang kesekian kali, ogah mengakui penyakit yang diderita. Film Indonesia tidak bisa diharapkan akan menstabilkan keseimbangan akibat pengurangan impor film asing," ungkap Jim (13).

Pertunjukan musik seperti Malam Bing dan Arulan yang digelar di Gelora Saparua pada 31 Januari dan 1 Februari 1964 disambut dengan baik oleh masyarakat Bandung dan tercatat sebagai satu-satunya refreshing show yang mengesankan dan gemilang bagi penyelenggara, tak lain Sobana Artis Show berkoloborasi dengan RRI Bandung. 

Pemikatnya memang Bing Slamet  melawak bersama Atmonadi dan Eddy Sud. Trio SAE kebetuan baru saja dibentuk, hingga pertunjukan ini sekaligus memperkenalkan mereka sebagai suatu grup.

Pertunjukan sukses.  Selain SAE tampilnya band Arulan yang juga para remaja dengan peralatan musiknya yang mewah juga memikat penonton, terutama di kalangan muda.

Setahu kita baru sekali sebuah pertundjukan sematjam ini kartjisnja djadi rebutan-malah di luar kartjis kelas I dan VIP ada jang berani membelinja antara Rp1.000 sampai Rp3.500. (14)

Wacana Pembangunan Gedung Kesenian

Akhir 1963 dan awal 1964 muncul wacana untuk membangun gedung kesenian di Kota Bandung. Pembangunan ini tidak lepas dari semangat untuk menjadikan Bandung menjadi ibu kota Asia Afrika. Anggota BPH Jawa Barat urusan kebudayaan Rahmi Sutresna menyetujui berdirinya gedung kesenian. Dengan adanya gedung kesenian itu menurut dia, rakyat bisa melihat dari dekat mengenal kesenian Indonesia dan bagaimana karya seniman.

Studi Klub Teater Bandung dan lembaga Lingga Binakit mengusulkan agar bioskop Nusantara di kawasan alun-alun adalah lokasi yang tepat. Dua lembaga ini berkaca pada berbagai event pertunjukan musik dan budaya yang kerap di selenggarakan di bioskop ini pada akhir 1950-an dan awal 1960-an.

Usulan pembangunan gedung kesenian umumnya didukung oleh para tokoh lintas ideologi. R Sabri Gandanegara menyebut cita-cita membangun gedung kesenian adalah cita-cita umat Islam. Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia tidak ketinggalan mendukungnya.  

Dengan adanya gedung ini kebudayaan Islam di Indonesia bisa dimegahkan. Dia juga meminta agar pertunjukan disesuaikan dengan kepribadian Indonesia.

Sebanyak 23 organisasi kesenian di Bandung kemudian menyatakan dukungannya termasuk 17 organisasi yang bernaung di bawah Badan Musyawarah Seni Tari Sunda (15).

Anggota DPRD Gotong Royong Jawa Barat Drs Badril Sunitawinata beberapa hari kemudian mengemukakan rencana merombak Bioskop Nusantara menjadi gedung kesenian memerlukan biaya yang besar dan tidak efesien. Lebih baik membangun gedung baru , karena gedung kesenian itu harus cukup besar.

Barli menuturkan usul tersebut akan dijadikan bahan dalam beleid panitya yang akan dibentuk berlandaskan kekuatan nasakom, yang terjain dalam lembaga kebudayaan, yang ada seperti LKN, Lekra dan lembaga lainnya. Barli mengklaim mendapat dukungan dari Gubernur Mashudi, Wali Kota Priyana Kusumah hingga Direktur Bank Negara Indonesia R Gartina (16).    

Namun perjalanannya pendirian gedung kesenian kota Bandung sesuai dengan konsepnya tidak pernah terwujud hingga akhir kekuasaan Sukarno.

Irvan Sjafari

Foto-foto: Repro Pikiran Rakjat oleh Irvan Sjafari

 

Catatan Kaki

  1. Pikiran Rakjat 2 Januari 1964, lihat juga Irama Label Rekaman Pertama Indonesia Setelah Merdeka  diakses 28 April 1964.
  2. Eddy HS "Soal Comot Mencomot: Dari Komponis dan Penyanyi", Pikiran Rakjat 10 Januari 1964 .  Kosaman Djaja ini meurpakan komponis lagu yang antara lain dinyanyikan Upit Sarimanah seperti "Bajing luncat", "Tjikapundung" dan Band Parahjangan dan juga "Tieungteungan" yang diantunkan Diah Iskandar.
  3. Ibid
  4. Trisnajuwana "Todongan Malam Minggu: Lagu-lagu Populer" dalam Pikiran Rakjat, 21 Maret 1964. Lagu yang dinyanyikan Alice Iskak dan Ireng Maulana berjudul "Hey Paul" popular pada 1963. Duo pop rock berbama asli Ray Hildebrand (Paul) dan Jill Jackson (Paula) yang mendapat hit nomor satu di Billboard 100 dengan singel "Hey Paula." Lihat https://www.axs.com/paul-paula-are-the-perfect-pair-who-ll-never-break-up-for-good-41474, diakaes 28 April 2019.
  5. https://dennysakrie63.wordpress.com/2011/09/01/mengenang-lilis-surjani-1948-2007/  diakses 28 April 1964
  6. Trisnajuwana.op.cit.
  7. Pikiran Rakjat, 9 April 1964
  8. Pikiran Rakjat, 31 Januari 1964
  9. Pikiran Rakjat, 12 Februari 1964
  10. Pikiran Rakjat, 20 Februari 1964
  11. Pikiran Rakjat 21 Maret 1964
  12. Pikiran Rakjat 17 Februari 1964
  13. Pikiran Rakjat, 23 Januari 1964
  14. Pikiran Rakjat, 6  Februari 1964. Mengenai penolakan film impor dan merosotnya film Indonesia, menurut Aryono dalam tulisannya "Jagat Film Orde Lama" dalam Historia 17 Maret 2017 menyebutkan penolakan impor film Amerika oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Mereka menyatakan, film Amerika bertanggungjawab atas naiknya kenakalan remaja. Pemboikotan ini terjadi seiring menurunnya produksi film nasional: hanya 14-18 film dalam kurun 1963-1964   lihat https://historia.id/kultur/articles/jagat-sinema-orde-lama-DOaYx  diakses 29 April 2019.
  15. Pikiran Rakjat, 2 Januari 1964
  16. PIkiran Rakjat, 13 Januari 1964

Sumber Sekunder:
jurnalruang.com dan dennysakrie63.wordpress.com  diakses 27 April 2019

Lubis, Nina Herlina,  Sejarah Tatar Sunda 2, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2003.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun