Setidaknya terdapat 21 kader dengan pertemuan setiap minggu 4 kali di Ancol dan Bandung. Mereka mendapatkan penerangan bukan saja budi pekerti tetapi juga keterampilan memasak, menjahit, menyulam dan urusan rumah tangga. Dengan memberikan keterampilan diharapkan mereka bisa kembali ke masyarakat. Jawatan menyadari bahwa memberikan pidato-pidato tidak difahami oleh mereka (Kementerian Penerangan, 1953:557).
Sementara di daerah lain, seperti Tasikmalaya, Garut, Ciamis usaha penerangan bekas perempuan lacur dilaksanakan dalam rumah bekas penampungan pengungsi. Pihak Jawatan mengklaim sebelas orang sudah berhasil dikembalikan ke masyarakat.
Dalam buku Kementerian Penerangan Djawa Barat disebutkan adanya perempuan yang dirazia ditahan di Penjara Bantjeui hingga tiga bulan. Para kader memberikan penerangan di penjara yang disebut sebagai tersesat. Mereka diberikan kursus pemberantasan buta huruf, mengetik, kerajinan tangan. Selain itu para pelacur juga diberikan pada tempat tertentu, sementara pelacur yang diberdayakan dijemput oleh pick up milik jawatan sosial (halaman, 558).
Pada Februari 1953 di rumah penjara Bantjeuj diadakan pertemuan antara pihak Jawatan Sosial keresidenan dengan wanita-wanita lacur yang sampai sekarang masih menjalankan hukuman selama 2-3 bulan. Banyaknya wanita-wanita lacur yang sedang menjalani hukuman itu sekitar 65 orang sebagian besar terdiri gadis-gadis yang masih muda remaja bahkan terdapat di antaranya anak sekolah rakyat dari Cibatu (Garut) serta orang tuanya pun masih ada.
Menurut Atikah bekas seorang wanita yang terjebak dalam prostitusi, dia direkrut pihak Dinas Sosial dan diberikan ilmu membordir serta pelajaran sekolah budi pekerti. Semangatnya pelacur-pelacur itu dikembalikan kepada masyarakat diberi bimbingan seperlunya agar mereka tidak kembali menjadi pelacur kembali.
Seorang jurnalis Nilakusuma yang berkiprah di Kota Bandung pada awal 1950-an, mungkin memberikan pandangan yang lebih adil. Dalam tulisannya Dalam Menghadapi Hari Kenangan Kartini dimuat dalam Pikiran Rakjat, 16 April 1953), dia memberikan ulasan menarik tentang perempuan pasca revolusi.
Dia mengkritisi bahwa pelacuran berlapis-lapis dari lapisan rendah hingga lapisan tinggi. Revolusi yang cukup lama juga memberikan konstribusi terhadap ikatan perkawinan, karena banyak dilaksanakan secara terburu-buru.
Menurut Nilakusuma, disharmoni antara suami dan isteri membuat keduanya sama-sama mencari "hiburan" di luar. Wanita yang tadinya berasal dari orang baik-baik karena disharmoni jatuh ke jurang kehinaan. Ulasan ini menarik bahwa telah terjadi perubahan pada perempuan terutama di kota pada masa itu juga butuh pelarian, bukan hanya lelaki mencari perempuan lain.
Apa yang diungkapkan NIlakusuma dibenarkan juga Kepala Jawatan Kesehatan kota Besar Bandung dr. Admiral. Kesulitan ekonomi pasca perang merupakan persoalan riil yang dihadapi kaum perempuan. Pemerintah Kota Besar Bandung pada April 1952 menemukan hal ini ketika mereka harus menangani sekitar 2000 mantan pelacur dari Bandung dan Cimahi.
Yang paling membuat gaduh, berkaitan dengan prostitusi. Terjadi sesudah Konferensi Asia Afrika. Seorang anggota parlemen DPRDS Bandung bernama Hadidjah Salim melontarkan pertanyaan dalam sidang parlemen awal Mei 1955, bahwa apakah benar ada sugguhan istimewa untuk para tetamu dari negara Asia dan Afrika?Â
Nonoman Sunda juga mengeluarkan pernyataan yang menuntut pertanggungjawaban berita "suguhan istimewa". Bahkan memperjelasnya sebagai beberapa wanita cantik untuk sebagian peserta dari anggota delegasi yang mengunjungi Konferensi Asia-Afrika.