Dalam Pasal I disebutkan:
Setiap orang dilarang untuk di atas atau pada jalan umum atau di mana saja ha yang demikian itu terlihat dari jalan umum, mengajak orang dengan cara lisan dengan cara jalan memberikan peta-peta atau isyarat=isyarat atau dengan cara-cara lain melakukan pelacuran.
Dalam Pasal II disebutkan
Wanita-wanita yang kelakuannya kepada polisi menimbulkan sangkaan bahwa mereka tidak berakhlak baik, dilarang untuk berhanti atau berdiri di muka atau di dekat hotel-hotel, losmen-losmen, penginapan-penginapan, warung-warung kopi, societet-societet, ruang-ruang sidang atau bangunan lain semacam itu, demikian pula mereka dilarang untuk mondar-mandir di muka atau dekat tempat-tempat tersebut, baik mempergunakan kendaraan maupun tidak, setelah mereka diperbolehkan untuk pergi dan meninggalkan tempat-tempat di atas oleh seorang pejabat polisi yang berpangkat tidak lebih rendah dari mantri polisi.
Wali Kota Bandung menyadari bahwa pelacuran tidak dapat diberantas sama sekali. Dalam Peraturan Daerah tersebut hanya diatur sanksi terhadap pelacur dijumpai di jalan. Pelanggaran dari ketentuan-ketentuan ini disebutkan dihukum dengan hukuman kurungan paling lama sebulan atau denda setinggi-tingginya seratus rupiah.
Itu berarti masih dimungkinkan praktik pelacuran di bordil-bordil dan panggilan yang sembunyi-sembunyi di hotel-hotel (Soedjono, 1977, halaman: 38 dan lampiran halaman 172). Pada 1920-an Pemerintah Hindia Belanda memutuskan menutup lokasi prostitusi di Gang Corde karena membawa dampak perwira dan serdadu Belanda mabuk-mabukan.
Sayangnya tindakan itu lebih banyak ditujukan kepada perempuan yang menjadi pelacur. Prostitusi dituding sebagai penyebab kemerosotan moral kepada perwira dan serdadu Belanda. Bukan menyalahkan bagaimana perwira dan serdadu bisa meneguk minuman keras.
Sesudah Perang Kemerdekaan prostitusi di Kota Bandung lebih banyak dijumpai di rumah bordil. Dalam film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail diungkapkan sejumlah adegan adanya pelacuran di rumah bordil tampaknya berakar dari aturan itu.
Dalam film ini digambar tokoh perempuan yang menjadi PSK sebetulnya mendambakan seorang suami yang baik dan gemar mengklipping artikel media, seperti majalah Life. Kalau saya menafsirkannya Bandung menjadi tempat wisata menjadi pemicu gaya hidup, sementara penduduknya masih banyak yang miskin.
Menurut Soedjono lagi razia terhadap pelacuran di jalan di Kota Bandung hingga 1950-an masih menggunakan peraturan yang dibuat masa Hindia Belanda itu. Sayangnya peraturan itu hanya memberikan sanksi kepada pelacurnya, sementara si pemakai atau laki-laki tidak ada ancaman hukuman. Hal ini dijumpai di mana-mana, bahkan Amerika Serikat (Soedjono, 1977: 136).Â
Pada awal 1950-an pemberantasan prostitusi yang dijalankan oleh Jawatan Sosial Keresidenan Priangan Bagian Perbaikan Masyarakat mulai menemukan bentuknya. Jawatan ini membentuk kader-kader di antara perempuan pelacur di Kota Bandung. Keberadaan para kader sedikitnya banyak pengaruhnya kepada kawan-kawannya.