Ketika saya bertandang ke Bandung kerap menumpang angkot Dago-Abdul Muis, angkot dengan rute panjang melewati tempat strategis yang menjadi ikon kota ini. Yang dimaksud Abdul Muis di ujung selatan adalah terminal angkutan umum Kebon Kelapa, tidak terlalu jauh dari alun-alun. Jalan yang bersingungan dengan terminal itu adalah Jalan Pungkur.
Tedi Permadi dalam makalahnya bertajuk "Topomini Jalan Raya Kota Bandung" untuk Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia mengungkapkan, nama Jalan Pungkur karena jalan tersebut terletak di belakang pendopo kabupaten. Pendopo kabupaten tepatnya terletak di samping selatan alun-alun dengan arah depan 6 bangunan menghadap ke sebelah utara.
Kebon Kelapa setidaknya sudah ada pada 1890-an dan sebuah referensi mengaitkannya sebagai kawasan prostitusi. Di sekitarnya ada sebuah pasar yang disebut Pasar Pungkur.
Tidak ditemukan referensi di Google yang menerangkan bagaimana cerita berdirinya terminal ini, sampai secara tak sengaja saya menemukan jejak pembangunan terminal ini dalam delapan berita di Pikiran Rakjat pada Januari hingga Februari 1964.Â
Dalam harian itu Jalan Pungkur sudah berganti nama dengan Jalan Abdul Muis sudah ada diambil dari nama pahlawan yang meninggal di Bandung pada 17 Juni 1959 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung. Separuh hidup tokoh pergerakan ini dihabiskan di Bandung, di antaranya dia pernah tinggal di Jalan Pungkur.Â
Sejarah pembangunan stasiun bus ini dimulai dengan perjanjian kerja sama antara Kotapraja Bandung dengan NV Asia Motor yang dipimpin Direkturnya Suparjan pada 10 Juli 1963. Pembangunan terminal baru ini untuk memenuhi kebutuhan warga Kota Bandung untuk angkutan umum.Â
Dalam perjanjian itu tidak dikemukan bakal ada persoalan yang menyangkut pedagang di Pasar Pungkur, tak jauh dari tempat terminal itu akan dibangun.
Keseluruhan pembangunan ini ditargetkan selesai dalam jangka waktu lima tahun termasuk pembangunan servis stasiun. Dalam waktu enam bulan NV Asia Motor sudah mengeluarkan biaya Rp60 juta.
Persoalan mencuat setelah dilansir Pikiran Rakjat, 9 dan 10 Januari 1964 ketika Ketua Persatuan Pedagang Pasar Pungkur Achmad Surjana mengungkapkan dibuatnya jalan yang membagi dua pasar menyebabkan para pedagang yang tempatnya dipakai jalan itu harus pindah, diusir tanpa kompromi dang anti kerugian.
Mereka mendapat ancaman harus pindah dalam 24 jam. Hampir setengah bulan mereka tidak dapat berdagang dan akhirnya walaupun disediakan tepat terpaksa pula harus memikul ongkos-ongkos mendirikan bangunan itu sendiri.