Atensi terhadap musik juga diberikan kalangan kampus. Pada Maret 1964 Departemen Kesenian Universitas Padjadjaran menggelar Seminar Penggalian Seni Musik Daerah. Dalam seminar itu seorang pembicara Drs Sudjoko  MA mengatakan, persoalan musik Indonesia bukan daerah, folks music atau tidak tetapi bagaimana orang yang berjiwa tulen Indonesia dan mempersenyawakan diri dengan Indonesia mendengarkan musik Indonesia.
Menurut Sudjoko lagi, Indonesia punya cukup permusikan yang dibanggakan ke forum dunia untuk dijadikan ilham bagi orang-orang asing untuk dijadikan pelajaran musik Indonesia termasuk yang punya daya absorsi (serap), seleksi dan transformasi yang bisa dibuktikan denga adanya candi-candi yang mengagumkan.
Kelak yang asing bisa mendjadi kepunjaan kita sendiri. Hal ini terjadi pada music seperti banjo, biola dan gitar jang ternjata menjadi musik rakjat Indonesia tulen berbentuk kerontjong(11)
Kalau Jakarta punya band populer Koes Bersaudara, maka Bandung punya Aneka Nada. Band yang dimpin Syamsudin D Hardjakusumah ini juga mengadakan tur ke berbagai kota, di antaranya Semarang dan Surabaya pada Februari 1964. Perhatian masyarakat demikian besarnya, hingga ketika berada di Semarang band Aneka Nada diminta bermain hingga empat malam. Â Karcis penampilan Aneka dibandroll seharga Rp1.000.Â
Karcisnya sampai dicatut hingga Rp10.000. Sementara di Surabaya, harga karcis tertinggi sampai Rp5.000 dan semua karcis terjual habis, hingga tukang catut memanfaatkannya dan menjual hingga Rp15 ribu.
Kepopuleran Aneka Nada juga karena ada kehadiran sosok yang disebut Mas Tok atau Guntur Sukarnoputra, putra Presiden. Dia mampu memainkan berapa alat music, seperti gitar, vibraphone hingga drum. Lagu-lagu yang dibawakan Aneka Nada antara lain "La Paloma", "Bunga Nirmala". Syamsudin dan Acil mendapat sambutan histeris dari para penonton dari kalnagan gadis-gadis (12).
Melesatnya bisnis pertunjukan hiburan, mendorong perkembangan musik populer di Kota Bandung imbas dari merosotnya jumlah film di bioskop Kota Bandung sebagai pembatasan impor film. Keringnya film-film baru dan ditambah diulang-ulangnya  pemutaran film lama dan juga dalam jangka waktu lama disinggung  oleh pengamat film Jim Lim dalam tulisannya  "Jemu Nonton Bioskop". Â
Film seperti  "Fury of Pagans" kacau balau sinematografi dan warnanya luar biasa kotor, untung ada film  "Colossus of Rhodes" adegan perkelahian massal.
"Perfilman Indonesia mengalami krisis yang kesekian kali, ogah mengakui penyakit yang diderita. Film Indonesia tidak bisa diharapkan akan menstabilkan keseimbangan akibat pengurangan impor film asing," ungkap Jim (13).
Pertunjukan musik seperti Malam Bing dan Arulan yang digelar di Gelora Saparua pada 31 Januari dan 1 Februari 1964 disambut dengan baik oleh masyarakat Bandung dan tercatat sebagai satu-satunya refreshing show yang mengesankan dan gemilang bagi penyelenggara, tak lain Sobana Artis Show berkoloborasi dengan RRI Bandung.Â
Pemikatnya memang Bing Slamet  melawak bersama Atmonadi dan Eddy Sud. Trio SAE kebetuan baru saja dibentuk, hingga pertunjukan ini sekaligus memperkenalkan mereka sebagai suatu grup.