Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1963, Gerakan Mahasiswa Pasca Peristiwa 10 Mei

20 Februari 2019   11:14 Diperbarui: 26 Mei 2019   22:23 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerusuhan rasial  pada 10 Mei 1963 di kota Bandung,  diikuti kerusuhan lain  di Sumedang  pada 11 Mei  1963, Bogor pada15 Mei 1963, serta Sukabumi pada18 dan 19 Mei 1963 dan juga terjadi di Cianjur, Garut (17 Mei) dan  Tasikmalaya merupakan peristiwa penting sepanjang  sejarah  kota Bandung.

Kerusuhan rasial 10  Mei 1963 dimulai dengan perkelahian di kampus ITB dan akhirnya menjalar menjadi keursuhan massa. Sekitar 500 toko dan rumah mengalami kerusakan. Selain 65  buah mobil, 54 sepeda motor, 5 mesin jahit dan sejumlah barang elektronik, seperti radio, televisi, lemari es dibakar atau rusak.  

Di antara mobil-mobil yang terbakar terdapat tiga buah Mercedes, sebuah Impala dan tujuh buah Fiat, pada masa itu tergolong mobil mewah.  Di antara sepeda motor yang menjadi rongsokan tergolong mahal seperti Suzuki, Honda, Vespa dan BMW.  Peristiwa 10 Mei 1963 sudah pernah saya tulis di Kompasiana dan linknya ada di bawah tulisan.

Timbul  tanda tanya  mengapa kerusuhan begitu besar dan menjalar ke berbagai kota yang sebetulnya penyebabnya bisa  diraba, tidak diantisipasi oleh pemerintah dan aparat keamanan. 

Padahal sudah  ada  kerusuhan pendahuluan pada Rabu, 27 Maret 1963  di Cirebon,di mana jelas disebutkan  perkelahian berdarah  antara  dua rombongan  pemuda  yang umumnya pelajar. 

Perkelahian itu menyebabkan dua orang  luka berat dan dua luka ringan.  Kerusakan berupa tiga mobil  dan sejumlah toko dan rumah milik orang Tionghoa di Lemahwungkuk dan berapa  tempat lainnya.

Dandim 0614,  Kepala Kepolisian kota Cirebon, hingga Wali Kota Cirebon mengumumkan penyesalannya. Bahkan Wagub Astrawinata mengeluarkan pernyataan ketika berkunjung ke Cirebon: angin panas yang menyakitkan telah bertukar  dengan angin yang sejak," ujar Astrawinata dikutip Pikiran Rakjat, 9 April 1963.   

Sekalipun Astrawinata bisa jadi benar ketika menyatakan pemisahan golongan Tionghoa dan WNI  akibat kebijakan kolonialisme Belanda dulu.    

Namun sebetulnya pemicu lain  adalah tekanan hidup yang  dirasakan sebagian besar masyarakat  masa itu.  Pada akhir Maret 1963 menurut  Pikiran Rakjat  edisi 30 Maret biaya hidup  begitu tinggi, untuk menutupi ongkos  hidup seorang buruh dengan  seorang istri dan dua anak harus  berpenghasilan Rp12.263 per bulan.  Hal yang mustahil terpenuhi. 

Profesi lainnya juga mengajukan keluhannya.  Pada akhir April 1963 sekitar lima ribu guru di Kotapraja Bandung melalui juru bicaranya Basjumi mendesak pemerintah  menurunkan harga beras. Namun kenyataannya harga beras tetap tinggi bahkan hingga September 1963 menyentuh Rp90-100 per kilogram. Bahkan Bandung tidak lagi menerima beras pada bulan itu.  

Kejadian di Cianjur pada  19 Mei 1963 mulai siang hingga malam merupakan kawasan terakhir yang dilanda kerusuhan rasial.  Padahal Cianjur berdekatan dengan Sukabumi.  Efek domino ini tidak diantisipasi dengan baik. Puluhan toko-toko dan kendaraan milik golongan  Tionghoa di Cianjur  menjadi sasaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun