Lokalisasi prostitusi pertama Kompleks Margawati Gang Corde di daerah Braga. Hanya orang Belanda dan pribumi kelas atas bisa ke sana. Nyi Dampi dam Saritem disebut sebagai tokoh prostitusi pada 1890-an.
Menjelang abad ke 20 Kota Bandung mulai dikenal dan banyak mengundang pendatang baik pribumi maupun Eropa. Pegawai Belanda memasuki usia pensiun menghabiskan hidupnya di sini. Prostitusi erat kaitannya dengan banyak pendatang tidak membawa isteri dan anaknya.
Dalam sebuah artikel bertajuk "Adat Perkawinan di Tanah Pasundan" yang dimuat dalam Adil edisi 13 Agustus 1936 mengungkapkan, banyak laki-laki dan perempuan keluar dan masuk kota Bandung. Banyak laki-laki datang tidak membawa isteri dan anaknya.
Mereka ini menikahi perempuan di Bandung, kemudian ketika meninggalkan kota membuat talak dan itu mudah, karena laki-laki tinggal datang ke Lebe dan perempuan tidak turut berjalan. Pada 1927 angka menikah di Kota Bandung tercatat 4477, jumlahnya dikalahkan yang cerai 4479 kasus, sementara rujuk 314. Pada 1928 jumlah yang menikah 4999, yang cerai 4197 dan yang rujuk 325.
Pada 1929 tercatat mereka yang menikah 4431 dan angka perceraian 4250 dan rujuk 303. Tahun berikutnya 4319 menikah dan 4097 bercerai, 381 rujuk. Pada 1932 pasnagan menikah 3696 dan yang cerai 3175 dan rujuk 220, pada 1933 tercatat 3601 pasangan menikah dan 2942 bercerai dan rujuk 187.
Data terakhir dari artikel itu menyebutkan bahwa pada 1934 jumlah pernikahan 3943 dan bercerai 2942, serta rujuk 158. Melihat angka-angka di atas maka boleh dibilang angka perceraian di Kota Bandung pada 1927 hingga 1934 di atas 50 persen, bahkan di atas 70 persen.
Isu prostutisi diungkapkan oleh seorang berinisial S.N.I yang mengaku dari Bandung dalam Isteri November-Desember 1930. Tulisan berjudul "Pergerakan Kaoem Perempoean Indonesia Toedjoean Apa Jang Haroes Diambil?"Â ditujukan kepada P.P.I.I (Perserikatan Perkumpulan Isteri Indonesia).
Pekerdjaan kita beloem sempoerna. Memberi peladjaran menenoen, jaitoe oentoek mentjoba menghilangkan prostitoetie djoega beloem sempoerna, djiajkalau dasar jang paling pertama dan paling terpenting tak ditanamkan dalam hati sanoebari perempoean kita, jaitoe kemerdekaan dirinja dalam fikiran dan perasaan, kemerdekaan alam pentjaharian hidoep (goena oentoek memberi sendjata padanja menghadapi kawin paksa, permadoean....
Di mata simpatisan PPII itu jelas bahwa satu-satunya cara menghilangkan prostitusi ialah perempuan juga harus menjadi subjek merdeka menyatakan kehendaknya dan mempunyai kemandirian dalam ekonomi. Dengan kemandirian ekonomi itu perempuan juga bisa menolak untuk dimadu dan tidak takut bercerai karena mampu berdiri secara ekonomi.
Sementara cara lain untuk menghadapi pelacuran lebih ditujukan dengan membuat aturan yang sebetulnya menyalahkan perempuannya. Misalnya yang dilakukan Wali Kota Bandung pada masa Hindia Belanda, menghadapi menyoloknya pelacuran di jalanan dengan mengeluaran peraturan daerah pada 9 Mei dan 2 Oktober 1917.Â
Peraturan itu diubah dengan Peraturan Tertanggal 23 Agustus 1931. Peraturan-peraturan ini dibabut dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ttanggal 25 November 1931 yang kemudian diundangkan dalam Provinciaal Blad van West Java tertanggal 23 Januari 1932.