Menarik perhatian bahwa masjarakat Tasik dengan adanja show amal tersebut memberikan sambutan jang tak kalah hebatnja dengan masjarakat Bandung khususnja. Kurangnja tempat hiburan dan sibuknja pekerdjaan sehari-hari jang selalu memproduksi barang-barang kerajinan anjam-anjaman, barangkali alasan mereka jang pokok untuk datang beramai-ramai mencari kesegaran baru agar hilanglah sekuat kedjemuan kerdja rutin mereka (7).
Koes Bersaudara tampil dengan tambahan gitar hofner untuk melodi gitar yang menyebabkan mereka tampak sedikti modern. Pikiran Rakjat 7 April 1964 menyebut kekuatan band ini terlihat pada kompaknya duet antara Yok dan Yon Koeswoyo dengan franseering (gerakan perpindahan) dan artikulasi yang baik. Â
Dalam show itu tampil Diah Iskandar yang dipandang banyak "berguru" pada Connie Francis dalam pembawaan lagu yang selalu dinyanyikan dengan cara portamento atau dengan nada yang tidak ada putusnya dan memiliki vibrasi yang baik, hingga cocok untuk lagu sentimentil. Â
Lilis Suryani yang disebut sebagai "Anneke Gronloh" nya Indonesia tampil lebih matang dari sebelumnya dengan vibrasi dan intonata yang murni milik dia. Anneke Gronloh adalah penyanyi blasteran Indonesia-Belanda kelahiran 1942, yang cukup populer awal 1960-an.
Musik Populer di Bandung
Di tingkat lokal, perkembangan budaya populer juga berkembang dan juga tidak luput dari kooptasi politik.  Pada 1 Januari 1964 Perhimpunan Musik Bandung yang digagas  dan diketuai Tubagus Drajat Martha tetap jadi ketuanya untuk meningkatkan kesejaterahan para personel band yang kerap tampil di sejumlah hotel dan tempat hiburan di Kota Bandung dan sekitarnya, mengubah namanya menjadi Perhimpunan Musik Indonesia (Pemindo).
Penggagasnya adalah Front Nasional Jabar, yang merupakan cabang dari Front Nasional yang dibentuk  setelah  dikeluarkannya oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ketua Permindo memang tetap Tubagus Drajat Martha dengan cabang-cabang di Tasik, Garut, Cirebon, Cianjur, Sukabumi, Bogor, Banten. Sekalipun Namanya Pemindo, tetapi anehnya ruang geraknya hanya Jawa Barat dan tidak ada di daerah lain (8).
Meskipun demikian Pemindo  tetap melanjutkan negosiasi yang dulu dilakukan Pemda dengan dengan pengusaha/direksi hotel-hotel Preanger, Homman, Bumi Sangkuriang dan Grand Hotel Lembang pada 8 Februari 1964. Gagasannya melahirkan semacam kontrak kerja sama dalam dunia show room secara periodik setiap minggu di mana Permindo sebagai organ music tunggal dan sah mengatur band-band yang main di hotel.
Hasil pertunjukan 50% band, 30 persen hotel, 20 persen Permindo. 5% untuk Panitya Gedung Kesenian Bandung bagian Permindo 15 persen. Permindo berwenang menyeleksi band-band yang tampil. Permidno mendatangkan artis-artis untuk selingan seperti pertunjukan sulap, balet. "Band-band kecil pun yang ingin maju akan diberikan kesempatan muncul sesudah diperkuat pemain top yang diorganisir," ucap Martha (9).
Front Nasional Jawa Barat tidak hanya ingin agar nafas kepentingan revolusi ada di dunia music, tetapi juga di seni lain. D Rachman Sainan yang mewakili FD Front Nasional Jawa Barat (untuk urusan kesenian) dalam sambutannya pada pelaksanaan Seminar Perdalangan di Kota Bandung pada 19 Februari 1964, yang diikuti 500 perserta menekankan perlunya penertiban dalang yang terlebug adalah kesanggupan mereka untuk menyesuaikan diri untuk kepentingan revolusi.
"Peranan para dalang dalam pertunjukan umum sering timbul penyelewengan. Bukan tidak boleh melancarkan kritik atau sindrian harus dibeirkan jawaban yang konstruktif. Dalang yang memiliki surat tanda lulus test indoktrinasi tidak akan diperkenankan mendalang lagi," kata Rachman Sainan (10).