Namun hendaknya para pedagang Pasar Pungkur yang tempatnya digunakan untuk pembanguan diberikan proritas utama (Pikiran Rakjat, 4 Februari 1964).
Penjelasan ini dianggap perlu mengingat Wali Kota yang menggambarkan seolah-olah segala sesuatunya antara CV Sekawan dengan musyawarah-musyawarah tersebut tanpa memperhatikan usul-usul pedagang yang tidak pernah terjawab.
Bahkan saat terakhir CV Sekawan menyatakan bahwa ruangan di pasar bertingkat telah habis, sehingga para pedagang di Pasar Pungkur tidak mempunyai harapan lagi.
Pada 10 Februari 1964 pengurus Persatuan Pedagang Pasar Pungkur diminta enghadap Kotapraja atas permintaan BPH Husen bin Nawawi untuk mengungkapkan kerugian hingga Rp1,25 juta.
Mereka mengungkapkan sebagai akibat pembuatan jalan yang menembus Pasar Pungkur,,49 pedagang itu harus pindah tanpa diberikan ganti rugi.
Hanya 10 pedagang saja yang melanjutkan usahanya dengan pendapatan yang jauh menurun dibandingkan ketika mereka menempati pasar lama.
Seorang pedagang harus mengeluarkan odal Rp40 ribu. Biaya untuk membuat jongko menghabiskan Rp25 ribu dan selesai setelah 15 hari.
Selama jongkonya dibangun, terpaksa mereka tidak dapat bergadang. Sisa uang modal terpaksa dimakan untuk biaya hidup sehari-hari.
Akibatnya setelah jongkonya selesai mereka tidak punya modal lagi untuk usaha. Sementara barang yang lama, karena ditimbun menjadi rusak, hingga tidak bisa dijual lagi.
Dibahas di DPR GR Kotapraja Bandung