Masalah prostitusi di Jawa Barat sempat mencuat pada 2016, ketika Menteri Sosial waktu itu Khofifah Indar Parawansa menyebut, tempat lokalisasi terbesar di Indonesia saat ini terdapat di Provinsi Jawa Barat. Menurut data Kementerian Sosial, ada 11 tempat lokalisasi dengan penghuni sekitar 21.000 orang.
Kontan pernyataan ini ditepis, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar. Ketika itu ia mempertanyakan data yang dikeluarkan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Menurut dia Mensos mendapatkan data dari jaringannya sendiri (Kompas Online, 3 Juni 2016).
Persoalan data mungkin masih bisa dipertanyakan. Prostitusi masalah di banyak tempat di seluruh dunia dan hingga saat ini sulit dihapuskan, selama budaya patriaki masih kokoh, selain masalah ekonomi.
Yang lebih saya khawatirkan ialah laporan berbagai media cetak, elektronik dan online tentang "Kampung Cinta" di Kabupaten Subang, cerita kawin kontrak di kawasan Puncak, cerita seorang kawan saya yang bermukim di Kabupaten Bogor tentang "Kampung Jablay". Itu artinya prostitusi bukan saja persoalan ekonomi dan patriaki.
Saya mencoba menarik benang merah laporan-laporan menyangkut prostitusi termasuk yang terselubung dengan riset sejarah saya pada sejumlah sumber primer. Hasilnya menunjukkan bahwa akar prostitusi di kawasan Priangan tidak berakar dari budayanya. Kemungkinan ada perubahan sejak masa Hindia Belanda tentang citra perempuan Priangan. Jadi bukan era sebelumnya.Â
Sejumlah cerita rakyat Pasudan justru memperlihatkan bahwa perempuan Tanah Pasundan menjaga martabatnya. Budayawan Ajip Rosidi dalam sebuah tulisannya mengungkapkan perempuan mempunyai kedudukan mulia dalam budaya Sunda. Dalam cerita pantun Lutung Kasarung disebutkan peran Sunan Ambu. Tokoh wanita inilah tokoh tertinggi dalam alam kosmos orang Sunda (Rosidi, 1980:155).
Begitu juga cerita Sangkuriang, hingga cerita Tragedi Bubat, di mana Dyah Pitaloka putri Raja Sunda menampik jadi selir Hayam Wuruk, rela bunuh diri demi kehormatan bangsanya. Sementara ayahanda dan seluruh rombongan dari Kerajaan Sunda gugur semua.
Saya menduga sejarah prostitusi di Priangan, bermula ketika Belanda menduduki wilayah itu. Namun dalam tulisan ini saya hanya memfokuskan di Bandung.Â
Referensi yang saya temukan menyebutkan pada abad ke 19, ketika pembukaan perkebunan, membuat banyak pria Belanda menjalin hubungan dengan gadis pekerja lokal menyebabkan munculnya gadis berparas Indo di daerah perkebunan. Mojang Priangan yang molek kerap dihubungan dengan fenomena sosial ini.
Prostitusi dan wisata
Namun awal keberadaan prostitusi di Kota Bandung sejak dibukanya jalur angkutan keta api dari Batavia ke Bandung dan ke Surabaya pada 1884. Pembukaan jalur kereta api memicu pariwisata dengan munculnya hotel dan losmen. Keberadaan hotel dn losmen menyediakan jasa perempuan pemijat tamu. Dengan demikian pemicu utama timbulnya prostitusi ialah pariwisata.
Lokalisasi prostitusi pertama Kompleks Margawati Gang Corde di daerah Braga. Hanya orang Belanda dan pribumi kelas atas bisa ke sana. Nyi Dampi dam Saritem disebut sebagai tokoh prostitusi pada 1890-an.
Menjelang abad ke 20 Kota Bandung mulai dikenal dan banyak mengundang pendatang baik pribumi maupun Eropa. Pegawai Belanda memasuki usia pensiun menghabiskan hidupnya di sini. Prostitusi erat kaitannya dengan banyak pendatang tidak membawa isteri dan anaknya.
Dalam sebuah artikel bertajuk "Adat Perkawinan di Tanah Pasundan" yang dimuat dalam Adil edisi 13 Agustus 1936 mengungkapkan, banyak laki-laki dan perempuan keluar dan masuk kota Bandung. Banyak laki-laki datang tidak membawa isteri dan anaknya.
Mereka ini menikahi perempuan di Bandung, kemudian ketika meninggalkan kota membuat talak dan itu mudah, karena laki-laki tinggal datang ke Lebe dan perempuan tidak turut berjalan. Pada 1927 angka menikah di Kota Bandung tercatat 4477, jumlahnya dikalahkan yang cerai 4479 kasus, sementara rujuk 314. Pada 1928 jumlah yang menikah 4999, yang cerai 4197 dan yang rujuk 325.
Pada 1929 tercatat mereka yang menikah 4431 dan angka perceraian 4250 dan rujuk 303. Tahun berikutnya 4319 menikah dan 4097 bercerai, 381 rujuk. Pada 1932 pasnagan menikah 3696 dan yang cerai 3175 dan rujuk 220, pada 1933 tercatat 3601 pasangan menikah dan 2942 bercerai dan rujuk 187.
Data terakhir dari artikel itu menyebutkan bahwa pada 1934 jumlah pernikahan 3943 dan bercerai 2942, serta rujuk 158. Melihat angka-angka di atas maka boleh dibilang angka perceraian di Kota Bandung pada 1927 hingga 1934 di atas 50 persen, bahkan di atas 70 persen.
Isu prostutisi diungkapkan oleh seorang berinisial S.N.I yang mengaku dari Bandung dalam Isteri November-Desember 1930. Tulisan berjudul "Pergerakan Kaoem Perempoean Indonesia Toedjoean Apa Jang Haroes Diambil?"Â ditujukan kepada P.P.I.I (Perserikatan Perkumpulan Isteri Indonesia).
Pekerdjaan kita beloem sempoerna. Memberi peladjaran menenoen, jaitoe oentoek mentjoba menghilangkan prostitoetie djoega beloem sempoerna, djiajkalau dasar jang paling pertama dan paling terpenting tak ditanamkan dalam hati sanoebari perempoean kita, jaitoe kemerdekaan dirinja dalam fikiran dan perasaan, kemerdekaan alam pentjaharian hidoep (goena oentoek memberi sendjata padanja menghadapi kawin paksa, permadoean....
Di mata simpatisan PPII itu jelas bahwa satu-satunya cara menghilangkan prostitusi ialah perempuan juga harus menjadi subjek merdeka menyatakan kehendaknya dan mempunyai kemandirian dalam ekonomi. Dengan kemandirian ekonomi itu perempuan juga bisa menolak untuk dimadu dan tidak takut bercerai karena mampu berdiri secara ekonomi.
Sementara cara lain untuk menghadapi pelacuran lebih ditujukan dengan membuat aturan yang sebetulnya menyalahkan perempuannya. Misalnya yang dilakukan Wali Kota Bandung pada masa Hindia Belanda, menghadapi menyoloknya pelacuran di jalanan dengan mengeluaran peraturan daerah pada 9 Mei dan 2 Oktober 1917.Â
Peraturan itu diubah dengan Peraturan Tertanggal 23 Agustus 1931. Peraturan-peraturan ini dibabut dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ttanggal 25 November 1931 yang kemudian diundangkan dalam Provinciaal Blad van West Java tertanggal 23 Januari 1932.
Dalam Pasal I disebutkan:
Setiap orang dilarang untuk di atas atau pada jalan umum atau di mana saja ha yang demikian itu terlihat dari jalan umum, mengajak orang dengan cara lisan dengan cara jalan memberikan peta-peta atau isyarat=isyarat atau dengan cara-cara lain melakukan pelacuran.
Dalam Pasal II disebutkan
Wanita-wanita yang kelakuannya kepada polisi menimbulkan sangkaan bahwa mereka tidak berakhlak baik, dilarang untuk berhanti atau berdiri di muka atau di dekat hotel-hotel, losmen-losmen, penginapan-penginapan, warung-warung kopi, societet-societet, ruang-ruang sidang atau bangunan lain semacam itu, demikian pula mereka dilarang untuk mondar-mandir di muka atau dekat tempat-tempat tersebut, baik mempergunakan kendaraan maupun tidak, setelah mereka diperbolehkan untuk pergi dan meninggalkan tempat-tempat di atas oleh seorang pejabat polisi yang berpangkat tidak lebih rendah dari mantri polisi.
Wali Kota Bandung menyadari bahwa pelacuran tidak dapat diberantas sama sekali. Dalam Peraturan Daerah tersebut hanya diatur sanksi terhadap pelacur dijumpai di jalan. Pelanggaran dari ketentuan-ketentuan ini disebutkan dihukum dengan hukuman kurungan paling lama sebulan atau denda setinggi-tingginya seratus rupiah.
Itu berarti masih dimungkinkan praktik pelacuran di bordil-bordil dan panggilan yang sembunyi-sembunyi di hotel-hotel (Soedjono, 1977, halaman: 38 dan lampiran halaman 172). Pada 1920-an Pemerintah Hindia Belanda memutuskan menutup lokasi prostitusi di Gang Corde karena membawa dampak perwira dan serdadu Belanda mabuk-mabukan.
Sayangnya tindakan itu lebih banyak ditujukan kepada perempuan yang menjadi pelacur. Prostitusi dituding sebagai penyebab kemerosotan moral kepada perwira dan serdadu Belanda. Bukan menyalahkan bagaimana perwira dan serdadu bisa meneguk minuman keras.
Sesudah Perang Kemerdekaan prostitusi di Kota Bandung lebih banyak dijumpai di rumah bordil. Dalam film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail diungkapkan sejumlah adegan adanya pelacuran di rumah bordil tampaknya berakar dari aturan itu.
Dalam film ini digambar tokoh perempuan yang menjadi PSK sebetulnya mendambakan seorang suami yang baik dan gemar mengklipping artikel media, seperti majalah Life. Kalau saya menafsirkannya Bandung menjadi tempat wisata menjadi pemicu gaya hidup, sementara penduduknya masih banyak yang miskin.
Menurut Soedjono lagi razia terhadap pelacuran di jalan di Kota Bandung hingga 1950-an masih menggunakan peraturan yang dibuat masa Hindia Belanda itu. Sayangnya peraturan itu hanya memberikan sanksi kepada pelacurnya, sementara si pemakai atau laki-laki tidak ada ancaman hukuman. Hal ini dijumpai di mana-mana, bahkan Amerika Serikat (Soedjono, 1977: 136).Â
Pada awal 1950-an pemberantasan prostitusi yang dijalankan oleh Jawatan Sosial Keresidenan Priangan Bagian Perbaikan Masyarakat mulai menemukan bentuknya. Jawatan ini membentuk kader-kader di antara perempuan pelacur di Kota Bandung. Keberadaan para kader sedikitnya banyak pengaruhnya kepada kawan-kawannya.
Setidaknya terdapat 21 kader dengan pertemuan setiap minggu 4 kali di Ancol dan Bandung. Mereka mendapatkan penerangan bukan saja budi pekerti tetapi juga keterampilan memasak, menjahit, menyulam dan urusan rumah tangga. Dengan memberikan keterampilan diharapkan mereka bisa kembali ke masyarakat. Jawatan menyadari bahwa memberikan pidato-pidato tidak difahami oleh mereka (Kementerian Penerangan, 1953:557).
Sementara di daerah lain, seperti Tasikmalaya, Garut, Ciamis usaha penerangan bekas perempuan lacur dilaksanakan dalam rumah bekas penampungan pengungsi. Pihak Jawatan mengklaim sebelas orang sudah berhasil dikembalikan ke masyarakat.
Dalam buku Kementerian Penerangan Djawa Barat disebutkan adanya perempuan yang dirazia ditahan di Penjara Bantjeui hingga tiga bulan. Para kader memberikan penerangan di penjara yang disebut sebagai tersesat. Mereka diberikan kursus pemberantasan buta huruf, mengetik, kerajinan tangan. Selain itu para pelacur juga diberikan pada tempat tertentu, sementara pelacur yang diberdayakan dijemput oleh pick up milik jawatan sosial (halaman, 558).
Pada Februari 1953 di rumah penjara Bantjeuj diadakan pertemuan antara pihak Jawatan Sosial keresidenan dengan wanita-wanita lacur yang sampai sekarang masih menjalankan hukuman selama 2-3 bulan. Banyaknya wanita-wanita lacur yang sedang menjalani hukuman itu sekitar 65 orang sebagian besar terdiri gadis-gadis yang masih muda remaja bahkan terdapat di antaranya anak sekolah rakyat dari Cibatu (Garut) serta orang tuanya pun masih ada.
Menurut Atikah bekas seorang wanita yang terjebak dalam prostitusi, dia direkrut pihak Dinas Sosial dan diberikan ilmu membordir serta pelajaran sekolah budi pekerti. Semangatnya pelacur-pelacur itu dikembalikan kepada masyarakat diberi bimbingan seperlunya agar mereka tidak kembali menjadi pelacur kembali.
Seorang jurnalis Nilakusuma yang berkiprah di Kota Bandung pada awal 1950-an, mungkin memberikan pandangan yang lebih adil. Dalam tulisannya Dalam Menghadapi Hari Kenangan Kartini dimuat dalam Pikiran Rakjat, 16 April 1953), dia memberikan ulasan menarik tentang perempuan pasca revolusi.
Dia mengkritisi bahwa pelacuran berlapis-lapis dari lapisan rendah hingga lapisan tinggi. Revolusi yang cukup lama juga memberikan konstribusi terhadap ikatan perkawinan, karena banyak dilaksanakan secara terburu-buru.
Menurut Nilakusuma, disharmoni antara suami dan isteri membuat keduanya sama-sama mencari "hiburan" di luar. Wanita yang tadinya berasal dari orang baik-baik karena disharmoni jatuh ke jurang kehinaan. Ulasan ini menarik bahwa telah terjadi perubahan pada perempuan terutama di kota pada masa itu juga butuh pelarian, bukan hanya lelaki mencari perempuan lain.
Apa yang diungkapkan NIlakusuma dibenarkan juga Kepala Jawatan Kesehatan kota Besar Bandung dr. Admiral. Kesulitan ekonomi pasca perang merupakan persoalan riil yang dihadapi kaum perempuan. Pemerintah Kota Besar Bandung pada April 1952 menemukan hal ini ketika mereka harus menangani sekitar 2000 mantan pelacur dari Bandung dan Cimahi.
Yang paling membuat gaduh, berkaitan dengan prostitusi. Terjadi sesudah Konferensi Asia Afrika. Seorang anggota parlemen DPRDS Bandung bernama Hadidjah Salim melontarkan pertanyaan dalam sidang parlemen awal Mei 1955, bahwa apakah benar ada sugguhan istimewa untuk para tetamu dari negara Asia dan Afrika?Â
Nonoman Sunda juga mengeluarkan pernyataan yang menuntut pertanggungjawaban berita "suguhan istimewa". Bahkan memperjelasnya sebagai beberapa wanita cantik untuk sebagian peserta dari anggota delegasi yang mengunjungi Konferensi Asia-Afrika.
Isu itu dikenal dengan nama Hospitality Comittee (panitia keramahan). Bisa disederhanakan sebagai tawaran karcis untuk bisa datang ke rumah tertentu di kawasan Lembang dan Ciumbuleuit. Namun yang terjadi ada tamu, yang dikabarkan datang ke Jalan Anggrek, Lengkong Kecil, karena tidak ada yang tahu tempat yang disediakan. Kabar itu berasal dari tulisan yang ditempel di Hotel Preanger berbunyi "Special Wishes" yang tidak diketahui apa maksudnya.
Menurut Sejarawan Indonesia dari Australia David T Hill isu itu juga diungkapkan wartawan Mochtar Lubis yang diberitahu bahwa ia bisa mendapatkan kartu pantitia keramahan termasuk "rumah aman" yang menyediakan layanan untuk rasa senang kepada utusan konferensi. Mochtar menyatakan secara pribadi ia tidak keberatan kalau laki-laki datang ke tempat pelacuran. Namun ia tolak kalau pemerintah menyediakan jasa prostitusi bagi para utusan konferensi (Hill, 2011,58-59).
Tentu saja dibantah oleh Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata, sebagai panitia lokal. Isu itu disebutnya sebagai mencemarkan nama baik. Gaung Hospitalitee tidak terungkap benar atau tidaknya, karena tidak ada bukti yang kuat. Namun untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik masalah yang berkaitan dengan prostitusi menjadi isu politik, karena yang memerintah waktu itu PM Ali Sastroamidjojo.
Razia terhadap pelacuran dilakukan secara bergelombang. Pada 1 Agustus 1957 bahkan razia dilakukan secara tiga gelombang oleh Kepolisian Reserse Kriminal dan Susila di Bandung dipimpin sendiri oleh Imam Soepojo terhadap para perempuan yang dituding cabul dan gelandangan.
Rumah-rumah yang diduga dipergunakan untuk melakukan perbuatan cabul diperiksa. Razia dilakukan di kawasan Tegallega, Cicadas dan Gang Aleng. Sebanyak 50 pelacur dan tujuh lelaki hidung belang digiring ke kantor polisi.Â
Razia pelacuran yang kerap dilakukan di Kota Bandung menimbulkan kritik karena hanya ditujukan pada perempuan. Sekali pun lelaki hidung belang ada yang digiring tetap saja tidak adil bagi perempuan.
Salah satu di antaranya, kritik yang diajukan oleh kaum laki-laki. Sardjono wartawan Pikiran Rakjat dalam tulisan yang dimuat dalam edisi 2 Januari 1961 mengkritik bahwa yang berada di panti hanya wanita saja, seharusnya ada Panti Sadar Pria. Menurut dia kalau hanya satu sisi saja, maka sebetulnya masyarakat melihat pelacuran bersikap bermuka dua.
Sardjono tidak memperinci apa yang dimaksud dengan muka dua, tetapi bisa ditafsirkan bahwa di satu sisi terjadi "pembiaran", karena menyangkut banyak kepentingan. Tingkat pendidikan perempuan yang terlibat dalam prostitusi rendah. Begitu juga dengan lingkungan asal perempuan itu.Â
Hingga 1960-an, penanganan masalah prostitusi di Bandung hanya sampai pembinaan di Panti. Pemecahan masalah hanya sampai pemberian keterampilan, tetapi ditunjukkan bagaimana mereka mencari kerja, memasarkan hasil kerajinannya. Bahkan buku Kementerian Penerangan Djawa Barat mengungkapkan para PSK yang ditampung di Panti kerap tidak bisa membaca dan menulis.
Sejak masa Hindia Belanda hingga 1960-an Bandung adalah salah satu destinasi wisata favorit di luar Bali. Sayangnya ketika masa kemerdekaan, tidak diikuti dengan kebijakan pemerintah daerah, yang tepat untuk menyiapkan warganya untuk menghadapi perubahan yang terjadi. Prostitusi di Kota Bandung lebih banyak dipicu oleh perubahan tersebut.
Perubahan yang terjadi juga cenderung menawarkan gaya hidup, seperti munculnya puluhan salon, berbelanja, bioskop, kuliner sejak 1950-an, sebagai konsekuensi kota wisata dan juga kota konferensi (istilah masa itu). Sementara masyarakat di lapisan bawah menghadapi tekanan hidup, akibat perekonomian tidak membaik, terutama menjelang akhir 1950-an dan awal 1960-an.
Untungnya di satu sisi, semakin banyaknya lapisan yang terdidik muncul di Kota Bandung sebagai akibat berdirinya sejumlah perguruan tinggi di luar ITB, seperti Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan, Universitas Pasundan, IKIP dan beberapa universitas lainnya. Kesempatan perempuan mengenyam pendidikan tinggi juga terbuka. Lapisan terdidik ini sebetulnya harapan pemecahan masalah sosial, termasuk prostitusi.
Irvan Sjafari
Â
Sumber:
- Adil, 13 Agustus 1936
- Pikiran Rakjat, 18 April 1952, 23 Februari 1953, 16 April 1953, 2 Agustus 1975, 4 Mei 1955, Mei 1955, 6 Mei 1955, 2 Januari 1961,
- Isteri November-Desember 1930
Literatur:
- Aprilia, Rizky dan Marandhy, Elfriede Isal, "Mojang Bandung: Terkenal Cantik Molek" dalam Selisik, Pikiran Rakyat, 9 Oktober 2017
- Dirdjosisworo, Soedjono, SH, Pelacuran: Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Masyarakat, Bandung: PT. Karya Nusantara, 1977
- Hill, David T, Jurnalisme dan Politik di Indonesia, Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang, Jakarta: Yayasan Obor, 2011
- Kementerian Penerangan, Propinsi Djawa Barat, 1953.
- Rosisi, Ajib, "Ciri-ciri Manusia dan Kebudayaan Sunda" dalam Dr. Edi S Ekadjati, Jakarta: Girimukti Pusaka, 1980.
Situs:
- https://www.kompasiana.com/jurnalgemini
- http://regional.kompas.com.
- http://www.tribunnews.com
- http://megapolitan.kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H