Isu itu dikenal dengan nama Hospitality Comittee (panitia keramahan). Bisa disederhanakan sebagai tawaran karcis untuk bisa datang ke rumah tertentu di kawasan Lembang dan Ciumbuleuit. Namun yang terjadi ada tamu, yang dikabarkan datang ke Jalan Anggrek, Lengkong Kecil, karena tidak ada yang tahu tempat yang disediakan. Kabar itu berasal dari tulisan yang ditempel di Hotel Preanger berbunyi "Special Wishes" yang tidak diketahui apa maksudnya.
Menurut Sejarawan Indonesia dari Australia David T Hill isu itu juga diungkapkan wartawan Mochtar Lubis yang diberitahu bahwa ia bisa mendapatkan kartu pantitia keramahan termasuk "rumah aman" yang menyediakan layanan untuk rasa senang kepada utusan konferensi. Mochtar menyatakan secara pribadi ia tidak keberatan kalau laki-laki datang ke tempat pelacuran. Namun ia tolak kalau pemerintah menyediakan jasa prostitusi bagi para utusan konferensi (Hill, 2011,58-59).
Tentu saja dibantah oleh Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata, sebagai panitia lokal. Isu itu disebutnya sebagai mencemarkan nama baik. Gaung Hospitalitee tidak terungkap benar atau tidaknya, karena tidak ada bukti yang kuat. Namun untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik masalah yang berkaitan dengan prostitusi menjadi isu politik, karena yang memerintah waktu itu PM Ali Sastroamidjojo.
Razia terhadap pelacuran dilakukan secara bergelombang. Pada 1 Agustus 1957 bahkan razia dilakukan secara tiga gelombang oleh Kepolisian Reserse Kriminal dan Susila di Bandung dipimpin sendiri oleh Imam Soepojo terhadap para perempuan yang dituding cabul dan gelandangan.
Rumah-rumah yang diduga dipergunakan untuk melakukan perbuatan cabul diperiksa. Razia dilakukan di kawasan Tegallega, Cicadas dan Gang Aleng. Sebanyak 50 pelacur dan tujuh lelaki hidung belang digiring ke kantor polisi.Â
Razia pelacuran yang kerap dilakukan di Kota Bandung menimbulkan kritik karena hanya ditujukan pada perempuan. Sekali pun lelaki hidung belang ada yang digiring tetap saja tidak adil bagi perempuan.
Salah satu di antaranya, kritik yang diajukan oleh kaum laki-laki. Sardjono wartawan Pikiran Rakjat dalam tulisan yang dimuat dalam edisi 2 Januari 1961 mengkritik bahwa yang berada di panti hanya wanita saja, seharusnya ada Panti Sadar Pria. Menurut dia kalau hanya satu sisi saja, maka sebetulnya masyarakat melihat pelacuran bersikap bermuka dua.
Sardjono tidak memperinci apa yang dimaksud dengan muka dua, tetapi bisa ditafsirkan bahwa di satu sisi terjadi "pembiaran", karena menyangkut banyak kepentingan. Tingkat pendidikan perempuan yang terlibat dalam prostitusi rendah. Begitu juga dengan lingkungan asal perempuan itu.Â
Hingga 1960-an, penanganan masalah prostitusi di Bandung hanya sampai pembinaan di Panti. Pemecahan masalah hanya sampai pemberian keterampilan, tetapi ditunjukkan bagaimana mereka mencari kerja, memasarkan hasil kerajinannya. Bahkan buku Kementerian Penerangan Djawa Barat mengungkapkan para PSK yang ditampung di Panti kerap tidak bisa membaca dan menulis.
Sejak masa Hindia Belanda hingga 1960-an Bandung adalah salah satu destinasi wisata favorit di luar Bali. Sayangnya ketika masa kemerdekaan, tidak diikuti dengan kebijakan pemerintah daerah, yang tepat untuk menyiapkan warganya untuk menghadapi perubahan yang terjadi. Prostitusi di Kota Bandung lebih banyak dipicu oleh perubahan tersebut.
Perubahan yang terjadi juga cenderung menawarkan gaya hidup, seperti munculnya puluhan salon, berbelanja, bioskop, kuliner sejak 1950-an, sebagai konsekuensi kota wisata dan juga kota konferensi (istilah masa itu). Sementara masyarakat di lapisan bawah menghadapi tekanan hidup, akibat perekonomian tidak membaik, terutama menjelang akhir 1950-an dan awal 1960-an.