Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Bandung 1964, Koes Bersaudara dan Melesatnya Musik Populer

29 April 2019   17:36 Diperbarui: 30 April 2019   23:31 2149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun kata Eddy lagi, genre kedua musik popular baru tumbuh tapi cepat berkembang dan mendesak aliran musik lainnya. Sponsor musik genre ini adalah industri piringan hitam. Sedangkan RRI mempopulerkannya dengan PP-nya. 

Perbedaan keduanya, yang semi klasik patut dicontoh dan yang kedua yang popular, asal jadi menjadi dibenarkan. Genre kedua ini ada tendensi komersilnya di mana musik pun ekuivalen dengan barang produksi lain.  Syarat dagang ialah barang merangsang dan yang merangsang adalah sesuatu yang baru. 

"Lalu karena kebutuhan sesuatu yang baru dengan kesanggupan cipta mencipta  di kalangan komponis kita tidak seimbang, bersimpang siurlah di telinga kita lagu-lagu yang satu sama lain mirip,"  tutur Eddy lagi (3).

Penulis lainnya Trisnajuwana juga menyorot "pengganyangan" lagu-lagu yang menjadi kegemaran orang banyak, yang bersifat "patah hati". Lagu cengeng ini  dianggap tidak sesuai dengan "Revolusi Kita".  

Sejumlah penyanyi pop dari Jakarta yang menonjol seperti Rahmat Kartolo, Titiek Puspa terpilih menjadi penyanyi kesayangan pembaca di Berita Minggu. Dia juga menyebut penyanyi debutan masa itu Alice Iskak dan Ireng Maulana yang suaranya mirip penyanyi lagu Paul dan Paula (4).

Begitu Lilis Suryani yang sejak kecil terkenal dengan lagu "Cai Kopi-nya".  Lagu itu sepintas mirip dengan lagu "Indung-indung" populer sekitar 1963 ketika Lilis masih berusia 15 tahun. Gaya rambut Lilis mirip Connie Francise, mode remaja masa itu.  

Hanya saja Lilis menyanyikan lagu yang ditulisnya sendiri "Di Kala Malam"  dan menyanyikan lagu-lagu yang disebut patriotik, seperti "Tiga Malam" dan "Pergi Berjuang" yang pas dengan suasana konfrontasi Indonesia Malaysia (5).

Menurut Trisna fenomena lagu cengeng, lagu mirip dan meniru penyanyi populer luar di satu sisi memang didorong oleh masa remaja yang sedang mencari identitas, tetapi di sisi lain para tokoh musik juga harus mencari jalan menyalurkan gelora remaja dengan jalan yang baik. Remaja yang paling giat di dunia musik popular. Mereka rata-rata sudah tamat SMP atau SMA (6).   

dokpri
dokpri
Pandangan Eddy dan Trisna tampaknya mengungkapkan isu masa itu ketika arus kebudayaan luar mulai mengalir deras lewat piringan hitam dan film sejak 1950-an diadaptasi oleh para remaja, yang rata-rata lahir setelah Proklamasi atau masih kanak-anak ketika Perang Kemerdekaan berlangsung, berhadapan dengan arus lain, yaitu mempertahankan musik ke Indonesiaan.  

Diah Iskandar penyanyi kelahiran 1947, sebaya dengan Lilis Suryani kelahiran 1948, Alice Iskak kelahiran 1947,  sekalipun terdapat penyanyi muda yang lahir sebelum Perang Kemerdekaan seperti para personel Koes Bersaudara, Rahmat Kartolo dan Ireng Maulana, Kris Biantoro, Titiek Puspa yang semuanya berusia 20 tahunan.

Warga Jawa Barat tidak mempedulikan pesan politik di dunia musik Show amal yang digelar di  Gedung Bioskop Santosa Tasikmalaya  pada 4 dan 5 April 1964 yang digelar oleh Soebana Production  bertajuk "Malam Koes Bersaudara"  dan di Gelora Sport Hall Bandung beberapa waktu sebelumnya mendapat sambutan kaum muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun