Meskipun gerakan koperasi bukan tanpa kelemahan. Sebagai contooh pada  akhir 1961 perusahaan konveksi di Kota Bandung mengalami kesulitan  mendapatkan bahan-bahan tekstil dan benang.  Bahan-bahan itu harus didapatkan dari luar negeri dengan harga tinggi.
Seorang pengusaha penjahitan dan konveksi Pelda Pensiunan Padmotanojo menyebutkan, dari jatah benang 600 dus, dengan setiap dus terdiri dari 12 klos benang untuk tiga bulan, perusahaan negeri hanya bisa memberikan 10 klos saja.Â
Penyakit kalangan pengusaha konveksi di bawah koperasi  mendapatkan order dari instansi yang biasa membuatkan pakaian seragam dan pakaian kerja untuk para buruhnya.  Dia menganjurkan agar pengusaha Indoensia bekerja sama dengan pengusaha asing.
"Lapangan kerja lebih luas, saling memberikan pekerjaan dan mutu produksi lebih termakin dan begitu juga tarif bisa bersaing," kata Padmotanojo dikutip Antara, 19 Desember 1961.
Pertengahan Desember 1961 di atas bangunan bekas Restoran Naga Mas di kawasan alun-alun berdiri Gedung Bank Koperasi Tani dan Nelayan (KBTN) Cabang Bandung dengan lebar bangunan 24 meter, panjang 43,2 meter dan tinggi 12,5 meter. Â Gedung ini juga didukung gedung dengan panjang 98 meter, lebar 24 meter dan tinggi 6,20 meter.Â
Gedung ini diresmikan pada 16 Desember 1961 oleh Menteri Keuangan Noto Hami Projo. Â Berdirinya gedung baru BKTN Cabang Bandung juga indikasi gerakan koperasi di Jawa Barat sedang mengebu-gebu.
BKTN sendiri dibentuk  dengan PERPU No.14 tahun 1960  merupakan peleburan dari Bank Rakyat Indonesia, Bank Tani nelayan, dan Nederlandsche Maatschappij (NHM) (2)
Terlepas dari segala kelemahannya gerakan koperasi di Jawa Barat setidaknya sudah menunjukan keinginannya sebagai alternatif, daripada upaya lain dari pemerintah yang lebih banyak bernuansa politis yang populis.
Irvan Sjafari
Catatan Kaki
1. https://kpkbbandung.wordpress.com/