Sementara untuk pembangunan stasiun bus saja NV Asia Motor hanya memperoleh keuntungan kecil. NV Asia Motor tidak tahu soal keadaan rpara pedagang Pasar Pungkur tersebut.
"Dalam perjanjian 10 Juli 1963, soal pedagang Pasar Pungkur tidak disebut," ungkap dia sengit seperti ditulis Pikiran Rakjat 8 Februari 1964.
Dia juga mengatakan NV Asia Motor sudah menghabiskan Rp60 juta dan NV Asia Motor telah berusaha mengerahan pencarian dana. Biaya itu maish ditambah dengan biaya untuk pembanguan stasiun servis.
Namun ia memeprtimbangkan apakah pembebanan tersebut sesuai hukum kerja sama antara Kotapraja dan NV Asia Motor.
Dalam Pikiran Rakjat 13 Februari 1964 Suparjan menyatakan dalam rangka pembangunan Stasion Bus di Jalan Abdul Muis itu sesungguhnya Asia Motor telah berusaha untuk memberi bantuan kepada para pedagang yang akan terkena pembuatan jalan keluar.
Menurut direktur itu sebagai pengusaha yang kebetulan bekerja sama dengan kotapraja Bandung tidak perlu memikirkan hal ini. Tetapi sebagai orang Timur yang kebetulan bergerak di bidang usaha seperti paar pedagang itu, pada mulanya NV Asia Motor membuatkan beberapa kios baru di sebelah utara. Tapi belum sampai terlaksana para pedagang telah membuat kotak-kotaknya sendiri.Â
Belakangan diketahui para pedagang yang menempati kios baru tersebut bukan pedagang lama, melainkan pedagang baru yang mengadu untung.
Dalam hubungan ini Suparjan menyatakan, bahwa sesuai dengan perjanjian tersebut maka Asia Motor dalam hal ini kalaupun jadi dibangun oleh Asia Motor pembagiannya terserah kepada Kotapraja Bandung. Sejak pertengahan hingga akhir Februari persoalan pedagang Pasar Pungkur ini tidak saya temukan titik terangnya dalam pemberitaan Pikiran Rakjat, seolah senyap.
Kemelut pedagang Pasar Pungkur dengan Kotapraja Bandung dengan pihak yang membangun terminal dan membangun pasar pengganti menggambarkan niat untuk membangun sarana publik dilakukan secara parsial dan dilakukan pada saat tidak tepat, ketika kehidupan perekonomian sedang sulit-sulitnya. Suatu persoalan di masa lalu yang harus dijadikan pelajaran, sekalipun tidak jarang berulang di era setelahnya.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H